7

2721 Words
Regan yang tangannya penuh dengan makanan dan minuman yang tadi ia bawa, dengan cepat menaruhnya di sembarang tempat dan berlari ke arah perempuan itu. Benar saja, kurang dari beberapa detik kemudian perempuan itu hampir jatuh. Tetapi berkat tangannya yang panjang dan kuat, Regan mampu menarik perempuan itu agar tidak terjatuh ke bawah gedung.                                               BRUKK ‘AWW’ keluh dua orang itu bersamaan, mereka jatuh dengan posisi yang tidak layak. Yang untungnya, perempuan itu terjatuh dengan posisi kepala berada di lengan Regan sebagai tumpuan. Yang ruginya, badan Regan kini terasa sakit. Mereka bangun dari jatuhnya, dan menengok ke arah satu sama lain. Nanda yang penasaran siapa orang yang menolongnya dan Regan yang penasaran perempuan gila darimana yang mau bunuh diri diatas gedung yang bahkan ga sanggup membuat dirinya mati. “LO?!” ucap mereka berdua bersamaan. Mereka saling mengenal satu sama lain, walaupun hanya mengenal wajah masing-masing sih. “LO GILA YA? Kalo mau bunuh diri, cari gedung yang lebih tinggi. Lo kalo jatuh dari sini, lo gabakal mati paling lo cuman patah tulang terus nambahin masalah lo doang tau ga!” Regan membentak Nanda. “GUE GA MAKSUD BUNUH DIRI!” Nanda yang dibentak tidak terima. “LO TADI NGRENTANGIN TANGAN LO! Kalo ga maksud bunuh diri terus apa? cosplay jadi polisi?” “GUE KEPLESET!” Nanda yang berteriak seperti itu membuatnya terdiam. Regan memperhatikan Nanda, wajahnya kini terlihat berantakan dengan bekas air mata yang ada di pipinya dan luka robek disudut bibirnya. Regan yang tidak ingin menanyakan apa-apa, karena tidak ingin menggangu perempuan itu hanya membantunya berdiri. Ketika Regan tidak sengaja meraih pinggang Nanda, karena Nanda yang terlihat akan terjatuh lagi, Nanda mengaduh kesakitan. Pinggangnya yang memar disentuh oleh Regan. Air mata kembali mengalir di pipinya. Regan yang tidak tahu harus berbuat apa, semakin panik. “Hey, hey. Lo kenapa? Gue nyakitin lo? Ada yang luka? Jangan nangis dong aduhh.” Nanda hanya meneteskan air matanya, Regan yang melihat itu merasa tidak tega. Lalu membiarkan Nanda menangis dengan keadaan berdiri. Lengannya berada di belakang punggung Nanda, berjaga-jaga untuk mencegah Nanda jatuh ke tanah yang keras lagi. Regan yang mengamati, tahu jika nanda menahan tangisnya. Regan mulai melepaskan jaket hitam favoritnya, mengenakannya ditubuh Nanda. Dan menarik tudung jaket itu agar menutupi kepala dan menyamarkan wajah Nanda agar perempuan itu tidak malu lagi. “kalo mau nangis, gausah ditahan. Itu ga bagus, lepasin aja. gue ga bakal ngetawain lo.” Setelah Regan mengatakan kalimat itu, benar saja bahu Nanda semakin bergetar. Tangisannya semakin keras, ia yang memperhatikan itu merasa peduli tapi tidak tahu harus berbuat apa. Regan ingin memeluknya, tapi ia takut jika ia tidak sopan. “duh tambah keras. Gue pengen meluk lo, tapi takut ga sopan. Terus juga gue belum mandi, masih bau asem.” Akhirnya Regan hanya mengelus punggung Nanda, dengan tujuan sedikit menenangkannya. Tapi tanpa diduga, Nanda yang mendengar kalimat Regan. Dengan tidak tahu dirinya, ia memeluk Regan. Membenamkan wajahnya di d**a laki-laki tersebut. Tingginya yang hanya sebahu Regan bahkan kurang, mampu disembunyikan dengan baik. Regan yang mendapatkan pelukan yang tidak terduga, hanya diam dan membisu. Jantungnya semakin berdetak tak karuan. Ditambah ia overthinking belum mandi. ‘Tau gitu gue mandi dulu di rumah anjir.’ ‘bau asem ga ya ni ketek gue.’ Setelah perang batinnya selesai, ia tidak memedulikan apa-apa lagi. Lagian Regan sudah merasa memberitahu Nanda, jika ia belum mandi. Tapi Nanda yang lebih memilih untuk memeluknya. Tangannya merengkuh punggung Nanda, mengelus punggung perempuan itu dengan lembut. Sebisa mungkin, Regan tidak menyentuh pinggangnya. Karena ia merasa, jika pinggang perempuan itu terluka. Nanda yang mendapat pelukan balik dari Regan, semakin mengeratkan pelukannya. Tangisnya semakin kencang sehingga menimbulkan getaran di bahunya. Regan hanya bisa mengelus punggungnya, berharap perempuan yang ada dipelukannya ini sedikit tenang. Setelah beberapa menit, tangisan Nanda mulai mereda. Nanda mulai melepaskan pelukannya, tetapi ia semakin menurunkan tudung jaket Regan. Nanda merasa malu sekarang. Regan yang sedari tadi hanya memerhatikan, memandangnya dengan tersenyum. “Nangisnya udah?” Regan bertanya dengan nada yang lembut. Nanda, yang ditanyai hanya diam lalu menggangguk. “Asem ga?” Nanda mengangguk menjawab pertanyaan itu, membuat tawa Regan muncul. “kan gue udah bilang kalo belum mandi.” “bisa jalan?” Regan bertanya lagi, yang direspon Nanda hanya dengan anggukan kepalanya. Lalu Regan bertanya lagi. “Perlu dibantu ga?” yang direspon nanda dengan gelengan kepala. Nanda dan Regan kemudian duduk di sofa rusak yang ada di gedung itu. Sofa itu diletakkan Regan pertama kali ketika ia menemukan gedung ini, Regan dengan susah payah menyeret sofa yang ukurannya termasuk besar itu keatas gedung. Tentunya membutuhkan tenaga ekstra, tetapi ia hanya sendirian. Demi bisa menikmati matahari terbenam di sore hari. Regan dan Nanda hanya duduk diam disana dengan diselimuti sunyi, mereka berdua tidak ada yang memulai pembicaraan. Hingga bunyi perut Regan, mulai memecahkan keheningan. Regan yang malu hanya bisa menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Lalu disusul bunyi perut lagi, kali ini dari Nanda. Nanda hanya diam, memegangi perutnya. Pipi merahnya, ia sembunyikan di balik tudung jaketnya. Regan berdiri dari tempat duduknya, melangkah menuju tempat dimana ia menaruh makanan yang ia beli tadi sebelum menyelamatkan Nanda. “gue gatau lo suka apa ngga, tapi yang jelas lo laper.” Ucap Regan sambil memberikan satu paket kfc yang ia beli tadi. Untungnya tadi Regan membeli 2 paket, gadis didepannya harus bersyukur atas kemarukan Regan sehingga ia bisa mendapatkan asupan makan untuk perutnya seokarang. Nanda menerima makanan yang diberikan Regan, lalu membuka tudung jaketnya. Rambutnya yang acak-acakan ia rapihkan sedikit. Penampilannya itu membuat Regan tersenyum, tapi ia sama sekali tidak berkomentar. “makasih.” Nanda mengucapkan terima kasih dengan nada yang kecil, yang untungnya masih bisa didengar oleh Regan. Mereka makan dalam diam, sesekali Nanda mengaduh karena luka disudut bibirnya yang belum kering. Setelah selesai makan, regan mengeluarkan plastik yang berisi dua thai tea dengan rasa yang berbeda. “lo suka yang mana?’ Regan menawarkan Thai tea yang ia beli tadi kepada Nanda. Nanda yang berjenis kelamin perempuan, of course menjawab ‘terserah.’ Yang membuat Regan sedikit sebal. “cewe kalo ditanya pasti jawabannya terserah itu kenapa sih, Nih gue kasih yang rasa Taro. Kalo gasuka gausah protes, lo jawabnya terserah.” Ucap Regan galak sambil memberikan thai tea yang sudah ia tancapkan sedotan, jadi Nanda hanya tinggal meminumnya. Nanda menerimanya dengan diam, untung saja rasa Taro cocok di indra perasanya. Regan yang teringat dengan luka di sudut bibir Nanda, akhirnya berdiri beranjak dari duduknya. Lalu ia menyuruh Nanda untuk tetap diam di sana. “gue mau keluar bentar, lo jangan pergi dulu. Tungguin disini.” Nanda hanya menurutinya, ia duduk manis menikmati angin malam yang membelai sambil meminum thai tea yang diberikan oleh Regan.                                                                                               ***** Setelah berpesan kepada Nanda untuk tetap diam dan tidak meninggalkan tempat itu, Regan segera menuruni anak tangga dan berlari menuju motornya. Ia harus menuju ke suatu tempat. Dia mengambil helmnya, dan mengendarai motor besarnya. Setelah beberapa menit ia melajukan kendaraanya, akhirnya ia berhenti di kiri jalan di suatu tempat. APOTEK FARMA Regan mulai memasuki tempat itu dan melihat-lihat apa yang harus ia beli untuk perempuan yang masih menunggu di atas atap gedung itu. Karena bingung, akhirnya Regan bertanya kepada mba-mba yang menjaga toko itu. “Mba, saya mau tanya.” Regan bertanya dengan cara yang sopan, tetapi yang ditanyai hanya memandang wajah Regan. ‘buset cakep bener.’ “Mba?? Haloo?” Regan memanggil perempuan yang menjaga toko tersebut sambil melambaikan tangannya di depan wajah Perempuan tersebut. “ohh, i-iya mas. Kenapa?” akhirnya setelah regan melambai didepan wajahnya, mba-mba tersebut mulai tersadar. “saya mau beli obat buat luka.” Regan mengatakan keperluannya. “luka apa mas, luka hati? Saya bisa jadi obatnya kok.” Mba-mba toko sambil mengelus rambutnya sendiri, dan mengangkat jarinya yang lentik ke belakang telinga. Regan hanya memandang dengan wajah yang tidak bisa didefinisikan. ‘waduhh sawan ni mbanya.’ “engga mba, luka biasa.” Akhirnya setelah menjelaska itu dan memberikan gestur jika ia tidak ingin didekati, akhirnya mba-mba apoteker memberi apa yang ia minta. Regan juga membeli beberapa obat lain, untuk persediaan. Setelah mendapatkan apa yang ia mau, Regan segera bergegas menuju gedung kosong tempat ia dan Nanda bertemu. Dalam perjalanan ia hanya bisa berharap jika perempuan itu tetap berada di sana, dan tidak meninggalkan tempat itu. Setelah beberapa menit ia sampai, Regan segera berlarian menuju ke dalam gedung dan menaiki anak tangga yang banyak. ia masih berharap jika perempuan itu masih disana. Satu persatu anak tangga terakhir telah ditanjaknya, ia mulai melangkah ke pintu yang menghubungkan atas gedung. Dengan nafasnya yang masih ngos-ngosan -jelas karena ia telah berlari sprint- Regan berhasil berada di sana. Helaan nafas lega terdengar dari mulutnya, dilihatnya perempuan itu masih memandangi langit malam. Siluet dirinya yang cantik, membuat Regan hampir saja terpana. Nanda yang merasa ada orang disekitarnya mulai menoleh ke belakang, sepasang matanya bertemu pandang dengan sepasang mata milik Regan. Sebelah alisnya mulai terangkat, ia heran mengapa laki-laki itu terdengar seperti baru mengikuti lomba marathon dengan membawa satu plastik putih yang entah apa itu isinya. Regan melangkah menuju mendekati Nanda, dengan membawa gadis itu. Ia berdiri di sampingnya, lalu menoleh. “kenapa ko ga duduk di sana?” ia memulai pembicaraan dengan Regan. Nanda yang merasa ditanyai akhirnya menjawab. “bosen.” Regan hanya ‘oh’ saja mendengar jawaban Nanda, karena ya ia bisa mengerti. Perjalanan dari sini ke apotek membutuhkan waktu beberapa menit dan tadi saja ia masih digoda mba-mba apoteker. Regan akhirnya menyerahkan sebungkus kantong plastik ke Nanda dengan menyodorkannya. Nanda yang melihat itu hanya bingung. “Apaan?” “udah terima aja.” ucap Regan memaksa Nanda, Nanda menerima itu dan membukanya. Matanya yang menyaratkan terkejut, tidak bisa dimengerti Regan. ‘oiya, luka bekas tamparan tadi belum kering.’ Batin Nanda sambil menyentuh lukanya tadi. Ia yang tidak sengaja menekan keras lukanya mengaduh sendiri ‘awhh, s**t sakit.’ Regan yang mendengar itu, mulai berbicara. “makanya lukanya obatin.” “Nanti aja.” Nanda menjawab dengan singkat, jawabannya itu sangat tidak memuaskan Regan. “gaboleh gitu, ntar infeksi lo.” Ucapnya sambil merebut kantong plastik yang sudah ia berikan tadi kepada Nanda, Regan mengambil betadinee, cutton bad, dan hansaplas. Regan mengeluarkan sebotol air, yang tadi sengaja ia beli sekalian di apotek. Regan menyiramkan sedikit air ke cutton bad “sini.” “hah?” “sini majuan dikit.” Regan mulai menarik tangan Nanda untuk menyuruhnya lebih dekat dengan dirinya, setelah merasa jaraknya sudah dekat ia mulai mengarahkan tangannya mendekati bibir Nanda. “lo ngapain?” Nanda yang kaget dengan perilaku Regan itu bertanya. Regan hanya menghela napas, lalu menjawab “menurut lo? Ya ngobatin luka lo lah. Kalo ga diobatin sekarang, ntar lo infeksi.” Ucapnya sambil menarik tangan Nanda, karena Nanda tadi menjaga jarak darinya. Nanda yang tidak siap dengan tarikan itu sontak hampir jatuh, untungnya Regan memeganinya, atau lebih tepatnya hampir memeluknya. Regan lalu menjauhkan dirinya sedikit, untuk memberikan Nanda ruang agar ia tidak merasa risih di dekatnya. “udah, lo tinggal diem.” Nanda yang mendengar perkataan itu, akhirnya mau menurutinya. Jantungnya berpacu dengan cepat ketika laki-laki didepannya itu mendekatinya, bibirnya terasa kelu. “Napas. Mau mati lo?” Regan yang menyadari Nanda menahan napas terlalu lama, menegurnya. Nanda akhirnya menghembuskan Napas sedikit demi sedikit. Regan melanjutkan tindakannya, ia mulai membersihkan luka di bibir Nanda. Saat tidak sengaja menekan luka terlalu keras, Nanda menggigit bibirnya sendiri. Tindakannya ini membuat Regan, yang berjenis kelamin laki-laki aka cowo dibuat salting sendiri. “sakit?” tanya Regan halus kepada Nanda, tetapi Nanda hanya diam. “maaf.” Nanda yang mendengar kata maaf Regan mulai memperhatikannya, luka dibibirnya mulai tidak terasa sakit karena ia mengalihkan perhatiannya. Setelah beberapa saat lukanya sudah bersih dan sudah ia beri obat merah itu, Regan mulai memberi hansaplas kecil. “Maaf gue nyentuh lo, tapi bentar aja.” Lalu Regan mulai menangkup sebelah pipi Nanda, untuk melihat luka Nanda lebih jelas. Ia melihat guratan bekas tamparan di pipi merah perempuan itu. Tapi ia mengalihkan perhatiannya segera, dan mulai menempelkan plester kecil untuk menutup luka Nanda. “udah.” Regan memundurkan badan dan wajahnya setelah sekian lama hanya berjarak beberapa cm saja dari perempuan didekatnya. “makasih.” Nanda mengucapkan terima kasih kepada Regan, lalu mulai memperhatikan benda lain untuk mengalihkan perhatianya dari laki-laki yang berada di sebelahnya itu. “lo kok bisa nyampe sini?” Regan memulai percakapan. “terbang.” “maksud gue, kok bisa tau gedung ini.” “biasa lewat jalan ini, tau gedung ini kosong jadi naik aja deh.” “oh.” “emh, sebelumnya gue minta maaf ya.” Nanda meminta maaf dengan nada canggung. “for what?” “tadi gue meluk lo, tiba-tiba.” Nanda menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal, ia malu mengatakan ini. “it’s okay, gue ngerti kok. Lo pasti butuh itu.” “thanks.” “gue minta maaf juga.” Nanda menoleh setelah mendengar ucapan itu, dengan muka ‘hah?ngapain minta maaf?’ “buat?”   “badan gue asem.” Tawa kecil Nanda akhirnya keluar, Regan berhasil menghiburnya untuk saat ini. Walaupun sebentar. Mereka lalu terdiam, hanyut dalam keheningan yang sama. Lalu Regan membuka obrolan terlebih dahulu “gue gatau lo punya masalah apa sampe bisa di digedung ini, dan tadi hampir mati. At least, jangan bunuh diri.” Ucapnya sambil menoleh ke arah Nanda.  Nanda yang mendengar perkataan itu hanya terdiam. “kenapa lo bisa nyimpulin kalo gue keliatan mau bunuh diri?” Nanda mulai membuka mulut dan bertanya. “feeling. Ngeliat keadaan lo yang ehmm, kacau? Mungkin ada sesuatu hal buruk yang terjadi sama lo hari ini.” “kalo sesuatu yang buruk itu terjadi, bahkan hampir setiap hari. Apa gue salah kalo gue pengen nyerah?” Nanda menundukan kepalanya, dan menatap sepatunya yang kini lusuh. “lo ga salah, tapi cara lo yang salah. Take a rest.” Lalu Regan menggeser tempat duduknya, ia mulai merebahkan dirinya. Menatap langit malam yang ditaburi kilauan ribuan bintang. “sini deh.” Regan menepuk tempat disebelahnya, mengajak Nanda untuk melakukan hal yang sama. Nanda sempat ragu, tetapi akhirnya dia menuruti Regan. Nanda ikut merebahkan dirinya di samping Regan, menatap langit yang sama di tempat yang sama. Nanda mulai menatap langit di atasnya, ia melihat langit yang gelap ditaburi ribuan bintang yang berkilauan. itu adalah pengalaman pertama kali dihidupnya. Nanda mulai mengagumi ciptaan tuhan tersebut, Regan diam-diam tersenyum mengamatinya. “dunia ini indah kalo lo mau tau, kalo semisal buat lo hari ini buruk maka lo perlu bertahan hidup. Tunggu sampe hari indah itu mau nyamperin lo, pasti bakal dateng kok. Gue gatau kenapa gue ngomong sok bijak kaya mario teguh gini, yang jelas jangan bunuh diri.” Regan mengambil napas sebentar. “You may not want to exist right now, but someone is very happy that you do. Stay for them.” ‘I hope so.’ Nanda membalas kalimat Regan dalam hati. Ia harap begitu, akan ada seseorang yang bahagia jika ia bertahan hidup.    “even though it’s hard now, there will be happy things that happen in your life.” Nanda hanya diam mendengarkan Regan berbicara, ia memikirkannya kembali. Iya, mungkin hari ini baginya adalah hari yang buruk, tapi jika dia bertahan apakah akan ada hari baik nantinya yang akan mendatanginya? Lalu mereka terdiam, menikmati dinginnya malam dan pemandangan indah di atasnya. setelah beberapa saat Nanda baru mengingat tentang tugas dan deadline pekerjaan menulisnya. Jam sudah hampir tengah malam, ia beranjak dari duduknya. Regan akhirnya menoleh ke arah Nanda yang sedang merapikan pakaiannya. “udah jam 11, cepet banget.” Ucap Nanda sambil membenarkan pakaiannya. “mau kemana?” “pulang.” “mau gue anterin?” Nanda hanya menggelengkan kepalanya dan melangkah menuju pintu. Lalu tiba-tiba ia berhenti, dan menoleh ke arah Regan. Regan yang kebetulan sedang memperhatikannya, menaikan sebelah alisnya. “makasih ya-“ Nanda mengambil jeda napas sebentar sebelum melanjutkan kalimatnya. “gue tadi memang sempet kepikiran mau loncat, tapi sekarang ga lagi. Berkat lo, hari ini gue nemuin sesuatu yang indah. Walaupun cuman sebentar.” Lalu ia melanjutkan langkahnya, ketika selangkah saja ia keluar dari pintu gedung. Regan yang teringat jika ia belum mengetahui nama perempuan itu berlari menuruni tangga dengan cepat dan tiba-tiba berteriak “GUE REGAN, LO?” Nanda yang mendengar teriakan Regan, menghentikan langkahnya. Dan menoleh lalu menjawab pertanyaan laki-laki itu. “Nanda.” Setelah memberikan jawabannya, Nanda kembali melangkah dan berjalan keluar dari gedung kosong itu. Meninggalkan seseorang yang kini tersenyum memandangi belakang punggungnya yang kini semakin menjauh.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD