LINION

1002 Words
Daun-daun maple berjatuhan dalam warna-warna hangat—jingga, merah, dan emas—menyelimuti tanah seperti selimut alam yang lembut. Musim gugur kali ini benar-benar asing, bukan hanya karena tempat yang berbeda, tetapi juga karena perasaan yang ikut gugur bersamanya. Hah... Tapi ini bukan lagi hal yang istimewa. Ada terlalu banyak keresahan, ketakutan, dan perjuangan untuk sekadar bertahan. Biasanya, musim gugur kuhabiskan dengan membaca komentar para pembaca, menghadiri pertemuan terbuka bersama penulis lain—bertukar ide, saling menyulut inspirasi. Namun, tahun ini semuanya berbeda. Jauh dari layar, jauh dari pena, dan jauh dari dunia yang selama ini kuanggap nyata. Mengenang hal-hal semacam itu, mau tak mau aku teringat pada salah satu teman dekatku—teman pertama yang benar-benar kukenal dalam dunia yang sama. Dia adalah sahabat, sekaligus rival abadi dalam hal menulis. “Jika kau terus membuat karakter novelmu menderita, suatu saat kau akan menerima karmanya. Meski hidupmu berat, setidaknya buatlah satu dunia yang bahagia. Bayangkan jika keajaiban terjadi dan kau masuk ke dalam novelmu sendiri—lalu menderita karena ulahmu sendiri.” Itu kalimatnya, penuh emosi, musim gugur tahun lalu. Dia marah besar karena aku terlalu kejam pada karakter-karakterku. Kami memang serupa tapi tak sama. Dia memperlakukan tokoh-tokohnya seperti permata, sementara aku memperlakukan mereka seperti bidak catur—kutempatkan di medan perang, kusiksa, bahkan kuhancurkan. Kupalingkan kenangan itu, menarik napas panjang. Langit yang tadinya berwarna jingga kini telah berubah kelam, dibubuhi bintang-bintang yang berpendar malu-malu. Udara menggigit, menusuk lapisan pakaian, tapi tak mampu menyurutkan tekadku untuk terus melanjutkan perjalanan. Tubuhku letih—beberapa jam terakhir kulewati di atas punggung kuda jantan yang gagah, tapi jelas lelah. Tapi jika aku tak bergerak sekarang, rencanaku hanya akan tinggal rencana. Aku harus terus maju. Linion—nama tempat itu—sebentar lagi akan terlihat dari kejauhan. Semangat mulai tumbuh di dadaku. Linion akan menjadi titik pertama dari pelarianku. Dari sana, aku akan bergerak ke utara, menuju kuil, melakukan pengakuan dosa sebagai langkah awal perubahan. Satu jam kemudian, aku menghentikan kuda di dataran tinggi. Dari sini, Linion tampak seperti lukisan surgawi—tenang, damai, dan terang oleh cahaya lentera kecil dari kejauhan. Senyum lega merekah di wajahku. Akhirnya, setelah empat jam perjalanan tanpa henti, aku tiba. Vila keluarga Montpensier berada tak jauh dari Sungai Abidzar, sungai cantik yang mengalir tenang membelah Linion. Aku akan menuju ke sana perlahan, sambil menikmati malam yang menggigilkan tulang. Dalam ingatan Luisa yang kini menjadi bagian dari ragaku, sungai itu adalah lambang kejayaan Linion. Airnya jernih, ikannya banyak, dan mengalir murni dari Pegunungan Aventiz hingga bermuara di Laut Arden. Udara Linion sangat segar, jauh lebih bersih daripada desa tempatku dulu tinggal. Alamnya asri, tenang, dan anginnya menyapa dengan dingin yang menyadarkan. Aku terpesona. Tak kusangka dunia novel yang kuciptakan—yang nyaris tak pernah kujelaskan selain ibu kota—memiliki tempat secantik ini. Linion ternyata bukan tempat suram seperti prasangkaku. Pemandangannya rapi, tertata, dan bersih. Itu berkat tangan dingin Duke Montpensier dan Leonite, sang ahli tanah dan ekonomi. Tak ada gelandangan, tak ada pencopet. Kriminalitas ditekan hingga titik nyaris nol. Perekonomian mereka mengalir lancar seperti sungainya. Wajar saja tempat ini menjadi lokasi liburan favorit para bangsawan. Sekilas, aku membayangkan: andai saja keluarga Montpensier adalah keluarga kekaisaran, mungkin kekaisaran ini akan melaju pesat tanpa rem, didorong oleh tangan-tangan yang efisien dan tajam. Akhirnya, aku tiba di depan gerbang tinggi vila keluarga Montpensier. Bangunannya megah, nyaris menyerupai kastil. Sebuah patung Dewi Psyche berdiri anggun di tengah taman, dikelilingi bunga dari berbagai jenis—mewarnai malam dengan aroma harum dan keindahan visual yang luar biasa. Pilar-pilar putih menyangga bangunan utama, bergaya klasik seperti kuil Yunani. Tidak mengejutkan, karena keluarga Montpensier memang memuja Dewi Psyche—Dewi Jiwa, sang lambang kecantikan dan kebijaksanaan. Anehnya, aku tak pernah menulis detail ini. Namun, kenyataan di depanku begitu nyata. Luisa lahir di hari dan tanggal yang sama dengan Dewi Psyche, dan pendeta kuil menyebutnya sebagai pecahan jiwa sang dewi. Mereka menyambut kelahiran Luisa dengan upacara, doa, dan ramalan. Pendeta-pendeta terpilih bahkan memberkatinya sebagai penerus cahaya Dewi. Lucu. Aku, penulisnya, tak pernah menuliskan hal itu. Tapi dunia ini seolah menciptakan jalannya sendiri. “Nona, ada urusan apa Anda di sini? Pergilah. Ini bukan tempat yang bisa dikunjungi sembarang orang.” Lamunanku buyar. Seorang pria paruh baya berdiri di hadapanku dengan sorot waspada. “Anda baik-baik saja, Nona?” tanyanya. “Anda pengurus vila ini?” balasku. “Benar. Apakah Anda memiliki janji dengan Duke?” Janji? Tentu tidak. Tapi aku adalah bagian dari keluarga ini. Rasanya geli sekaligus aneh untuk mengakuinya. “Katakan pada Duke Montpensier atau Leonite bahwa Luisa Montpensier datang untuk berlibur.” Dia terdiam, matanya membelalak. “Nona, jangan bercanda. Lady Luisa sedang bersiap menikah. Tidak mungkin Beliau ke sini.” Aku menarik napas, lalu mengeluarkan lencana keluarga Montpensier dari dalam jubahku. “Apa ini cukup sebagai bukti? Katakan pada Ayah dan Kakakku, aku datang. Aku lelah, jangan buang waktaku.” Wajahnya berubah pucat. Ia menatap lencana itu seakan melihat hantu. Lencana keluarga—emas murni dengan ukiran lambang keluarga dan sinar lembut khas kuil Psyche. Tidak ada yang bisa memalsukannya. “Lencana ini tidak bisa dibuat sembarangan. Hanya pendeta kuil dan anggota inti keluarga Montpensier yang bisa membedakannya dari tiruan. Anda pasti tahu itu.” Pria itu bergeming. Perlahan, ia menunduk dalam hormat. “Maafkan saya, Lady. Saya benar-benar tidak mengenali Anda. Silakan masuk. Tuan Duke dan Tuan Muda Leonite sedang beristirahat.” Aku hanya mengangguk, memberikan senyum tipis agar suasana tak terlalu tegang. “Selamat datang kembali, Lady Luisa.” Gerbang vila terbuka perlahan. Aku turun dari kuda dan menyerahkan tali kekangnya pada pria itu. “Tolong rawat kudaku dengan baik. Besok mungkin aku akan bepergian lagi. Pastikan ia cukup makan dan minum air yang layak.” “Saya mengerti, Lady. Sekali lagi, maaf atas sikap saya sebelumnya.” “Tak apa,” jawabku pelan. Malam itu, di tengah musim gugur Linion yang syahdu, aku—dengan tubuh Luisa—kembali ke tempat yang katanya rumah. Tapi hati ini belum tahu, apakah ini benar-benar tempat untuk kembali, atau hanya persinggahan sebelum badai berikutnya datang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD