KEHEBOHAN

991 Words
Sudah dua jam sejak kepergian Luisa dari Kastil Duke Montpensier. Saat ini, para pelayan dan penjaga tengah sibuk mencari keberadaannya. Hutan di sekitar kastil tak luput dari pencarian, bahkan beberapa orang telah menyisir kota dan mendekati perbatasan ibu kota. Kepanikan melanda. Matthias tampak pucat, wajahnya tegang, dan pikirannya dipenuhi ribuan pertanyaan yang saling bertabrakan. Kesabaran yang ia miliki pun mulai menipis, satu demi satu terkikis oleh kecemasan dan amarah. PRANG!!! Suara nyaring pecahan vas bunga dari ruang tengah menggema keras, menghantam keheningan. Suara itu menghentak jantung semua orang di dalam kastil. Para pelayan gemetar, tidak satu pun yang berani mengangkat wajah mereka. Raut wajah Matthias — putra kedua Duke Montpensier — begitu gelap dan menyeramkan, seperti malaikat maut yang turun dari langit kelam. Aura tubuhnya membeku, dingin, dan gelap, memancar tanpa ampun. Bencana. Itulah yang terlintas di benak semua orang. Kastil yang biasanya hangat dan nyaman kini berubah menjadi seperti pemakaman sunyi. "CLARIE!" Suara Matthias menggema ke seluruh ruangan. Derap langkah cepat menggema, menandakan kedatangan seseorang. Clarie, pelayan pribadi Lady Luisa, segera muncul — tubuhnya gemetar, wajahnya seputih salju di musim dingin. Matthias menatap tajam, matanya menyala oleh kemarahan. Emosinya meluap tak terkendali. Pelayan sialan di depannya itu... menjijikkan! Tangis Clarie pecah, air matanya mengalir deras seperti hujan musim gugur. “Maafkan saya, Tuan Muda... Saya benar-benar tidak menyangka Lady akan bertindak seperti ini.” Suaranya lirih, patah-patah. Tubuhnya bersimpuh di lantai marmer, seolah bumi telah menolak keberadaannya. Ia begitu terpukul karena tak menemukan Luisa di arena berkuda — bahkan di hutan belakang tempat Lady biasanya menenangkan diri, tak ditemukan jejak apa pun. Dia gagal. Ia tahu, sepenuhnya sadar, bahwa ini adalah kesalahan fatal. Kehilangan majikannya yang begitu berharga bagi keluarga Duke Montpensier adalah dosa besar yang tak terampuni. Matthias menatapnya dengan dingin, mata penuh penghinaan. Dia benar-benar ingin menebas kepala pelayan ini — bagaimana bisa pelayan pribadi tak berada di sisi majikannya, apalagi saat perilaku Luisa jelas menunjukkan sesuatu yang berbeda? “BERDIRI!” Suara itu bagaikan cambuk. Clarie terkejut, namun dengan seluruh tenaga yang tersisa, ia mencoba berdiri. Namun, saat tubuhnya mulai tegak... PLAKK! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kirinya. Suara tamparan itu memecah udara, menyisakan keheningan yang mencekam. Tubuhnya limbung dan jatuh. Sudut bibirnya berdarah. Pipi kirinya terasa terbakar. Sakit, perih... dan sangat memalukan. Air mata Clarie kembali mengalir. Ia tahu, ia pantas mendapatkannya. Ia membantu Luisa — dengan naif — tanpa menyadari bahwa sang Lady sedang merancang pelarian. “Kurung pelayan sialan ini di ruang bawah tanah. Cepat!” seru Matthias tajam, penuh jijik. Harapannya akan Clarie sebagai pelayan yang bisa diandalkan musnah seketika. Para penjaga segera bergerak, dan saat mereka membawa Clarie pergi, seorang ksatria datang menghampiri Matthias. “Tuan Muda, kami telah menyisir seluruh hutan. Kami tidak menemukan apa pun. Saya yakin Lady telah merencanakan pelariannya dengan matang.” Wajah Matthias menegang. “Apa dia pernah mengatakan sesuatu padamu?” tanyanya. Namun, bukan jawaban yang ia berikan. Matthias langsung berbalik, meninggalkan ruang tengah. Langkah-langkahnya cepat dan berat, seperti dihantui bayangan kegagalan. Matanya menerawang saat menaiki tangga kastil. Ia mencoba mengingat kembali setiap kata-kata yang Luisa ucapkan sebelumnya. Ada sesuatu. Sesuatu yang terlontar di antara percakapan mereka pagi itu. Langkahnya terhenti di tengah tangga. Sebuah kemungkinan muncul di pikirannya — dan itu membuat dadanya menghangat oleh semangat baru. “Siapkan kudaku sekarang juga!” Perintah itu membuat kepala pelayan terkejut, namun tidak berani bertanya. Semua tahu: Tuan Muda Kedua akan turun tangan secara langsung. Tak ada lagi waktu untuk ragu. Matthias melanjutkan langkahnya. Ia harus bersiap untuk perjalanan. Dalam hati ia berharap dugaannya benar — bahwa Luisa pergi ke Linion untuk menemui ayah mereka dan membatalkan pernikahan. °°° Sementara itu, Istana Putra Mahkota dikejutkan oleh berita mendadak. Seorang mata-mata yang ditanam oleh Putra Mahkota membawa kabar genting: “Lady Luisa Montpensier melarikan diri.” Itu bukan sekadar berita biasa. Ini adalah hantaman telak bagi Putra Mahkota — mempelai wanita menghilang begitu saja, sementara hari pernikahan semakin dekat. Sang Putra Mahkota, Diones Von D’Glazia, terdiam sejenak. Wajahnya yang tampan menjadi gelap, dan jemarinya mengepal erat, seolah menahan badai amarah yang hendak meledak. Dia mengira wanita itu hanya menggertak sehari sebelumnya — sebuah protes kekanak-kanakan karena keinginan tidak dituruti. Tapi kenyataan hari ini jauh berbeda. “Yang Mulia, apakah Anda ingin mencari Lady Luisa?” tanya seorang ksatria dengan suara ragu-ragu. Namun, Diones hanya tertawa. Suara tawanya tajam dan sinis. Ia menganggap semua ini sebagai bentuk “rajukan” Luisa — gadis itu sekadar ingin diperhatikan. Keinginan untuk membatalkan pernikahan? Baginya itu bukan keinginan sejati — hanya akal-akalan demi menarik perhatiannya. “Wanita itu hanya sedang merajuk. Dia akan kembali tepat waktu sebelum pernikahan. Biarkan keluarga Duke Montpensier mengurusnya,” ujarnya santai, penuh percaya diri. Dan memang, ia cukup mengenal Luisa. Ia tahu betapa dalam cinta wanita itu padanya — cinta yang cukup kuat untuk membuat sang ayah, Duke Montpensier, yang anti-politik sekalipun, akhirnya memihak. Seluruh kekaisaran tahu betapa Luisa memperjuangkan cinta itu. Ia tidak hanya mencintai — ia bertarung, membangun koneksi, dan menjadikan dirinya sosok yang paling berpengaruh di kalangan bangsawan wanita. Luisa adalah kekuatan sosial yang tak bisa diremehkan. Senyum dan tatap matanya bisa menjatuhkan lawan. Kata-katanya bisa meruntuhkan sekutu. Diones tahu, semua yang Luisa lakukan adalah demi dirinya. Ia tahu wanita itu takkan pergi begitu saja. Ia percaya sepenuhnya, bahwa cinta seperti itu tak akan hilang oleh satu pertengkaran. Ia menyeringai, penuh keyakinan. “Dia yang menanam pohon cinta itu, dan dia sendiri yang akan memetik buahnya.” Tak ada sedikit pun keraguan. Baginya, jika ia goyah dalam keadaan seperti ini, maka ia tak layak menjadi penguasa. “Siapkan jamuan makan malam mewah. Aku akan menunggu istriku pulang — dengan kakinya sendiri,” ujarnya ringan, namun penuh kuasa. Para pelayan segera bergerak, mengikuti titah. Istana pun kembali dalam ketenangan semu, seolah badai tidak pernah datang. “Eiden, jemput Lady Gremory. Aku ingin makan malam bersamanya. Perintahkan kepala pelayan untuk menyiapkan hadiah yang pantas bagi kekasihku itu.” “Baik, Yang Mulia.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD