[Temanku, Marquess Eliezer Jhozelhien. Aku mengirim surat ini dari suatu tempat yang indah, karena memerlukan beberapa hal. Aku ingin meminta saran darimu, tentunya ini penuh pertimbangan. Menurutmu, tempat persembunyian paling aman dan tidak pernah terpikirkan oleh orang pintar sekali pun ada di mana? ]
Seorang pria menghela napas lagi, ia jelas tahu kedatangan surat itu dari siapa. Teman baiknya, Luisa Montpensier, wanita yang menjadi topik hangat saat ini.
Dia adalah kepala keluarga yang hubungannya cukup baik dengan keluarga Duke Montpensier, sejarah persahabatan keluarga mereka tidak hanya dari bisnis, tapi juga merupakan kerabat jauh.
Awalnya ia bingung, siapa yang mengirim pesan padanya larut malam seperti sekarang. Tapi, saat ia melihat burung pengantar pesan, jelas saja identitas pemilik pesan tersebut sudah dikonfirmasi.
Ngomong-ngomong soal Luisa Montpensier, dirinya sebagai teman merasa begitu aneh. Gelar Luisa sebagai putri Duke adalah Putri, tetapi temannya itu menegaskan dengan jelas. Itu terjadi saat pesta debute Luisa, dan menjadikan Luisa sebagai seseorang yang sangat disegani oleh kalangan sosialita.
'Jangan panggil aku Putri, aku lebih suka dipanggil Lady Luisa.'
Dan sejak saat itu, semua orang memanggilnya Lady Luisa, putri yang tidak ingin dipanggil dengan gelarnya sendiri. Sikap rendah hati, dengan senyum malaikat, tetapi bisa berbuah menjadi senyum kematian bagi yang mengganggunya.
Selain itu, ada banyak hal menarik tentang Luisa dan keluarganya.
Keluarga Duke Montpensier memiliki keahlian khusus. Mereka bisa mengendalikan burung hantu sesuka hati, dan dia serta Luisa Montpensier sudah biasa berkirim pesan menggunakan jasa burung tersebut.
Yah, memang agak unik. Pada saat orang lain menggunakan merpati, gagak, atau pun elang, tetapi keluarga Duke Montpensier menggunakan burung hantu sebagai pengantar pesan tercepat.
Burung hantu memang unik untuk keluarga itu, tidak salah juga mereka mempercayai burung tersebut. Karena pendengaran yang sangat tajam, dan terbaik di antara semua burung, maka keluarga Duke Montpensier hanya perlu membisikkan mantra agar burung itu datang di mana pun mereka berada. Bukan mantra hebat, hanya kekuatan kecil leluhur untuk mengendalikan dan memanggil burung hantu.
Yah, intinya hanya seperti itu. Dia juga pernah melihat bagaimana Luisa memanggil sekumpulan burung hantu saat mengirim surat pesat minum teh beberapa bulan lalu.
Tapi, anehnya, pada saat Luisa meminta ia membacakan mantra pemanggil burung, burung hantu tidak ada yang datang padanya. Saat itu juga ia tahu, mantra tersebut hanya bisa digunakan oleh keluarga Montpensier, dan orang di luar garis keturunan keluarga tersebut tidak akan bisa melakukannya.
"Jadi, apa aku harus membalasnya? Dan ... hei, burung hantu yang malang. Kau sudah terbang begitu jauh, apa kau tidak lelah?"
Tentu saja ia tidak mendapatkan jawaban, burung itu hanya bertengger dengan nyaman, menunggu dirinya membalas pesan untuk sang tuan.
Sungguh burung yang setia, bahkan rela menunggu walau dengan wajah datar dan mata bulat menggemaskan.
"Yah, baiklah. Aku akan segera membalas suratnya. Berhenti menatapku begitu, aku tahu majikanmu cantik, dan kau bangga karena bisa berguna untuknya."
Marquess Jhozelhien merasa agak gila, bisa-bisanya ia menjadikan burung hantu sebagai teman bicara. Entahlah, dia hanya merasa ramah pada burung jauh lebih baik daripada ramah pada para keluarga bangsawan lainnya.
Setelah selesai menulis, ia langsung menggulung kertas, dan mengikatnya di kaki burung tersebut. Tanpa menunggu lama, pada saat jendela ruang kerja terbuka, burung itu langsung terbang di kegelapan malam.
"Sungguh burung yang cekatan." Marquess langsung saja menghela napas, ia duduk dan menatap lembaran kertas surat Luisa. Tidak berapa lama, diraihnya kertas itu lalu membakarnya. Tak meninggalkan jejak lebih baik, itu akan sangat membantu Luisa pada saat ini.
Membaca pesan itu beberapa saat lalu, jelas saja membuatnya sedikit rindu pada Luisa. Mereka cukup lama tidak bertemu, ia cukup lama juga tidak mendapatkan bisnis menyenangkan dari keluarga Montpensier.
Ah ... gadis manis berambut merah, kesayangan Tuan Duke yang terhormat. Sungguh menggoda, tapi memiliki banyak duri. Mawar yang mekar walau musim dingin melanda, anggrek yang tetap menebarkan aroma hutan walau musim panas membakar jiwa.
Pria dengan rambut hitam itu tersenyum lembut, iris mata keemasan memancar bagai cahaya bintang timur. Memikirkan keindahan Luisa saja bisa menjadikan nyawanya sebagai taruhan, apalagi jika ingin memilikinya.
Pada saat ia tengah melamun, suara ketukan pintu terdengar. Dengan cepat Marquess memerintahkan orang itu untuk masuk, ia duduk sambil menuangkan teh pada cangkir, dan meminumnya dengan santai.
Kepala pelayan keluarga Marquess Jhozelhien berdiri tegap. Pria tua berumur sekitar tujuh puluh tahun, rambut putih, dan menggunakan kacamata. Penampilan yang selalu rapi, menunjukkan posisinya sebagai orang yang sangat dipercaya di kediaman itu.
"Tuan, saya membawa kabar."
"Katakan," ujar Marquess sambil meletakkan cangkirnya.
"Putra Mahkota datang berkunjung."
Sedikit kaget, tapi secepatnya pula dia mengendalikan perasaan itu. "Astaga, sepertinya aku mendadak menjadi orang penting."
Digolongkan sebagai orang penting, karena ada tamu mendadak dan tergolong tidak masuk akal berkunjung larut malam.
"Bawa Beliau ke ruang kerjaku, aku akan menyambutnya di sana. Dan ... bawakan wine terbaik di kastil ini, tidak cocok menjamu tamu dengan teh pada larut malam."
"Baik, Tuan."
Setelah menyampaikan pesan dan menerima perintah, kepala pelayan pun pergi. Sementara itu, Marquess hanya bisa bersiap dengan rapi.
Dia hanya berpikir, atas dasar apa Putra Mahkota mengunjungi dirinya?
'Apa dia pria sinting yang mendadak minta dukungan politik padaku? Cih ... sepertinya dia takut kehilangan keluarga Duke Montpensier.'
Marquess yang selesai dengan persiapannya lekas menuju ruang kerja, ia mempersiapkan hati dan pikiran, lalu menarik napas lumayan panjang.
Pada saat tiba, di depan pintu sudah berdiri pelayan setia sang Marquess. "Tuan, Yang Mulia sudah menunggu sekitar tujuh menit di dalam."
"Bisa-bisanya dia yang menunggu kedatanganku." Wajah Marquess terlihat agak masam, tak bersemangat akan pertemuan yang ada.
"Tuan, seharusnya Anda tidak mengulur waktu sejak tadi."
"Hum, seharunya kau juga bisa mengajak Yang Mulia untuk berkeliling."
"Apa Anda pikir itu cara yang efektif?"
"Bukankah dulu kau sering melakukan itu pada tamu? Ingat saat Ayah menerima kunjungan, dan kau bilang Ayah belum siap, lalu kau mengajak tamu berkeliling dengan baik."
Perdebatan kecil yang manis itu memang kerap terjadi, tidak ada yang bisa menghindari hal itu di kastil Marquess Jhozelhien.
Wajar saja, karena kepala pelayan yang setia dan cekatan itu, termasuk orang yang mendidik Marquess pada saat masih sangat muda.
Tidak hanya itu saja, pelayan yang baik tersebut jelas sangat sayang kepada tuannya. Rela melakukan apa pun, dan setia dalam kondisi yang paling buruk sekali pun. Loyalitas berkepanjangan, membuat keluarga sang kepala pelayan secara turun-temurun menjadi orang kepercayaan yang sangat dihargai.
"Sebaiknya Anda masuk, Tuan. Yang Mulia sudah menunggu cukup lama, jangan mengulur waktu lagi."
"Berikan nampan itu padaku, aku yang akan menjamu Yang Mulia malam ini."
"Tapi ... Tuan, apa Anda yakin?"
"Apa wajahku terlihat sedang bercanda?"
"Baiklah, saya akan menunggu dengan baik."
"Ya, tentu. Jika kau lari, aku tak akan memberikan uang pensiun padamu." Marquess yang selesai dengan ucapannya langsung saja masuk. Ia memberikan salam hangat seperti yang selalu dilakukan oleh orang-orang di Kekaisaran pada Putra Mahkota.
"Salam pada Matahari Suci Kekaisaran. Saya, Eliezer Jhozelhien, menghadap Anda, Yang Mulia."
"Tegakkan tubuhmu, Marquess Jhozelhien." Putra Mahkota yang duduk dengan tenang, terlihat berwibawa saat menerima salam dari Marquess. "Lalu, duduklah dengan nyaman."
Marquess merasa agak jengkel, padahal ini kediamannya, dan dia malah berperilaku sebagai tamu. Tapi, ia juga tidak memiliki pilihan lainnya.
Orang di depannya adalah Putra Mahkota, jika ia bertindak kurang ajar, maka sama saja menyerahkan nyawa di atas nampan emas.
Marquess buru-buru menghilangkan pikirannya itu. Ia mengulas senyum, dan meletakkan nampan di atas meja.
"Terima kasih, Yang Mulia. Sebelum itu, izinkan saya menuangkan wine terbaik kastil ini untuk Anda."
"Silakan, Marquess."
Dengan cepat Marquess menjalankan tugas, ia menuangkan wine dari botol dengan perlahan, dan memberikan gelasnya pada Putra Mahkota setelah selesai.
"Harum dan benar-benar menggoda. Anggur di perkebunan keluarga Jhozelhien memang yang terbaik, dan menghasilkan kualitas wine yang juga sangat baik."
"Terima kasih atas pujian Anda, Yang Mulia. Saya sangat tersentuh dengan kepuasan Anda, dan berharap kesan baik ini akan selalu Anda ingat."
Putra Mahkota tertawa kecil, ia terlihat sangat puas akan layanan singkat itu. "Duduklah, Tuan Marquess, jangan membuat saya merasa canggung pada tuan rumah."
"Terima kasih atas kebaikan hati Anda, Yang Mulia." Marquess segera duduk, ia meraih gelas wine miliknya, dan berpikir sejenak tentang maksud Putra Mahkota datang kepadanya.
"Tuan Marquess, apa saya mengganggu waktu istirahat Anda?"
Marquess jelas kaget, perasaan jengkel langsung meremas-remas bibirnya agar bicara dengan jujur. Tapi, sekali lagi, jika ia bersikap kurang dihajar, maka nyawanya dalam bahaya juga.
"Tentu tidak, Yang Mulia. Saya merasa terhormat atas kunjungan Anda, dan merasa sangat berguna jika bisa meredakan kegundahan hati Anda. Kunjungan Anda jelas merupakan sesuatu yang mengejutkan untuk saya, tapi juga jelas jika Anda memerlukan beberapa hal dari saya."
Senyum cerah Putra Mahkota hanya berdampak pada hati Marquess yang semakin jengkel. Bisakah pria sialan itu cepat bicara tentang kepentingannya sampai datang larut malam?
"Saya ingin mengetahui banyak hal tentang Tuan Putri keluarga Duke Montpensier. Tunangan saya, teman Anda, dan orang yang sedang dicari dengan gigih oleh saya."
Marquess jelas kaget, ia nyaris saja tersedak cairan wine. Kenapa pria gila itu bertanya tentang Luisa padanya?
"Tuan Marquess, saya hanya ingin tahu banyak hal. Anda adalah orang yang tepat untuk menjelaskannya kepada saya. Sebagai temannya, pasti Anda memiliki pandangan berbeda daripada keluarganya sendiri."
"Tunggu, Yang Mulia. Saya tahu jelas bagaimana hubungan Anda dan Lady Luisa. Tapi yang saya ketahui, Anda tidak akan bertanya pada saya tanpa sebab yang jelas. Maaf jika ini lancang, bisakah Anda langsung pada poin inti kunjungan ini?"
"Poin inti?"
"Benar, Yang Mulia."
"Saya hanya merasa bersalah karena hilangnya tunangan saya, karena saya tidak mencintai bahkan mencoba untuk mencintainya. Jadi, bisakah Anda membantu saya mengenalnya dengan beberapa kata?"
Marquess merasa sangat kaget, nyaris saja ia berteriak histeris. Pernyataan macam apa itu? Dari wajahnya saja Putra Mahkota hanya membual! Kenapa tidak katakan saja jika inti pertemuan mereka adalah Putra Mahkota yang curiga dia menyembunyikan Luisa Montpensier?
Sungguh sebuah keajaiban!
"Alasan Anda ingin mendengarnya, apa saya boleh tahu, Yang Mulia?"
"Mungkin karena saya mulai jatuh cinta pada Lady Luisa," balas Putra Mahkota tanpa ragu.
'Hei, b******n, itu tidak mungkin. Kau mulai jatuh cinta? Yang benar saja! Caramu saat pesta dansa pertunangan saja sangat tidak ramah. Bagaimana bisa kau berdansa dengan Lady Gremory padahal tunanganmu adalah Tuan Putri Luisa Montpensier?'
"Saya rasa Lady Luisa memang seorang wanita yang hangat. Tidak hanya cantik, dia punya banyak bakat."
'Kau memang memujinya tulus di depanku, tapi aku tahu kau tidak ada niat untuk hal lainnya.'
"Sangat disayangkan jika Permaisuri masa depan tidak menempati posisinya, bukan? Ini juga demi masa depan Kekaisaran, dan saya akan mencoba untuk menerimanya dengan lapang dada."
'Entah kenapa aku ingin membunuhmu sekarang, Putra Mahkota. Hah, kau begitu tidak tahu diri rupanya.'
"Tuan Marquess, apa saya salah bicara? Sejak tadi Anda hanya diam, dan saya juga melihat Anda tidak begitu nyaman."
'Diam? Aku hanya tak bisa mengatakan apa yang aku pikirkan dari mulutku sendiri.'
Setelah menenangkan pikirannya, Marquess pun tersenyum kecil. "Saya hanya mendengarkan alasan Anda secara lengkap, Yang Mulia. Saya tidak ingin memotong ucapan Anda, dan berpikir jika akan lebih baik mengutarakan pikiran saya saat Anda selesai bicara."
Ingin sekali Marquess memaki, tapi dia tak akan hidup lagi jika melakukan hal seperti itu. Hah, cukuplah, kenapa Putra Mahkota malah terlihat senang sendiri bicara dengannya? Sementara dia ... dirinya sangat tertekan!
"Jadi, bagaimana tentang tunangan saya?"
"Lady Luisa yang saya kenal adalah seseorang yang sangat baik, dia tulus, dan memiliki banyak kasih sayang untuk orang sekitarnya. Apa yang saya sebutkan tadi, adalah hal yang tidak banyak diketahui publik. Anda pastinya tahu bagaimana Lady Luisa. Baik itu bakat, cara bersosialisasi, wajahnya yang cantik, status keluarga, sampai pada nilai akademinya pun sudah tersebar luas."
"Ah Anda benar tentang hal itu. Apa yang paling disukainya?"
"Lady Luisa menyukai musim dingin dan hujan," balas Marquess sekenanya. Ia dan Luisa memiliki beberapa persamaan, dan persamaan itu bukan hal umum. Jadi, jika masalah kesukaan Luisa yang secara publik sudah pasti hal biasa saja.
"Bagaimana dengan makanan?"
"Lady Luisa tidak pilih-pilih dalam hal makanan."
"Warna yang dia sukai?"
"Dia lebih menyukai warna yang netral, dan sangat benci warna mencolok."
"Yah, warna rambutnya sudah mencolok, tapi itu pesona yang indah, bukan?"
Dalam hatinya Marquess ingin sekali mengusir tamu tak diundang ini, tapi dia tak berdaya. Pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan Putra Mahkota sangat menjengkelkan, ia sudah nyaris kehabisan kata untuk menjawab.
Obrolan mereka terus berlanjut, Marquess yang malang itu harus melayani tamu dengan setengah hati. Ia sangat menderita, ia bahkan tak tahu bagaimana menghadapi hari esok.
Sudah dua jam lebih mereka bicara, rasanya sangat lelah. Kapan Putra Mahkota akan pergi? Pria itu ... dia, terlihat sangat suka mengacaukan jam istirahat orang lain.
"Baiklah, terima kasih atas informasi Anda, Tuan Marquess. Saya sangat merasa terbantu, dan saya rasa Anda orang yang menyenangkan untuk bicara."
'Menyenangkan untukmu, penderitaan untukku! Sungguh mulia sekali.'
"Saya permisi, Tuan Marquess."
"Baik, Yang Mulia. Senang rasanya menghabiskan waktu bersama Anda, saya juga merasa Yang Mulia adalah orang yang menyenangkan." Marquess berdiri, ia membungkuk memberi hormat pada Putra Mahkota. "Saya akan mengantarkan Anda, Yang Mulia."
"Ah, terima kasih. Anda memang orang yang ramah, Tuan Marquess."
'Tidak! Jangan bicara lagi dan cepat pergi dari rumahku!'
Setelah ucapan basa-basi tak jelas, akhirnya Putra Mahkota meninggalkan kediaman Marquess Jhozelhien. Kereta kuda yang membawa orang penting itu sudah keluar dari gerbang, lalu pintu masuk langsung ditutup dengan rapat.
"b*****h ITU SANGAT MENYEBALKAN!"