Kishi Kai dan Ship Area 2

1046 Words
Sudah lima berlalu hari sejak kasus yang menimpa Dawani dan Ship Area “usai”. Kishi harus terus menerus begadang setiap malam di gudang Ship Area untuk mengembalikan laporan menjadi seperti semula. Ship Area sudah memberinya mandate bahwa ia tak boleh menggunakan waktu kerja wajibnya. “Sudah lima hari aku bekerja, tapi kenapa yang dihasilkan hanya seperti baru kerja selama lima jam begini?” tanyanya suram sambil menjatuhkan dahi di atas meja. Tuk. Ia sangat lelah dan mengantuk. Namun, kewajibannya tak boleh ditunda. Besok pun ia tak boleh kelelahan dalam pekerjaan. Ia harus bekerja dengan fit dan prima seperti biasa. Demi menghalau kantuk Kishi mulai bicara sendiri, “Gara-gara menolak untuk memberi tahu pegawai lain cara memanipulasi mesin. Mereka jadi bersikap dingin padaku. Padahal aku melakukan itu agar mereka tidak jadi menggampangkan pekerjaan. Pekerjaanku pun jadi banyak yang disabotase. “Pusiiing… “Untung saja mereka tidak tau kalau sebenarnya aku masih berusia sebelas tahun. Untuk siapa pun manusia cerdas yang pasti sudah ada di surga saat ini. Aku berterima kasih karena kalian telah menciptakan teknologi prank paling mantap bernama VEM (Visual Eyes Manipulation). “Kabarnya Day bagaimana, ya? Aku harap dia selalu pulang larut malam agar tidak sadar kalau aku tidak pernah kembali,” harapnya. Saat sebelah tangannya hendak bergerak untuk meraih gelas kopi. Ia sadar bahwa kopi yang ia buat sudah habis. Ia pun segera bangkit untuk membuat secangkir kopi yang baru. Tuk… tuk… tuk… Langkahnya terasa amat berat. Begitu juga dengan kelopak matanya yang terasa digantuli selusin debong pisang. Semuanya pun menjadi gelap gulita. Praank. Ceret yang ia bawa terjatuh lepas dari tangannya. Tubuhnya nyaris ambruk. Andai saja tak ada orang yang menahannya. “Kishi, Kishi, Kishi,” panggil orang itu histeris. Kishi tak menjawab. Ia baringkan tubuh pemuda itu di sisi mesin input data laporan. Diselimuti tubuhnya dengan jaket yang ia kenakan. “Pak… Pak Dawani ngapain di sini?” tanya Kishi yang setengah sadar. “Biar saya yang kerjakan semua sisanya. Kamu tidur saja,” ucap Dawani tersenyum ramah. Dengan tangan yang lemah. Kishi berusaha menghentikan tindakan Dawani. Ia bangkit dari posisi tidurnya dan berlagak tak ada yang terjadi. “Ini tanggung jawab saya, Pak. Bapak harus kembali,” pintanya. “Ha ha ha, kamu sedang meledek saya, ya?” respon Dawani santai. Kishi membalas dengan suara yang lemah, “Bukankah Bapak bekerja untuk keluarga Bapak? Kalau Bapak harus mengerjakan ini. Siapa yang akan ada bersama keluarga Bapak? Bagaimana kalau sesuatu terjadi pada istri Bapak? Bagaimana kalau sampai anak-anak Bapak membutuh bantuan Bapak? Bagaimana kalau sampai…” “SSSTT!!!” Dawani mendesis tepat di daun telinga Kishi sambil menaruh telunjuk di bibir anak muda itu. “Kebaikanmu akan membunuhmu lho, anak muda,” nasihatnya. Menurut Dawani sendiri Kishi adalah orang dengan pikiran dan hati paling murni yang pernah ia temui sepanjang hidup. Anak model begini pasti gampang buat ditipu, batinnya. Kishi menundukkan kepalanya lemas. “Sebenarnya… orang tua saya meninggal sejak saya masih kecil. Itu hanya membuat saya tidak ingin ada anak lain yang mengalami hal serupa.” Dawani langsung paham. Tubuh yang tampak di hadapannya sepertinya bukan tubuh  asli. Ini pasti tubuh hasil rekayasa virtual. Dari cara bicara sepertinya Kishi masih anak kecil. Masih usia SD, kah? Tidak. Paling tidak remaja. Cara dia berpikir sudah cukup dewasa.  Mungkin usia aslinya sekitar lima belas tahunan. “Kishi,” panggil Dawani. “Ada apa, Pak?” jawab Kishi lemas. “Apa kamu mau saya tunjukkan keajaiban yang akan membuatmu menangisi semua kerja kerasmu?” tanya Dawani tersenyum iseng. Kali ini Dawani yang membuat Kishi tak mengerti. How clueless. Jemari-jemari Dawani bergerak dengan cepat di atas keyboard. Berbagai tombol biru muda yang ia tekan kini menyala dengan warna merah. Setelah itu sebuah keajaiban terjadi. Kedua mata Kishi terbelalak tak percaya sampai lupa pada rasa kantuk yang tengah ia rasakan. Secara beruntun dan berkesinambungan. Seluruh data laporan yang hilang minggu kemarin kembali. Tak sampai dua menit lagi. Semua laporan itu kembali utuh seperti tak pernah diutak-atik sebelumnya. “B-Bagaimana bisa?” tanya Kishi tak bisa mempercayai indra penglihatannya. Masih menatap layar monitor tak percaya. Semua kerja kerasnya lima malam terakhir ini. Terasa menguap ke angkasa raya menuju galaksi Andromeda yang entah ada di mana. Dibanting punggungnya di tempat ia berbaring. Ingin menertawakan kebodohannya sekencang mungkin. Dawani tersenyum melihat respon Kishi. Berkata, “Seluruh pegawai tetap yang sudah bekerja lebih dari sepuluh tahun pasti mengetahui cara ini. Mereka hanya membiarkanmu melakukan itu semua untuk mengukur tanggung jawabmu karena berani menantang atasan,” beritahunya. Kishi membuka lebar matanya. “Waah, kantuk saya jadi hilang. Terima kasih banyak, Pak,” ucapnya seraya merendahkan pandangan. “Semua orang yang bekerja di sini. Seorang senior pegawai tetap sekalipun. Tak ada yang tau cara memanipulasi sistem penanggalan mesin itu. Sayalah di sini yang harus berterima kasih,” balas Dawani ikut merendahkan pandangan. Kishi menggulum senyumannya lebih manis. Wajahnya jadi terlihat semakin seperti anak-anak. “Kamu harus merahasiakan ini dari semua orang, ya. Mesin itu akan rusak jika direset lebih dari dua kali,” peringat Dawani. Sebelah tangan Dawani merogoh isi tas yang ia bawa. Sebuah kotak makan alumunium dengan pengatur suhu. Begitu tutupnya dibuka. Aroma masakan di dalamnya semerbak mengisi udara di sekitar Kishi yang dingin. “Ini hadiah buat kamu,” ucapnya dengan senyuman tulus. “Kebab daging asli!”  pekik Kishi bahagia. Ia pun makan dengan lahap. Kharuph khrauph khrauph. Seusai menghabiskan sepuluh kebab yang dibawa oleh Dawani. Kishi berniat untuk kembali. Namun, di jam ini seluruh angkutan umum sudah berhenti beroperasi. "Mau nebeng, boy?" tanya Dawani dari dalam mobil sederhana miliknya. Dengan berat hati ia pun menerima tumpangan Dawani. “Kalau tidak terpaksa seperti saat ini. Aku tidak akan pernah mau menerima bantuan dari orang lain,” ucap Kishi lirih di dalam mobil yang mulai melaju. “Kamu ini hanya mau menerima bantuan dari binatang herbivora apa bagaimana?” tanya Dawani geli. … Sampailah mereka di depan rumah Kishi dengan homemate-nya, Day. “Terima kasih banyak, ya. Istirahatlah yang baik agar besok kembali segar,” pesan Dawani dari dalam mobil sebelum kebali memacunya memasuki kegelapan jalan. Kishi melambaikan tangannya pada mobil Dawani yang menjauh. Niat iseng dan seringai jahat tiba-tiba muncul dalam kepalanya. “Khu khu khu, Day kan orangnya gampang paranoid. Akan aku kageti dia dulu, deh.” Kishi pun mengendap-endap menuju kamar Day. Namun, anak yang seumuran dengannya itu tak ada di sana. Jejak Day tak ada di mana pun di segala sudut rumah itu. “Day… hilang…?!” pikir Kishi panik. Sangat terkejut. Sangat kacau. Sangat paranoid. Ke mana Day? Satu-satunya sahabatnya. Satu-satunya keluarganya. Satu-satunya orang yang bisa dan mampu melengkapinya. Satu-satunya yang bisa mendampingi malam... Dengan nafas turun naik yang mulai bisa diatur. Kishi pun sadar untuk memeriksa smartphone-nya. Dan menyadari sebuah pesan yang baru saja masuk berbunyi, “Aku nggak pulang malam ini, khu khu khu – Day.” Kishi tersenyum kecut dan berjalan menuju kamarnya sendiri. Ingin ia banting wajah Day saat mereka bertemu nanti. Lihat saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD