Ia menguhubungi David sambil memelankan langkahnya, lalu matanya tidak sengaja tertuju pada sesuatu. Nanda bertemu sosok yang familiar. Sosok familiar itu, kini sedang memeluk seorang perempuan dengan sangat erat dengan ekpresi wajah yang sangat bahagia. Dia mirip seseorang yang Nanda cari, David.
Nanda yang tidak mau terjadi kesalahpahaman, memilih untuk memastikan terlebih dahulu. Ia memilih untuk menelpon David, untuk melihat apakah benar david yang akan menjawab panggilan teleponnya. Suara dering telepon terhubung, mulai terdengar. Nanda yang semakin penasaran, mulai mendekati dua sosok itu. Ia melihat laki-laki itu mengangkat handphone yang berada di tangan kanannya. Suara berat seorang laki-laki mulai terdengar dari hp Nanda.
“Halo Nan, kenapa?”
Suara itu bertepatan dengan laki-laki yang ia perhatikan daritadi. Itu benar David, yang sedang memeluk seorang perempuan.
“Kamu dimana Dav?” tanya Nanda memancing pembicaraan.
“aku masih keluar Nan, sama temen-temenku.” David menjawab dengan santai, sambil membelai rambut perempuan yang berada di pelukannya. Nanda yang masih memperhatikannya menatap dengan tidak percaya.
“oh, masih keluar ya?”
“iya, ini masih keluar.” David menjawab dengan santai tanpa ada rasa bersalah setelah membohongi Nanda.
“asik banget kayanya, chat dari aku belum sempet kamu baca.”
“chat? Wait- kamu ngechat aku? Oh iyaa. Maaf ya nan, baru aku baca. Aku gabisa kesana sekarang, masih rame. Ini juga aku harus keluar dulu buat jawab telpon kamu.”
Nanda hanya memasang wajah kecewa, tujuannya ingin bertemu dengan David adalah untuk menumpahakan rasa lelahnya hari ini dengan bercerita. Tapi sekarang apa yang ia dapatkan? Dengan tidak sengaja ia melihat David yang sedang merengkuh perempuan lain.
‘ya tuhan, harus hari ini banget ya?’ batinnya mengaduh kepada sang pencipta.
“ohh, yaudah dav. Kapan-kapan aja. have fun ya.”
“iya Nan, maaf ya aku ga bisa ketemu. Temen-temenku nanti marah, kalo aku lebih mentingin cewe.”
“gapapa kok.”
Setelah panggilan telepon itu tertutup, Nanda tetap memperhatikan David. Ekspresi wajahnya yang tadi kecewa kini perlahan berubah. Nanda hanya memasang ekpresi datar, lalu dengan sengaja mengambil gambar David yang masih asik berpelukan sebagai bukti. Setelah Nanda mengambil foto itu, ia melangkah gontai meneruskan jalannya.
Sebenarnya Nanda tidak tahu harus kemana, ia sangat lelah dengan semua keadaan hari ini. Benar-benar lelah. Jika tuhan mengizinkannya untuk beristirahat sehari saja, ia pasti akan sangat bersyukur dan pergi ke tempat ibadah setiap minggu dengan rajin.
Ketika melihat pemandangan yang ada di depannya, ia hanya bisa menghela napas. Tanpa sengaja ia melirik ke kanan, terdapat gedung kosong yang sudah ditinggalkan selama beberapa bulan hampir setahun. Nanda tahu ini, karena ia sering melewati gedung ini ketika ia pulang dari pekerjaan part-timenya di café. Lalu langkah kakinya menuju ke gedung kosong itu. Melangkah ke dalam gedung, tanpa rasa takut.
“kalo sampe bener bener ada setan disini yang berani gangguin gue, gue bunuh tu setan ampe mati 2x.”
Mahluk-mahluk yang tidak ketara yang berada disana, merinding. Melihat aura horror yang dipancarkan Nanda sangat ketara sekali, disaat Nanda lebih horror daripada setan itu berarti Nanda dalam keadaan yang tidak bisa diganggu.
‘yang setan gue, tapi lebih sereman tu cewe.’ Ucap hantu yang berada dipojokan itu yang sempat mendengar ucapan Nanda ketika masuk ke gedung.
Nanda melangkahkan kakinya ke anak tangga yang berada di pojok tempat itu, melangkahi anak tangga itu satu persatu, sampai ia berhasil menuju puncak gedung kosong tersebut.
‘not bad.’ Gumamnya ketika sampai di puncak gedung.
Pemandangan kota ketika malam sedikit menenangkannya, ia berjalan menuju pinggir gedung lalu menaikinya dan duduk di sana. Seolah tak takut akan bahaya yang akan menimpanya, jika ia salah satu langkah saja. Nanda mulai memikirkan semua yang ada.
Kenapa ia diciptakan? Kenapa ia harus lahir? Kenapa hidup ini tidak adil baginya? Kenapa ia harus bekerja keras untuk segalanya? Kenapa tidak ada yang mengapresiasinya? Kenapa keluarganya begitu kejam kepadanya? Apa salah dirinya?
‘katanya manusia sebelum dillahirkan, ditunjukkin dulu gimana kehidupan yang akan dijalanin. Terus dulu kenapa gue sotoy banget mau lahir anjir. Tau gitu nolak aja.”
Ia mulai memikirkan kejadian yang dialami hari ini, tentang perkataan keluarganya yang menusuk, tamparan kedua orangtuanya, pekerjaanya yang berhenti, dan tentang David. Walaupun dia dan David jarang bertemu, tetapi Nanda sudah terlanjur sayang. Apa yaa, lebih ke nyaman karena David lah yang selama ini menemaninya selain sahabatnya.
Perlahan air mata menetes mengalir ke kedua pipinya, mulanya itu hanyalah tetesan. Lama-kelamaan berubah menjadi tangis. Tapi tangisan itu tetap ia tahan, ia tidak ingin menangis. Sudut bibirnya yang tadi luka robek, semakin perih karena air matanya mengenai luka tersebut. Dadanya semakin sesak, emosi yang selama ini Nanda pendam kini tak mampu lagi ia sembunyikan. Badannya yang terasa sakit, luka luka yang ada ditubuhnya, pikiran yang lelah, dan hatinya yang perih membuat isak tangisnya kini semakin terasa. Bahunya bergetar, tapi dengan sekuat tenaga ia tetap menjaga tangisnya agar tidak meraung.
“pengen mati-” Nanda berbicara kepada dirinya sendiri, isak tangisnya menghentikan kalimat yang akan ia keluarkan. Nanda yang sedang menangis dan membicarakan itu, sontak membuat para setan yang digedung itu menertawakannya. Mereka sudah bersiap-siap dan memiliki ancang-ancang untuk segera mendorongnya.
“tapi takut masuk neraka.”
Setan-setan yang tadi berada dibelakangnya langsung bubar setelah mendengar kalimat Nanda.
‘dih cupu.’ Nyinyir setan yang paling semangat untuk mendorongnya, ia kecewa.
Nanda lalu mengusap air mata yang masih mengalir di pipinya dengan kasar, ia berdiri sebentar merapihkan pakaiannya. Tetapi sepoian angin malam yang menggoda membelainya, membuat gadis itu merentangkan tangannya. Pinggang Nanda yang tadi membentur ujung kursi kini terasa sangat sakit. Ketika ia ingin menyentuhnya, tanpa sengaja kakinya terpeleset. Badannya kehilangan keseimbangan.
Kali ini tanpa bantuan setanpun, Nanda sudah tergelincir.
***
“LEGA BANGET AKHIRNYA.”
Regan menepuk nepuk perutnya sendiri setelah keluar dari kamar mandi. Setelah pulang dari rumah Alfan, ia sangat mules dalam perjalanan. Bahhkan Regan mengendarai motor dengan sangat kencang. Saat berada di lampu merah tadi, ia sangat fokus memperhatikan warnanya, menunggu kapan warna itu akan berubah menjadi hijau. Regan membayangkan dia berada di arena balapan, sedangkan lampu itu adalah penentu startnya dan tentu saja, kamar mandi adalah tujuannya. Regan tidak bisa berhenti di pom bensin karena ia tidak bisa membuang air besar di bukan lingkungannya sendiri. Kebiasaan itu membuat bagas dan alfan sering kali sebal, karena sering kali regan mules dalam perjalanan yang mengharuskan mereka bertiga harus cepat cepat pulang.
Regan duduk di kasur yang berukuran king sizenya itu, matanya melirik hp yang terletak diatas meja samping kasur. Ia lalu mengambilnya, mengecek apa saja jadwalnya dan apa saja tugas yang perlu ia kerjakan. Sejujurnya Regan adalah mahasiswa yang rajin, ia tidak pernah sekalipun telat mengumpulkan tugas dari dosennya. Semua tugas yang diberikan dosen, regan kerjakan dengan baik dan benar. Ia rela begadang demi menyelesaikan tugasnya agar tepat waktu, meminum satu kaleng nescafa yang ia beli di indojuni dekat rumahnya. Satu kaleng nescafa, mampu membuatnya terjaga penuh dalam satu malam.
Regan memasuki universitas dengan memilih jurusan teknik informatika, benar-benar jurusan teknik yang tadinya tidak ia duga. Sebagaimana macam mahasiswa teknik lainnya yang hidup stress, Regan juga seperti itu. Tapi Bagas, dan Alfan mengubah kestressan itu menjadi sumber kegilaan mereka.
“jam 10 gini, duh gue laper banget.” Suara perut Regan terdengar keras, pertanda jika tubuhnya butuh makanan. Siang ini dia lupa makan, karena sibuk dengan urusan kuliah, tugasnya, dan pekerjaan sampingannya.
“keluar aja apa ya, ke kfc aja deh bentaran.” Regan beranjak dari kasur lalu berjalan mendekati meja belajarnya untuk mengambil kunci motornya. Regan memakai jaket hitam kesayangannya yang ia biasa gunakan, membawa dompetnya dan mengambil helm. Regan lalu menuruni anak tangga yang ada di rumahnya, rumah regan tergolong rumah yang luas untuk ukuran seorang laki-laki yang tinggal sendiri. Ayah dan ibu Regan tinggal di semarang, sedangkan ia disini seorang diri. Regan sangat bersyukur karena ia bisa berteman dengan orang-orang gila yang bernama Bagas dan Alpan itu. Setidaknya, ia tidak perlu merasa seorang diri terus menerus.
Ia menuju ke garasi tempat motornya terparkir, kali ini Regan membawa motor ninjanya. Regan memang memiliki beberapa motor, akan tetapi yang sering ia bawa ke kampus hanyalah motor jadul yang bagas bilang jika dijual hanya bisa membeli android jadul. Teman-temannya tidak tau letak garasi dan motor ninja kesayangannya ini, karena Regan terus menyembunyikannya. Dengan memakai pakaian segelap malam, ia memakai helm fullface favoritnya. Sebelum ia pergi, ia mengecek handphonenya terlebih dahulu. Memeriksa apakah ada notifikasi penting di sana, sesudah memastikan tidak ada notifikasi penting. Ia melajukan motornya setelah beberapa saat memanaskan mesinnya.
Regan melaju dengan kecepatan sedang, menikmati angin malam ibu kota yang sudah bercampur polusi dan suasana ramainya. Untung saja hari ini tidak ada kemacetan karena padatnya kendaraan yang ada di jalan. Regan menikmati pemandangan yang ada disekitarnya yang dikelilingi lampu terang sambil melajukan kendaraanya. Ketika regan menoleh ke kiri jalan, tidak sengaja ia melihat sesosok perempuan familiar. Ya, perempuan yang ia temui di bus yang jatuh di dean gerbang SMA.
“gue salah liat ga si?” ia berbicara dengan dirinya sendiri, sambil memelankan motornya. Wajah perempuan itu tertutupi rambut panjangnya sehingga Regan tidak bisa melihat lebih jelas. Perutnya yang semakin meraung kelaparan membuatnya melupakan perempuan itu. Ia melajukan motornya kembali, lebih cepat lagi.
Setelah beberapa menit kemudian, ia sampai di kfc. Segera memesan 2 paket ayam dan nasi, untuk dibawa pulang. Ia tidak suka makan di tempat makan sendirian. Setelah pesanannya jadi, ia segera menuju ke parkiran untuk membawa motornya kembali pulang ke garasi. Tetapi saat ditengah perjalanan, ia melirik sebuah kedai thai tea favoritnya yang sedang buka. Tanpa membuang waktu, ia segera membelokan motornya ke kedai tersebut. Ia memesan 2 cup favoritnya, yang satu untuk ia minum malam iini sedangkan satunya lagi untuk ia minum di siang hari besoknya. Ia memesan rasa red velvet dan coklat haselnut kesukaanya.
“Bang ucup, Red Velvetnya satu.” Sapa Regan sekaligus menyebutkan pesanannya.
“irene, apa wendy ni gan??” gurauan lama bang ucup kembali terdengar. Bang ucup sudah mengenal Regan dari lama, karena ia adalah pelanggan setianya. Setiap minggu pasti ia akan datang ke kedainya, membeli beberapa thai tea dengan berbagai macam rasa untuk ia simpan sebagai stok di kulkas rumahnya.
“Yeri aja bang.” Regan membalas gurauan itu. Ia lalu duduk di bangku kosong sambil menunggu pesanannya datang.
“Bang, nambah cokelat hazelnutnya satu!”
“siap gan!” teriak bang ucup tanpa memandang Regan, akan tetapi mengacungkan jempolnya.
Setelah beberapa saat ia menunggu, akhirnya pesanan regan pun datang. Ia segera membayar dan menuju motornya untuk pulang. Angin yang berhembus sepoi-sepoi di malam hari ini, rasanya tidak ingin ia lewatkan. Akhirnya Regan berhenti di salah satu gedung kosong, tempat ia biasa berkunjung seorang diri. Kalo bisa dibilang sih, Regan sama penghuni gedung udah sohib.
Regan menaiki anak tangga yang terbilang banyak itu sambil membawa makanan dan minuman yang tadi ia beli. Sayang untuk meninggalkannya di depan, takut kalo tiba-tiba dia turun makanannya raib. Setelah beberapa saat akhirnya ia sampai di puncak gedung itu. Setibanya ia dipuncak gedung itu, ia dikagetkan dengan perempuan yang berdiri di pinggir pembatas gedung sambil merentangkan tangannya.