Lima

781 Words
Author POV Siska dan Sinta berjalan bersama masuk kantor. Karena tadi pagi Sinta menjemput Siska sekalian sarapan bareng di apartment Siska. Saat akan akan menuju ke lift mereka berpapasan seseorang yang telah membuat Siska susah tidur semalaman. Tidak lain adalah boss tampannya Devan. "Selamat pagi pak." Ucap Sinta sambil menyenggol lengan Siska. "Selamat pagi pak." Ucap Siska menundukkan kepala tanpa menatap mata yang di ajak bicara. "Pagi." Balas Devan menatap Siska yang masih tertunduk. Mereka memasuki lift bersama. Semuanya diam tidak ada yang memulai pembicaraan. Sinta merasa ada yang aneh dari sikap sahabatnya itu. Tibalah mereka di lantai tiga, tempat dimana ruangan mereka berada. Devan keluar terlebih dahulu menuju ke ruangannya. Di susul Siska dan Sinta yang juga akan menuju ruangan mereka masing-masing. Saat Siska akan masuk ke ruangannya, tangan Siska ditarik oleh Sinta. "Lo kenapa? Ada masalah? Kayaknya ada yang aneh sama lo? "Eh... kenapa apanya? Aneh gimananya? Emang gue kenapa?" "Tuh kan, Dari tadi saat kita ketemu sama boss lo diem trus, lo keliatan salting banget dan aneh, nggak kayak biasanya." "Hehehe, emang begitu ya? Gue nggak papa kok Sin, tenang aja." "Ya udah kalo gitu, kalo ada masalah pokoknya cerita sama gue. Gue ke ruangan gue dulu." "Siap." Siska POV Dari tadi gue nggak bisa fokus sama pekerjaan gue. Perasaan cuman gue bolak balik aja kertasnya. Oh ya, Sinta tadi kok bisa tanya gitu. Emang tingkah laku gue kelihatan banget ya kalau gue lagi nggak nyaman sama Pak Devan. Sial. Kenapa tiba-tiba gue keinget kejadian kemarin. Stop Siska, Nggak boleh, ini nggak boleh terus-terusan di biarin. Bisa-bisa pekerjaan gue nggak selesai-selesai. "Fokus, lo harus fokus Sis, Lupakan semua kejadian kemarin. Anggap tidak pernah ada. Dan jalani kehidupan seperti biasa. Semangat. Lo pasti bisa. Nggak boleh baper." Gue nyemangatin diri gue sendiri. Gue tarik nafas panjang berulang kali, sampai gue merasa tenang. Sebelum akhirnya gue melanjutkan pekerjaan gue. Aaaaakkhhhh, gue bernafas lega akhirnya pekerjaan gue hampir selesai, tinggal minta tanda tangan. Sekarang udah waktunya istirahat sebentar dan makan siang, gue harus ke kantin dulu, ngisi energi plus ngopi, sepertinya tenaga dan pikiran gue hampir terkuras semua, badan gue juga rasa nya lemes banget dan mata gue rasanya udah berat banget buat melek. Seperti biasa gue makan siang bareng Sinta dan temen-temen karyawan cewek lainnya. Yah namanya cewek kalo udah kumpul suka ghibah sampai kemana-mana, bahkan satu RT sampai satu pulau bisa dighibahin semua. Dan kalo udah ghibah sampai nggak ing at waktu. Tiba-tiba udah selesai aja jam istirahatnya. Tok ... Tok... Gue mengetuk pintu ruangan pak Devan. "Masuk." Deg. Busyet kenapa nih sama jantung gue, masa baru denger suara serak-serak basahnya aja jantung gue udah mau copot, apalagi nanti kalau lihat mukanya, apalagi lihat bibirnya yang… Haish, kan gue jadi ngebayangin kejadian kemarin. Gue langsung geleng-geleng kepala. "Tenang Sis, tenang. Tarik nafas dalam-dalam, keluarkan. Tarik nafas lagi, keluarkan lagi. Lo nggak boleh gugup. Santai seperti di pantai. Kalo nggak lo bisa malu-maluin diri lo sendiri. Santai anggap nggak pernah terjadi apa-apa. Tenang Sis." Gue ngomong sendiri buat nenangin diri, Sebelum gue membuka pintu. Kalo ada yang lihat bisa disangka orang gila kali gue ya. "Maaf pak, saya mau minta tanda tangan bapak." "Oke, bawa sini berkasnya." Gue meletakkan berkas-berkas nya dimeja pak Devan. Sambil nunggu pak Devan tanda tangan, gue berusaha ngalihin pandangan gue kekanan dan kekiri, kebawah dan keatas, pokoknya yang penting nggak ngeliat mukanya pak Devan. Tentu dengan segala cara, gue berusaha terlihat tenang dan nggak gugup. Meskipun rasanya gue pengen terjun ke kolam aja deh, kalo ke laut kan terlalu dalam, sedalam cinta ku pada mu. Ciat ciat. Apaan sih nggak jelas banget. Rasanya kok lama banget ya, gue pengen cepet-cepet menghempaskan kaki dari ruangan ini. Engap banget rasanya. "Ini udah selesai, ada lagi?" "Tidak pak." "Ya sudah." "Baik pak, saya permisi dulu." Huuuuuuffffffftttttt. Akhirnya gue keluar juga. Rasanya kayak lo nahan kentut di depan gebetan lo, dan akhirnya bisa keluar saat gebetan lo akhirnya pergi. Legaaaaaa banget. Gue udah duduk manis di ruangan gue lagi. Pekerjaan gue udah selesai, tinggal nunggu waktunya pulang. Nah kan gue mikirin pak Devan lagi, kalo gue diem aja gini. Eh gue lihat tadi pak Devan sikapnya biasanya aja deh, terlihat tenang, santai, cool, dan selalu tampan, nggak seperti apa yang gue rasain. Sikapnya nunjukkin kayak emang nggak pernah terjadi apa-apa gitu. Jangan-jangan emang gue sendiri yang ke baperan nya tingkat nasional. Wah nggak bisa dibiarin nih, kalau ketahuan orangnya kan, bisa turun harkat dan martabat gue. Dikiranya gue wanita apaan nanti. Nggak, ini nggak boleh terjadi. Gue nggak boleh ke bawa perasaan kayak gini. Gue harus bisa bersikap normal seperti pak Devan. Kalau nggak gue bales aja, biar pak Devan baper sama gue, Lihat aja nanti. TBC ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD