2. Childish

2070 Words
Seperti biasa setiap hari Minggu pagi Ranis akan melakukan kegiatan jogging pagi di sekitaran kompleks perumahan. Pukul setengah enam pagi Ranis sudah siap mengenakan tanktop dibalut jaket kaos dengan logo GAP di depan d**a, juga legging berwarna hitam selutut. Rambut panjangnya diikat kucir kuda. Sebelum memulai lari, Ranis melakukan pemanasan dulu di depan rumah, kemudian dia mengutak-atik ipod mininya memilih lagu yang sesuai untuk mengawali jogging paginya. Pilihan pertama jatuh pada lagu berjudul Insomnia dari Craig David. Satu jam kemudian Ranis sudah kembali dalam kondisi penuh peluh dan napas tersengal. Saat sedang menuangkan air putih ke gelas ramping, sebuah tangan mungil menarik salah satu tangannya yang bebas. "Onty," suara anak kecil itu membuat Ranis sedikit melonjak kaget dan membuatnya menghentikan kegiatan menuang air ke gelas. "Hai boy, udah bangun kamu?" "Au a' a' onty." "Dey lapar?" Anak kecil itu mengangguk lemah. Ranis melihat sekeliling rumah lalu berjongkok dihadapan Daren untuk mensejajarkan tubuhnya dengan anak kecil itu. "Papa sama Mama kemana emangnya?" "Ga' au," ucap Daren sambil menggoyangkan kepala mungilnya. Ranis mengacak rambut hitam keponakannya itu dengan gemas. "Mau bubur ayam nggak? Yang di depan situ..." Daren mengangguk cepat. Lalu mengamit lengan Ranis untuk segera beranjak. "Tunggu bentar, Onty ambil dompet dulu ya, Dey tunggu sini aja biar nggak naik turun." Daren mengangguk, Ranis bergegas menuju kamarnya di lantai dua untuk mengambil dompet dan kunci mobil. Karena tidak memungkinkan untuk berjalan kaki sejauh 500 meter dengan menggendong balita berusia 2,5 tahun. Yang ada pinggang Ranis bakal kena encok setelahnya. Setelah memastikan Daren dengan posisi nyaman dan menggunakan seat belt-nya, Ranis berputar menuju bangku kemudi. Ranis agak heran karena mobil Kakaknya sudah tidak ada sepagi ini. Kemana perginya kedua orang tua Daren ini. Kebetulan juga asisten rumah tangga keluarga ini belum datang. Ranis sendiri baru saja sadar jika ternyata dari entah jam berapa hanya tinggal mereka berdua yang ada di rumah ini. Ingin sekali Ranis memaki kedua kakaknya itu, karena sudah seenaknya meninggalkan Daren sendiri di kamar lalu pergi tanpa berpamitan pada Ranis. Tapi Ranis mengurungkan niatnya karena melihat wajah keponakannya yang lesu entah karena lapar atau masih mengantuk. (-) Ranis menyuapi Daren dengan sabar. Sepertinya bocah ini sangat kelaparan pagi ini. Satu porsi bubur ayam yang membuat kenyang orang dewasa habis tiga perempatnya oleh Daren. Setelah Daren selesai makan, Ranis harus mandi. Dia lalu menitipkan keponakannya itu pada mbak Sri, asisten rumah tangga rumah ini. Sesampainya di kamar, Ranis mengecek handphone yang telah berjam-jam ia tinggalkan sejak jogging tadi. Ada 30 missed call, chat BBM, sampai WA. Semuanya dari Kaluna dan Reynaldy. Akhirnya Ranis mencoba untuk menghubungi Reynaldy kembali. Setelah bunyi sambungan ke tiga Reynaldy menjawab telepon Ranis. "Mas Rey sama Kak Luna di mana sih? Daren itu bangun-bangun kelaperan loh. Untung aku udah pulang jogging pas dia kebangun." "Mas di rumah sakit Nis. Tolong jaga Daren bentar ya." "Siapa yang sakit mas?" "Mami Nis. Tadi dini hari darah tinggi mami kambuh. Ini sekarang udah di ICU tapi belum sadar." "Astaga mas. Ya udah kalau butuh apa-apa hubungi Ranis ya. Biar Daren di rumah sama Ranis dulu." "Makasih ya, nduk." Mami yang dimaksud Rey adalah ibu mertuanya. Untung saja hari ini adalah hari Minggu. Jadi Ranis benar-benar bebas dari rutinitas pekerjaannya. Sehingga dia memiliki waktu satu hari penuh untuk menjaga Daren. Ranis seketika mengenang bahwa ibu mertua Rey memang mempunyai riwayat penyakit darah tinggi, karena Ranis pernah merawatnya beberapa tahun lalu saat Mami masuk rumah sakit, gara-gara nekat menyeruput jus alpukat yang Ranis buat untuk Aditya. 's**t!' Tiba-tiba Ranis mengumpat karena harus kembali mengingat nama itu. Ranis kemudian mandi dan bergegas ke bawah untuk menemani Daren kembali. Pagi ini Ranis benar-benar mengambil alih tugas Kaluna untuk menjaga Daren. Ranis yang memandikan dan mengganti baju keponakannya itu. Yang membuat Ranis heran, keponakannya itu cukup kalem saat bersamanya. Tidak seperti saat bersama Papa apalagi Mamanya. Daren menuruti apa yang Ranis katakan. Tepat pukul sebelas, Daren mengeluh mengantuk dan meminta Ranis untuk membuatkan s**u untuknya. "Onty, cucu bobog, cucu bobog." Seperti itu rengekan Daren saat keduanya sedang menonton acara di stasiun televisi cartoon network. Ranis sudah mengenal Daren sejak anak itu bayi, sehingga sedikit banyak Ranis sudah tahu kebiasaan Daren, takaran s**u untuk Daren, bahkan bahasa planet yang kerap Daren lontarkan. Malah terkadang orang tuanya suka salah mengartikan arti dari ucapan anaknya sendiri. Justru Ranis yang bisa dengan cepat menangkap maksud ucapan Daren. "Ya bentar, onty bikinin. Sudah, jangan ngerengek lagi, kayak cewek kamu kalau ngerengek-ngerengek begitu." Seketika Daren berhenti merengek saat mendengar titah dari Ranis. Beberapa menit kemudian, Daren sudah terlelap dengan botol s**u masih di mulutnya. Ranis sesekali mengelus kepala dan menepuk-nepuk p****t Daren. Entahlah mendapat keahlian dari mana dia bisa menidurkan anak semudah ini. Padahal Daren termasuk anak yang super aktif, sangat susah sekali disuruh tidur bila dia belum benar-benar mengantuk. Namun sekarang hanya dalam hitungan menit langsung terlelap di ranjang Ranis, tanpa perlu drama tangisan dan minta digendong keliling rumah seperi biasanya. Efek mengantuk berat mungkin, pikir Ranis. Handpone yang ia letakkan di atas meja rias di kamarnya bergetar. Kaluna is Calling... "Ya Kak? Gimana mami, emmh maksud aku Tante Linda? Udah sadar?" Entahlah terkadang Ranis masih saja suka keceplosan memanggil Ibu mertua kakaknya itu dengan sebutan Mami. Sebenarnya tidak ada yang keberatan, apalagi Mami sendiri. Tapi Ranis yang dengan tegas menolak dan tetap kekeuh memanggil tante Linda. "Udah sadar, Nis. Gimana Daren? Maaf banget ya, kakak ngerepotin kamu." Suara Kaluna terdengar sedikit sengau, dia memang tidak berhenti menangis semenjak meninggalkan rumah subuh tadi. "Syukurlah. Nggak ngerepotin kok. Daren anteng-anteng aja sama aku. Sekarang dia lagi bobog di kamarku." "Ya ampun. Berarti kamu ngegendongin Daren keliling rumah dong Nis?" "Nggak kak. Daren cuma minta s**u, abis itu aku tepok-tepok pantatnya langsung lelap dia nya." "Ya syukur kalau Daren nggak bikin kamu repot. Sejam lagi Kak Luna sama Mas Rey pulang kok." "Loh yang jagain tante Linda siapa kak?" "Ada Papi sama Adit yang gantian jaga." Hening. Ranis tidak menjawab meski Kaluna memanggil namanya berkali-kali. Nama itu seolah menjadi judul lagu paling hits hari ini, karena rasanya sudah berapa kali Ranis mendengar nama itu lagi dan lagi setelah hampir 7 tahun terakhir ini tak pernah coba Ranis dengar. "Ranis, kamu masih di situ kan?" "Ya Kak, masih kok. Ya udah kalo gitu salam sama om Tri ya." "Adit nggak disalamin juga Nis?" "Iya." Klik... Pipi Ranis menghangat seketika itu juga. Tidak ada alasan mengapa hatinya tiba-tiba menghangat saat kakak iparnya menggodanya seperti itu. Tak lama handphone yang masih berada di tangannya kembali bergetar. Mira is Calling... "Ranis, ngemall yuuuk. Ada sale nih Channel, kali aja ada tas yang lo pengen." "Nggak bisa Mir, gue jadi nanny dadakan ini." "Emang emaknya Day kemane? Tumben dia bisa ninggalin anaknya. Mas Rey lagi ke luar kota kah?" "Tante Linda masuk rumah sakit. Darah tingginya kumat. Tadi di ICU sempat nggak sadar, tapi sekarang udah sadar." "Oalah. Gue ke rumahnya Mas Rey deh kalau gitu." "Sippp. Mulai boring gue. Mana Day lagi bobog ganteng, nggak ada yang mau gue ajak becanda." "Mo dibawain apa?" "Pizza aja deh." "Okey cintah." "Ranis, nama gue Ranis. Bukan Cintah dan gue nggak punya pacar namanya Rangga juga." "Buahahaha .... Bisa aja lo. Tapi lo punya kisah cinta kayak Rangga dan Cinta kan?" "Shut up Miranda Suroyo!" "Alamak the killer of Ranis muncul. Mending kabur aja dah. Bye." "MIRANDAAA!!!" Tepat setelah Ranis meneriakkan nama Miranda, Daren menggeliat dan Ranis langsung memutuskan sambungan telepon dan kembali menepuk-nepuk p****t Daren, hingga balita tampan itu terlelap kembali. Dia lupa saat ini sedang bersama siapa di atas ranjangnya. --- Mobil Miranda dan Reynaldy bersamaan sampainya. Namun mobil keduanya tidak bisa masuk karena seperti biasa mobil Ranis terparkir cantik di depan garasi. Akhirnya kedua mobil itu memilih memarkir mobil masing-masing di tepian trotoar rumah. 'Astaga, perang, perang nih abis ini kalau Ranis tau mas Rey bawa Adit kemari,' ucap batin Miranda saat melihat Aditya dan Rey turun dari mobil Pajero sport putih yang Miranda tebak milik Aditya. "Hai, Dit." "Hai Mira. Apa itu?" "Pizza pesenan tuan putri Rengganis." Ketiganya tertawa bersamaan lalu masuk ke dalam rumah. Bertepatan saat itu Ranis sedang bermain kejar-kejaran dengan Daren. Ranis membungkukkan tubuhnya, salah satu tangannya bertumpu pada sandaran sofa ruang keluarga untuk mengatur napas karena kelelahan mengejar Daren. Saat mendengar ada suara dari balik pintu ruang tamu, Daren spontan lari ke arah papanya saat melihat Rey, Aditya dan Miranda masuk rumah. "Papa...," seru Daren. "Onty Miya, Om Adit." Tubuh Ranis menegang saat Daren menyebutkan nama 'Om Adit' baru saja. Ranis masih menatap nanar lantai marmer di bawahnya. Kemudian sepasang sepatu Adidas, dan wangi parfum Acqua Di Gio sudah berada di jarak satu meter dari tempatnya membungkuk saat ini. "Asik bener main lariannya. Boleh ikutan nggak?" Suara bass itu semakin membuat Ranis terpaku di tempatnya saat ini. Dia pun mencoba menegakkan tubuhnya dan sedetik kemudian tatapan keduanya bertemu. Ranis menatap tajam manik mata sedikit sendu milik Aditya. Sepersekian menit keduanya masih tetap dalam diam dan berpacu dalam pikiran masing-masing. Tangan mungil Daren menyentuh lengan Ranis, membuat ia menggeleng dan kembali pada alam sadarnya. "Onty ayo, kejal Dey agi!" "Onty capek Dey. Kamu maen sama papa atau Onty Mira aja ya!" Ranis melangkah meninggalkan tempatnya menuju kamarnya di lantai atas. Ternyata Rey mengikutinya hingga ke kamar. "Kenapa Mas ajak dia ke sini?" "Migrain mas tadi kumat, Nis. Mas nggak kuat nyetir sendiri. Papi lagi nggak stabil, Luna nggak bisa nyetir, jadi cuma Adit yang bisa nolong Mas." "Kenapa nggak naik taksi kek, atau minta jemput aku aja kalau perlu!" Ranis menggerutu kesal dan tidak peduli lagi kemana hilangnya sopan santun yang diajarkan oleh orang tuanya ketika berbicara dengan saudara yang lebih tua. "Udah deh Nis, gini aja kamu ributin. Ya kalau kamu nggak mau ketemu Adit juga nggak masalah, nggak perlu sewot gini!" "Aku mau tidur. Seharian ini aku nggak tidur. Gantian jaga Dey." "Tapi mas lagi migrain, Nis. Mas mau istirahat. Plis, temenin Dey maen bentaran lagi." "Lakuin deh apa yang bikin Mas bahagia. Ini rumah Mas kok. Aku cuma numpang di sini!" "Jangan drama deh, Nis." Ranis keluar dari kamarnya dengan kesal menuju halaman belakang rumah. Dilihatnya Daren sedang asik bermain dengan Aditya. Ranis mengambil duduk disamping Mira di gazebo kecil dekat kolam renang. "Lo sebenarnya ada masalah apa sama Adit? Padahal lo sayang banget sama dia, tapi tiba-tiba lo bisa jadi benci banget sama Aditya. Semudah lo membalikkan telapak tangan." "Memang semudah itu kok. Karena perbedaan cinta dan benci itu tipis." "Lo juga kelihatan menghindari dia banget. Kalau memang hubungan lo udah kelar, ya udah kelar ajah. Nggak perlu lah sampai musuh-musuhan gitu. Childish tau nggak sih lo! Ranis bergeming. Tak sepatah katapun dia ucapkan untuk menyanggah ucapan Miranda. "Cuma masa lalu, Mir. Ada masalah yang cuma gue, dia dan Tuhan yang tahu." "Apa masa lalunya ada hubungan dengan anak kecil yang dirawat sama om Halim? Ayla Kinanthi kan nama anak perempuan itu?" "Lo tahu dari mana soal Ayla?" "Tempo hari gue disuruh Mama mengantar masakan pesanan bokap lo. Pas gue nyampe rumah Om Halim, gue lihat ada anak perempuan umur kira-kira 6 tahunan lagi becanda-becanda di halaman depan sama Om. Pas gue tanya itu anak siapa? Om cuma jawab anak angkat, buat nemenin Om yang kesepian sejak nyokap lo meninggal. Gue nggak percaya begitu aja, karena Om Halim juga ngomongnya kayak ragu. Pas gue desak, Om cuma bilang 'Lebih baik Ranis saja yang menjelaskan soal anak ini'. Lah, kan tambah bingung gue." "Kalo lo bingung, tanya sama security kompleks ajah Mir!" "Elaaah, serius gue Rengganis." "Lupain aja, Mir. Males bahas ginian gue." "Lo nggak mau bagi cerita lo sama gue nggak apa-apa. Tapi mau sampai kapan lo menghindari Aditya?" "Sampai gue siap." Miranda akhirnya kalah. Dia tidak melanjutkan lagi menginterogasi sepupunya yang kepala batu itu. Sesekali Aditya menoleh ke arah Ranis dan melempar senyum manis untuk Ranis. Namun Ranis hanya membalas dengan tatapan datar dan memilih untuk membuang muka. Hati Ranis masih terlalu sakit saat ini. Dirinya sendiri pun masih tidak tahu, akan sampai kapan sanggup memendam rasa sakit hati akibat kecewa yang terlalu mendalam pada laki-laki yang pernah sangat dicintainya itu. Padahal Ranis itu tipekal perempuan pemaaf dan tidak suka mendendam. Tapi entahlah perasaannya terlalu sensitif jika menyangkut sebuah nama yaitu Kevin Aditya Syahid. Perasaannya terlalu enggan untuk berdamai dengan masa lalu terhadap hal yang bersangkutan dengan Aditya. Laki-laki yang pernah sangat ia cintai, laki-laki pertama yang mencuri hatinya, mencuri ciuman pertamanya, juga laki-laki pertama yang menggores perasaannya hingga meninggalkan luka yang teramat dalam di hatinya. --- Enjoy this story. Love and comentnya jangan lupa. ^vee^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD