3. Terlalu Mendominasi

1503 Words
Tujuan Aditya kembali ke Indonesia sebenarnya hanya satu, ingin menyelesaikan masalah yang belum pernah dia coba untuk selesaikan dengan Ranis. Karena sampai kapanpun Aditya tahu, seumur hidupnya gadis itu akan terus membenci dirinya. Setelah apa yang pernah terjadi tujuh tahun yang lalu. Aditya tidak sepenuhnya meninggalkan kariernya di Inggris. Dia hanya meminta cuti beberapa bulan. Dia akan mencoba untuk merintis usaha yang dulu sempat berjaya tapi harus dia tinggalkan demi mengejar karier di perusahaan besar di Inggris. Aditya meninggalkan Indonesia karena Ranis dan sekarang dia kembali lagi juga karena Ranis. Hanya nama itu yang selalu mendominasi hatinya selama tujuh tahun ini. Kenyataan itu pula lah yang membuat Maminya harus menahan emosi, hingga darah tingginya mencapai ambang batas normal dan akhirnya jatuh pingsan. Maminya begitu marah ketika Aditya menceritakan permasalahan yang sebenarnya terjadi antara dirinya dan Ranis tujuh tahun yang lalu. Linda begitu menyayangi Ranis dan menganggap Ranis adalah calon yang tepat untuk mendampingi Aditya kala itu. Ternyata akibat ulah Aditya sendiri lah yang membuat akhirnya Linda harus kehilangan Ranis sebagai calon ideal untuk menjadi menantunya. Meskipun Ranis masih menjadi bagian dalam keluarga Syahid, tapi semuanya tak lagi sama. Karakter Ranis yang dulu juga tidak sama dengan yang sekarang. Wanita paruh baya itu pun menyadari perubahan besar pada sikap Ranis, apalagi sikap Ranis yang selalu menjaga jarak padanya. Ranis seolah telah membangun benteng yang cukup tinggi dan kokoh supaya tidak harus bersinggungan langsung dengan Aditya. Malam ini Aditya menyusuri lorong rumah sakit dengan perasaan kacau setelah mendapati sikap Ranis yang masih saja dingin terhadapnya. Aditya berpikir keras untuk segera mengakhiri semua ini. Maaf itu harus segera dia dapat dari Ranis agar dia bisa menjalankan hidupnya dengan tenang. Syukur-syukur bila Ranis masih mau memberi dia tempat di hatinya. Pintu kamar tempat Linda dirawat dibuka perlahan oleh Aditya. Dilihatnya kamar itu masih sepi, Maminya sedang tertidur lelap. Aditya mengambil kursi lipat dan duduk di samping ranjang. Menyadari kehadiran putranya, Linda membuka perlahan kedua bola matanya. "Masih berani ke sini kamu?" tukas Linda dengan wajah dingin kepada putra bungsunya itu. "Mi, udah ya, jangan marah lagi. Nanti darah Mami naik lagi." "Biarin, biar mati aja sekalian Mami. Punya anak bisanya bikin malu keluarga aja." "Kok Mami ngomong gitu? Aku 'kan udah jelasin kalau itu bukan sepenuhnya salah aku." "Ya tapi tetep aja kamu yang salah. Untung Rey masih mau sama Luna. Kalau nggak? Dapat di mana lagi suami sebaik Rey itu?" "Nggak ada yang tau kok, Mi. Aku rasa Maura juga nggak cerita apa-apa sama Rey." Linda menarik selimut yang tadinya hanya menutup pinggangnya itu naik hingga menutupi pundak. Lalu memiringkan tubuhnya dan membelakangi Aditya. "Mami istriahat dulu ya. Jangan ikut mikir. Biar masalah ini Adit sama Maura aja yang nyelesein." "Mami rasanya sudah tidak punya muka lagi untuk ketemu sama Ranis. Padahal dia gadis yang baik dan idaman Mami banget, Dit." "Adit janji akan bawa Maura kembali untuk mami ya." "Jangan kepedean kamu, Dit." Linda berbicara masih dengan posisi membelakangi anaknya. Aditya kemudian mengusap perlahan punggung Mami nya. Tak lama kemudian Papi dan Kaluna masuk kamar. "Dit, Mas Rey gimana? Udah enakan?" "Udah. Tadi dikerokin sama Maura, trus dibikinin teh hangat. Sekarang masih istirahat." "Trus Dey?" "Ya sama Maura. Ada Miranda juga yang bantu nemenin Daren." "Syukur banget Ranis nggak pas kerja, Dit. Ranis nggak ngamuk waktu lihat kamu?" Wajah Kaluna terlihat gusar menanti jawaban dari adiknya. "Kayaknya ngamuknya sama Rey. Tapi dia nggak mungkin tega tetep ngamuk sama orang sakit," tukas Aditya sambil terkekeh pelan mengingat kejadian tadi siang saat Rey meringis kesakitan ketika dikerokin oleh Ranis. Ranis pasti sengaja ingin membalas kekesalannya pada Kakaknya itu. "Kok malah ketawa sih? Kamunya nggak diusir?" "Lun, lo berapa tahun kumpul sama Maura? Pernah lihat dia ngamuk? Ngusir orang? Marah-marah di depan orang banyak?" Kaluna menggeleng pasti, karena memang seingat dia, Ranis bukanlah tipe perempuan yang suka melampiaskan emosinya di muka umum. Ranis tipikal orang yang cukup tenang jika sedang emosi, bahkan cenderung memendamnya sendiri. Maka dari itu Kaluna sangat penasaran hal apa yang disembunyikan oleh Ranis sampai membuat dia begitu membenci Aditya. "Nah itu lo tau." "Terus sekarang kenapa lo balik sendirian? Kok nggak bareng Mas Rey?" "Nggak punya otak gue kalau masih maksa diem di rumah lo, sedangkan gue dianggap kayak hama pengganggu banget sama adik ipar lo itu." Aditya kembali membayangkan sikap dingin Ranis selama dia berada di rumah Kaluna. "Oya, Maura masih kerja di Famous?" "Masih. Editorial dia sekarang. Mana mau dia sama lo yang pengangguran gini." "Enak aja. Dikit lagi gue bakal jadi usahawan yang berjaya." Kaluna menepuk pelan pipi adik laki-lakinya itu seolah membangunkan saat Aditya tertidur di depan televisi. "Wake up Dit! Jangan bobog ganteng terus lo!" Tanpa disadari oleh kedua anaknya, Linda tengah menangis tanpa suara. Dalam tangisnya ia berdoa dan sesekali menyebutkan nama Ranis dalam doa itu. Linda masih berharap Ranis membuka pintu maaf dan pintu hatinya untuk Aditya. (-) Rey mondar-mandir di ruang tamu seolah menanti kehadiran seseorang. Ranis yang melihat kemudian menghampiri kakaknya. "Nunggu siapa mas?" "Emmh, ini mau balik ke rumah sakit tapi bingung sama siapa?" "Makanya mobil tuh jangan ditinggal." "Pinjam mobil kamu, Nis." "Trus besok Ranis kerja disuruh berangkat jalan kaki gitu? No way ya!" Rey mencebik tanda kesal pada Ranis. Tak lama dia menghubungi seseorang dari handphonenya. "Bisa jemput?" "Iya bisa. Adek lo?" "Nggak masalah. Ini mau bawain baju-baju sama keperluan lain buat Luna." "Gue on the way sekarang." "Oke gue tunggu." Entah kenapa pikiran Ranis tiba-tiba menebak bahwa Rey sedang menghubungi Aditya. "Besok kalau Ranis kerja, Daren gimana Mas?" "Sama mbak Sri aja. Besok Luna pulang kok." "Gampang amat nitip-nitipin anak. Kalau dibawa kabur gimana?" "Ya 'kan besok pagi Luna pulang." "Ranis bawa ke kantor aja ya, Mas?" "Bisa emang kamu?" "Bisa lah. Daren dong anteng sama onty-nya. Ketimbang sama Mamanya, banyak tingkah tuh anak. Hahaha..." Ranis tertawa penuh kemenangan. "Kalau kamu nggak repot bawa aja. Biar Mas yang jemput di kantor kamu." "Okesip. Ranis ke kamar dulu ya Mas." "Nggak pengen lihat siapa yang jemput Mas Rey?" ujar Rey menggoda adik perempuannya itu. Ranis tidak menggubris, memilih melanjutkan langkah menuju kamarnya di lantai atas. Bertepatan dengan itu ada suara deru mobil berhenti di depan rumah. Yang ia yakini pasti mobil Aditya. Ranis bergegas menaiki anak tangga. Tanpa disadari, Ranis salah memijak anak tangga. Kakinya terkilir dan terjungkal hingga beberapa anak tangga dibawahnya. "Aaww..." "Ranis!" Rey spontan berlari menuju tempat Ranis jatuh untuk melihat keadaan adiknya. Aditya bisa langsung masuk karena kebetulan pintu ruang tamu terbuka. Saat melihat Rey sedang membopong Ranis, ia terkejut dan segera menghampiri keduanya. "Ra, kamu kenapa?" tanya Aditya dengan wajah panik, sedangkan Ranis meringis kesakitan dan tidak memedulikan pertanyaan Aditya. "Tergelincir tadi pas naik, Dit. Kok bisa loh, nduk, kamu itu bikin orang kaget aja." Ranis melotot karena merasa disudutkan oleh Rey. Kemudian mencoba beranjak dari sofa ruang keluarga. "Aduh!" Aditya seketika langsung mendekat dan menahan tubuh Ranis yang limbung akibat tak kuat menahan sakit di kakinya. Ranis mencoba menepis bantuan Aditya, tapi tangan Aditya lebih kuat darinya saat ini. "Udah nggak usah batu, ayo duduk di sofa aja. Kaki kamu itu terkilir." Ranis akhirnya menurut, Aditya pun membopong tubuh Ranis ke sofa dan mendudukkan Ranis di sana. "Nis, Mas nggak mungkin ninggalin kamu di rumah berdua sama Dey dalam kondisi kamu kayak gini..." "Trus?" "Adit nemenin kamu di sini ya. Mas ke rumah sakit sebentar. Nanti subuh Mas sama Luna pulang. Gimana Dit?" "Ya terse-," "Enggak mau." "Ranis plis deh. Mana kunci mobil lo, Dit!" Setelah Aditya menyerahkan kunci mobilnya, Rey bergegas meninggalkan Ranis dan Aditya berdua di ruang keluarga. Suara mobil perlahan menghilang menjauh dari rumah. Aditya meninggalkan Ranis menuju dapur untuk memasak air panas dan mencari kain bersih untuk dijadikan bahan mengompres kaki Ranis. Setelah menemukan yang dicari, Aditya segera kembali ke tempat Ranis. "Eh, kamu mau ngapain?" tanya Ranis penuh selidik. "Mau kompres kaki kamu. Nanti bengkak kalau nggak dikompres." "Siniin itu kompresannya. Aku bisa sendiri." "Udah biar aku aja." Ranis tidak bisa melawan. Aditya duduk dibawah kaki Ranis kemudian mulai mengompres. Setelah selesai, Aditya mengurut kaki Ranis dengan obat gosok yang kebetulan tersedia di kotak P3K. "Udah enakan?" Ranis hanya mengangguk lalu mencoba untuk menegakkan tubuhnya. "Mau ke mana, Ra?" "Mau balik ke kamar. Daren sendirian di sana, takut nyariin aku." "Oh, sini aku bantu." "Nggak usah. Aku bisa sendiri." Baru satu langkah Ranis sudah meringis kesakitan yang luar biasa dari tumitnya. Akhirnya Aditya mendekati Ranis. Kemudian mengalungkan tangan Ranis ke lehernya dan memegangi pinggang Ranis, membantu gadis itu berjalan. Perasaan Ranis seketika menghangat saat berdekatan dengan Aditya seperti ini. Aroma tubuh Aditya masih sama seperti dulu, parfum yang dipakai juga masih sama. Entah kenapa Ranis menjadi lemah seperti ini dan pasrah saja dipeluk oleh Aditya. "Aku ada di lantai bawah. Kalau ada apa-apa panggil aja." Ranis hanya mengangguk dan ikut bergabung dalam selimut Daren. "Lampunya nggak usah dimatiin." Aditya melemparkan senyum manisnya pada Ranis. "Enggak kok. Aku tau kamu nggak bisa tidur dengan susasana kamar gelap 'kan?" "Hmm." Ranis hanya bergumam, memeluk Daren dari belakang, kemudian ikut terlelap bersama balita dengan wangi minyak telon di sampingnya. --- To be continued... ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD