Kesalahan terbesar

1664 Words
Setelah luntang lantung di jalanan tak tentu arah, kini Sandra berada di sebuah tempat yang dipenuhi hiruk pikuk lautan manusia dari berbagai model dan karakter yang membaur menjadi satu di lantai dansa, bermandikan peluh keringat di bawah sorot lampu kelap-kelip yang berputar seirama dengan musik bits yang sedang diputar oleh seorang DJ. Sandra sendiri tengah duduk di depan meja bar, menatap nanar minuman laknat yang sudah ia minum berkali-kali semenjak menginjakkan kakinya di sebuah klub antah berantah. Ia tak tahu di mana sekarang, langkah kakinya yang tak kenal lelah berhasil menghantarkan ia kemari. Tanpa mengenal satu pun orang yang ada di dalam sini. Sandra tersenyum kecut ketika ingatannya kembali terkenang kejadian beberapa saat yang lalu, kejadian yang sukses menghancurkan impian dan harapan yang sudah ia bangun sejak lama———seketika hancur berkeping-keping ketika netranya tak sengaja melihat adegan yang membuat matanya ternoda. Kepergian Arga yang berlari mengejar Moza, membuat Sandra sadar dan mengerti kalau dirinya tak pernah punya tempat di hati pria itu. Seakan semua ekspetasi yang ia rangkai sebelumya berbanding terbalik jadi sebuah musibah yang sukses menghncurkan hatinya sampai tak bersisa. Sandra melangkah dengan gontai, membawa perasaannya yang terluka dengan langkah kaki tak menentu. Ia memutuskan keluar dari kafe, menyusuri trotoar tanpa tahu ke mana tujuannya akan pergi. Seolah membiarkan langkah kakinya memandu ke mana pun ia pergi, bahkan jika kakinya menuju ke neraka sekalipun maka Sandra tetap akan mengikuti. Di saat ia tengah berjalan di trotoar yang agak sepi karena malam kian larut dan jalanan yang dilewatinya bukan akses jalan utama. Tanpa sengaja netranya menangkap sosok yang beberapa saat yang lalu sukses membuat jantungnya berdegup kencang, tapi ketika sekarang ia melihat sosok itu————jantungnya seolah berhenti berdetak saat ini juga. "Arga." Tanpa sadar Sandra menggumamkan nama sosok yang dilihatnya. Matanya berlinang melihat apa yang sedang dilakukan oleh pria itu. "Kenapa kau tega sekali? Kenapa kau menyakiti aku sampai seperti ini? Kenapa harus dia?  Kenapa bukan aku ... kenapa ...?" Sandra kehilangan kemampuannya untuk meneruskan perkataannya. Pemandangan di depan sana berhasil melumpuhkan seluruh saraf kewarasannya. Rasanya Sandra seakan gila, pikiran-pikiran negatif terus mendorongnya untuk melakukan hal nekat. Berlari menghampiri Arga yang tengah mencium Moza di seberang trotoar, lalu menjambak rambut wanita itu dan melayangkan tamparan sekeras mungkin pada pipi semulus wajan penggorengan yang masih baru! Kemudian menggoreskan kuku-kukunya yang tajam pada kulit sekenyal jelly dan meninggalkan bekas cakaran yang akan jadi bukti betapa ganasnya orang yang tengah sakit hati! Atau berlari ke tengah jalan, berdiri mematung di tempat dan membiarkan mobil yang lalu lalang menghantam tubuhnya sampai hancur! Berharap dengan begitu Arga akan menyesal karena telah menyia-nyiakan perasaannya dan lebih memilih wanita lain ketimbang dirinya. Tapi sayangnya, Sandra tidak punya keberanian untuk melakukan hal-hal tersebut. Meski setan-setan dalam tubuhnya terus merongrong di dalam sana, mencoba mengahasut dan mengompori dirinya yang sudah terbakar oleh api cemburu yang memicu gejolak emosi yang menggebu-gebu. Namun, Sandra sadar, tak ada gunanya ia marah dan cemburu melihat Arga berciuman dengan Moza. Karena di sini dirinyalah yang salah dengan tidak sadar diri akan posisinya yang tak pernah dianggap selain sebagai teman. Ya, Arga hanya menganggapnya sebagai teman tidak lebih. Sandra tersenyum getir menyadari hal itu. Lantas, ia memilih terus berjalan lurus meninggalkan adegan yang membuat matanya terkontaminasi oleh asap cemburu. Dan di sinilah Sandra berakhir, duduk sendiri bertemankan sebotol minuman laknat yang membawanya terbang melayang menembus batas normal. "Bodoh!" Untuk kesekian kali Sandra mengumpati dirinya sendiri. Berkali-kali menyumpah serapah dan mengutuk keadaan yang tak pernah berpihak kepadanya. Sandra terkekeh,  tersenyum geli ketika mengingat semua memori yang tengah berputar-putar di dalam kepalanya yang mulai terasa berat. "Sandra, kau benar-benar bodoh!" Sandra mulai melantur, berbicara sendiri. Beruntung orang-orang di sekitarnya tampak tidak peduli, seolah sosoknya tak terlihat pada pandangan mata mereka. "Why?" Sandra mendesah berat, meletakkan gelas sloki dengan kasar ke atas meja———menimbulkan suara keras yang menarik atensi orang di sampingnya. "Apa aku tak pantas? Apa kekuranganku dibanding dia? Apa aku tak cantik, apa aku terlalu buruk untuk dicintai? Kenapa, kenapa, kenapa? Apa kau tak bisa melihatku sekali saja?" Sandra tertawa sumbang, terkekeh sendiri menertawakan nasibnya yang kelam dan mengenaskan. Seumur hidupnya, Sandra tidak pernah mendapat penolakan. Apa pun yang ia mau akan selalu terpenuhi, lalu kini ia harus menelan pil pahit ketika keinginan yang selalu ia harapkan harus pupus karena ditikung oleh wanita lain. "Apa aku bodoh?" Sandra kembali bermonolog. "Apa aku tak menarik?" "Tidak." Tapi siapa kira jika seseorang di sampingnya yang sedari tadi memperhatikan dalam diam akhirnya ikut menyahut. Sontak, Sandra menoleh ke samping. Matanya mengamati sesosok pria tampan yang sedang memandanginya dengan mata kecoklatan, terlihat sangat indah. Sampai-sampai Sandra terpana sesaat, hingga seulas senyum terukir di wajahnya yang nampak kusut itu. "Kau di sini? Apa akhirnya kau berubah pikiran?" Sepertinya Sandra sudah hilang kesadaran, bisa-bisanya ia menganggap pria asing itu sebagai Arga. Sungguh sangat konyol, tapi yang ada dalam pandangan mata Sandra saat ini memanglah Arga yang tengah tersenyum manis kepadanya. "Kau menyusulku? Apa akhirnya kau sadar akan perasaanku?" Tanpa canggung tangan Sandra terulur meraba pipi pria asing di hadapannya. Pria itu terlihat sedikit terkejut akan perlakuan Sandra yang tiba-tiba. Ia berniat menyingkirkan tangan Sandra dari pipinya, akan tetapi belum sempat melepaskan tangan Sandra, wanita itu lebih dulu menggenggam tangannya dan menempelkan di pipinya. Jelas itu membuat pria asing itu makin kaget bukan kepalang. "Aku senang kau di sini, aku tahu kalau kau pasti akan kembali padaku." Sandra tersenyum manis, lesung pipinya berhasil membuat mata pria di depannya tak berkedip. Untuk persekian detik, keduanya saling pandang dan larut dalam sorot mata memuja. Hingga suara Sandra mengembalikan keadaan, apalagi ketika wanita itu tertawa terbahak-bahak dan melemparkan tangan pria itu dengan kasar. Sandra berdecih, kembali menatap ke depan. "Ternyata hanya ilusi!" Ia meraih botol minuman laknat dan menuangkan isinya ke dalam gelas sloki. Tanpa ba-bi-bu Sandra menenggak habis isinya sampai tak bersisa. "Benar-benar konyol! Apa cinta memang semenggelikan ini?" "Sepertinya begitu." Pria asing itu kembali menyahut setelah kesadaran mengambil alih. Ia tersenyum hangat saat Sandra mengalihkan pandangan kepadanya. "Kenapa? Kau mau bilang aku ini ilusi? Atau kau mau bilang aku mahluk tak kasat mata?" Pria itu tergelak, entah apa yang membuatnya tertawa serenyah itu. Mungkin ekspresi diam Sandra yang memandangnya dengan ekspresi tak percaya. Seolah wanita itu sedang melihat hantu. Pria itu mengambil botol miliknya dan menuangkannya pada gelas Sandra. "Jangan menatapku seperti itu, aku bukan hantu. Aku berwujud dan aku masih manusia, entah jika nanti. Mungkin aku akan berubah jadi zombi atau vampir pemburu darah yang bisa saja akan menghisap lehermu. Tapi untuk saat ini aku masih berwujud manusia, jadi kau tak perlu khawatir sampai seperti itu melihatku," ujar pria itu, diiringi kekehan geli. "Lagipula, hantu tak mungkin masuk ke sini. Manusia di sini lebih bar-bar dari setan, jadi hantu tak akan mau masuk ke sini karena takut kalah saing." Sandra seolah terpukau sesaat, matanya tak berkedip mengamati wajah pria itu. Walau  begitu di mata Sandra pria itu tetap berwujud Arga, suara yang mengalun pun terdengar seperti suara Arga yang khas. Suara yang selalu membuatnya terlena, memicu debaran tak menentu pada dadanya. Tapi aneh, kenapa saat ini ia tak merasakan debaran itu. "Apa kau asli?" Pertanyaan konyol itu meluncur begitu saja dari mulut Sandra, seraya menyentuh pipi pria itu dengan telunjuknya yang terlihat ragu-ragu. "Tentu saja. Apa kau pikir aku palsu?" Pria itu kembali terkekeh geli, sungguh lucu ekspresi Sandra di matanya. Meski ia tak mengenal Sandra, tapi sepertinya pria itu tertarik pada wanita itu terbukti dari caranya menanggapi celotehan Sandra yang tidak jelas. "Apakah ini juga asli?" Tangan Sandra beralih meraba bibir bawah pria itu. Terasa kenyal dan lembab, lembut sekali saat jemari lentiknya mengusap penuh perasaan. "Tentu, ini asli. Belum pernah di-remake apalagi didaur ulang. Masih original pemberian Yang Maha Kuasa," jawab pria itu diselingi candaan. Sandra menarik kedua sudut bibirnya, mencetak garis lengkung yang sangat indah untuk dipandang. "Aku penasaran seperti apa rasanya?" Ia masih enggan menghentikan aksi gilanya, seolah benda kenyal itu adalah mainan yang membuatnya sangat penasaran untuk memainkannya. "Apa kau belum pernah merasakannya?" tanya pria itu. Sandra refleks menggeleng. Entah sadar atau tidak, ia menjawab belum. Padahal kalau diingat-ingat ia sudah pernah merasakannya. Tentu saja pernah, untuk pertama kalinya ia merasakan sentuhan kenyal itu ketika Leon———pria nggak ada ahlak yang dijodohkan dengannya merenggut ciuman pertamanya. Tapi sepertinya Sandra enggan mengakui itu sebagai ciuman, buktinya dalam keadaan tak sadar saja ia menolak untuk mengakui hal tersebut. "Apa kau ingin mencobanya?" Tawaran pria itu bagaikan oase di padang pasir, mata Sandra langsung berbinar dan menatap penuh harap pada pria itu. "Apakah boleh?" tanya Sandra, memastikan. Otaknya memang sudah tak waras lagi, ia sudah gila karena nekat bertanya seperti itu pada pria asing yang bahkan ia sendiri tak akan ingat seperti apa wajah pria itu. "Tentu saja, kau orang yang beruntung. Karena aku tak akan memberikan ini pada orang sembarangan dan kau merupakan termasuk orang yang sangat istimewa karena bisa merasakannya," ucap pria itu. Sandra masih mempertahankan senyumnya. "Kalau begitu, berikan aku itu. Lakukan seperti yang kau lakukan tadi." Di otak Sandra terbayang kembali adegan Arga yang sedang mencium Moza, hal itu memicu kecemburuan dan iri hati pada dirinya. Ia juga ingin merasakan ciuman seperti Arga waktu mencium Moza, ia sangat ingin tahu seperti apa rasa bibir kenyal pria itu. Apakah manis? Apakah rasanya akan seperti permen cherry? Atau malah pahit. Mengingat bibir pria tak pernah dilapisi lip gloss maupun lipstik. "Maksudnya?" Pria itu terlihat bingung, tak mengerti maksud ucapan Sandra. Belum hilang kebingungannya, pria itu malah dibuat makin terkejut oleh aksi nekat Sandra yang langsung menyambar bibirnya dengan lembut. Gerakan amatir yang dilakukan Sandra, berhasil memicu hasrat tersembunyi dalam tubuh pria itu. Tak ingin kehilangan momen keberuntungan, pria itu menarik tengkuk Sandra dan menekankan ciumannya kian dalam. Sandra terlena, larut dalam ciuman yang melambungkannya sampai ke angan. Meluapkan segala perasaan yang menggebu-gebu dan melupakan sesaat kesedihan yang menyiksa otak dan batinnya. Tanpa ia sadari jika yang tengah dilakukannya itu merupakan kesalahan terbesar dalam hidupnya, yang mungkin saja akan membawanya ke dalam jurang penyesalan dan menjerumuskan ia pada dosa besar. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD