Chapter 2 - Gara-Gara Beda Mata Uang

1814 Words
"Hoam ...." He Hua menguap sebelum menutup mulut menggunakan tangan kanan. Rambut hitam panjang gadis itu terlihat berantakan. Dia mengucek matanya yang masih mengantuk. "Kenapa rasanya keras sekali, ya? Padahal aku sudah melapisinya dengan matras," ucapnya dengan nada heran. Namun, gadis cantik itu belum menyadari ada yang berbeda. He Hua membuka kelopak matanya dan terkejut. "Apa aku masih di alam mimpi?" Kedua alisnya saling bertaut bingung. Cahaya matahari bersinar dengan lembut. Puluhan pohon-pohon setinggi tiga meter berjajar rapi. Daun berwarna hijau dihiasi buah-buah apel merah ranum memenuhi pandangannya. Beberapa ekor burung kecil berbulu indah bertengger di beberapa dahan pohon, bernyanyi, sedangkan di tanah dihiasi rumput-rumput hijau segar, seekor kupu-kupu bersayap putih biru sedang menghisap nektar pada bunga berkelopak kuning. Bunga-bunga indah berbagai macam warna sedang mekar menambah keindahan. Dia menutup matanya lagi, berharap apa yang dia lihat itu tidaklah nyata, tapi itu bukanlah mimpi. "Di mana aku?" ucapnya panik, matanya bergerak liar. Dia berdiri dari posisi duduknya. "Aku tidak melihat Fen Hong. Ke mana dia? Bukannya dia tidur di sampingku malam tadi?" ujarnya memandang ke sekeliling mencari sosok Fen Hong tanpa berpindah tempat. Namun, sahabatnya itu tidak ia ditemukan. He Hua melihat pakaian yang dia kenakan, hanfu berlapis berwarna putih. Dia kaget memutar-mutar badannya. "Kenapa aku memakai pakaian ini?" tanyanya bingung. "Terserahlah yang penting aku masih pakai baju." He Hua mengedikkan bahu acuh. Dug. "Aduh, kepalaku," keluh He Hua kesakitan. Ia mengusap kepala karena sebuah apel yang terlepas dari tangkainya, jatuh mengenai dirinya, hingga akhirnya menggelinding jatuh di samping kaki gadis cantik itu. Tanpa perlu diperintah, perutnya berbunyi nyaring. Memang pagi ini dia belum makan sama sekali. Kebetulan sekali ada pohon apel di sini. Jadi, dia bisa memakan beberapa buah apel untuk mengganjal perut, sebelum mencari makanan berat. Udaranya terasa sejuk sekali apa karena pohon-pohon ini? pikir He Hua. "Perutku lapar." Gadis cantik itu mengusap perutnya. Ia memanjat pohon tersebut dengan hati-hati. He Hua berdiri di dahan yang paling kuat dan besar. Dibutakan oleh rasa lapar, tanpa pikir panjang gadis itu memetik empat butir apel dan memasukkan apel ke dalam keranjang rotan lapuk yang ada di dekatnya dengan lincah. Dirasa sudah cukup, dia menuruni pohon dengan hati-hati. Gadis berkulit putih itu duduk bersila di bawah pohon. Mata cokelatnya berbinar menatap apel-apel merah tersebut. Ia melihat tasnya berada di dekatnya, membuka tasnya, mengambil pisau kecil yang dibungkus plastik, kemudian mengupas apel dengan hati-hati agar jari tangannya tidak terluka. Selesai dikupas bersih, ia memakan apel-apel tersebut dengan lahap. Tanpa gadis itu sadari, ada sepasang ayah dan anak yang berjalan tidak jauh darinya. "Ayah, apa ingat?" tanya seorang gadis kecil berusia sepuluh tahun dengan suara khas anak kecil. Hanfu sederhana berwarna kuning cerah polos terlihat pas dengan tubuh kecil gemuknya. Tangan kecilnya digenggam sang ayah. Tubuhnya hanya setinggi perut sang ayah. Rambutnya berwarna cokelat tua. Di kepala anak perempuan itu, ada hiasan rambut berbentuk bunga berwarna kuning cerah senada. Mereka berjalan perlahan di jalan setapak kebun apel. Di tangan kiri laki-laki itu memegang keranjang rotan. "Tidak, Ayah tidak ingat," balas sang ayah. Anak perempuan itu mencubit perut ayahnya. "Ayah, kan, sudah berjanji, hari ini membelikan hanfu baru untukku," kata anak perempuan itu merajuk, ia menggembungkan pipi gempalnya. "Ah, iya, Ayah lupa, maklum, ya, ayahmu ini sudah tua." Laki-laki berusia empat puluh tahun itu tersenyum, menunduk mencubit gemas pipi putri kecilnya itu. "Aduh, sakit, Ayah," keluh anak perempuan itu melepas cubitan di pipi tembamnya itu. "Iya, Ayah akan mengajakmu ke Pasar Sanfyera setelah menjual apel, bagaimana?" tawar sang ayah. Beberapa saat anak perempuan itu terdiam hingga dia berkata, "Baiklah, awas Ayah lupa." "Tentu saja, Ayah tidak akan lupa." Laki-laki dewasa itu melihat He Hua sibuk memakan apel-apel ranumnya. Parahnya, sisa-sisa kulit apelnya berantakan begitu saja di sekitarnya. Laki-laki itu mendekat ke arah He Hua. Sekarang ia tepat berada di depan gadis itu. Mata hijau laki-laki itu menatap He Hua marah sekaligus kesal. "Hey, apa yang kau lakukan pada kebunku?" tanya ayah anak itu marah. He Hua kaget, menjatuhkan apel ranum yang baru dia makan separuh sambil tertawa cengengesan. "Maafkan saya, Tuan saya tadi benar-benar lapar ja-jadi saya memakannya." Guo Zi Fan tidak menjawab, ia malah menghitung berapa banyak apel yang telah dimakan oleh gadis itu. Kalau begini terus bisa-bisa dia bangkrut, karena ada saja anak-anak nakal yang masuk ke kebun apelnya untuk mencuri apel, padahal apel-apel itu sumber pendapatan keluarganya, sementara anak perempuannya itu memilih menyimak interaksi antara ayah dan gadis asing yang baru ia lihat itu. "Lima apel, kamu harus membayarnya, tiga puluh koin perunggu," ucap Guo Zi Fan berusaha tenang. He Hua mengambil uang dari dalam tasnya dan menyerahkannya. "Ini, Pak." "Apa ini?" tanya bapak itu bingung sambil mengambil uang itu. Dia tidak pernah melihat benda yang berwarna biru berbentuk persegi panjang kecil pipih dengan gambar seorang pahlawan, bernominal 20.000 yarpa di kedua sisinya. "Uanglah, Bapak," balas He Hua kesal. "Kamu mau menipu saya yah, mana ada uang seperti ini," bentak bapak tersebut. Xiao Tan sedikit kaget. "Tidak Pak, tapi itu benar-benar uang apa bapak tidak lihat ada segelnya? dan ini asli," balasnya dengan nada yakin, sambil mengangkat uang kertas tersebut, menerawang menunjukkan bayangan pahlawan. "Bapak lihat, ini ada bayangan yang berarti asli," balas He Hua, menunjuk bayangan di uang 20.000 itu. "Sudahlah, jangan menipu saya dengan uang mainan itu, Anak Kecil, sekarang, ayo cepat bayar." Bapak itu berkacak pinggang, telapak tangan besar dan kasarnya itu menengadah meminta uang. He Hua mengerjap bingung, dia terdiam kaku. Bagaimana mungkin bapak ini menganggap dia menipu dengan uang mainan. Satu lagi, dia bukan anak kecil. "Atau kamu akan saya bawa ke Kantor Pengadilan Dep Yow, karena kamu tidak membayar saya." "Bapak ini kenapa tidak percaya sih?" kesalnya. "Mei Li, kamu kembalilah ke rumah, nanti Ayah akan segera kembali," ucap Guo Zi Fan yang dituruti oleh anak perempuannya yang sejak tadi berdiri mematung. "Baik, Ayah." Mei Li melangkah pergi meninggalkan mereka berdua. He Hua menggantungkan tas di pundaknya. Dia hanya pasrah tangannya ditarik dengan kasar oleh laki-laki itu keluar dari kebun apel melewati pasar. "Pak, itu benar-benar uang, bukan uang mainan." "Kamu pikir, saya ini bodoh hah!" "Uang itu berbentuk koin perunggu, perak, dan emas bukan kertas yang kamu berikan itu." "Memberi tahu bapak ini percuma saja, lebih baik aku diam saja," lirih He Hua. Di perjalanan hendak menuju ke kantor Dep Yow, tak sengaja berpapasan langsung dengan dua orang gadis berhanfu sederhana. Gadis berhanfu hijau polos--Ah Cy--menatap kasihan He Hua yang diseret layaknya anak kucing. Nona Ah Cy saat itu sedang menyamar menjadi rakyat biasa. Nona Ah Cy ini, putri ketiga dari Jenderal Li Xian Shi di Kekaisaran Yun Zhi. Badannya gemuk, banyak lemak seperti babi. "Ada apa ini?" tanya Nona Ah Cy, menilik pria yang berusia empat puluh tahun yang menyeret He Hua dengan beringas. Guo Zi Fan segera menjawab karena tidak mengetahui siapa gadis yang sedang berbicara dengannya saat ini. "Nona, gadis ini telah memakan apel di kebunku tanpa membayarnya." Nona Ah Cy menatap lembut mata cokelat He Hua yang ketakutan. "Aku ingin membayarnya, tapi dia tidak mau menerimanya," bela He Hua dengan nada bergetar sambil menunduk. Tangan kirinya meremas hanfu yang dikenakannya. "Itu uang mainan yang kamu berikan tadi," balas bapak itu marah. Matanya seakan-akan keluar dari tempatnya. "Berapa banyak yang dia makan?" ucap Nona Ah Cy lembut, melirik sebentar ke arah He Hua. "Tiga puluh keping koin perunggu," sahut Guo Zi Fan. "Biyu, ambilkan sekeping uang perak dan berikan padanya." Nona Ah Cy memerintahkan pelayan pribadinya yang berdiri tepat di sebelahnya. "Baik." Biyu membuka kantong kecil kain berwarna emas, mengambil sekeping uang perak, dan memberikan kepada bapak tersebut. "Ambil saja kelebihannya dan lepaskan gadis itu," tegas Ah Cy. Guo Zi Fan melepaskan tarikan di pergelangan tangan He Hua. Terlihat rona kemerah-merahan di tangan putih bersihnya. He Hua mengusap pergelangan tangannya yang terasa sakit. "Kenapa aku bisa di sini? Dibentak-bentak lagi sama orang itu pula," rutuk He Hua pelan. "Saya permisi, Nona," ucap Guo Zi Fan berlalu. He Hua mendekat ke Ah Cy ."Terima kasih karena telah menolongku." Ah Cy tersenyum ramah. "Sama-sama." Tapi aku masih heran, kenapa bapak tadi tidak mau menerima uangku? batin He Hua bingung. Tangan lembut dan besar Nona Ah Cy menyentuh tangan He Hua sehingga mengembalikan ke alam sadar. "Kau tak apa?" Tatapan mata bersahabat membuat He Hua menggeleng pelan. Mereka bertiga berjalan beriringan dengan He Hua berada di sisi kanan Nona Ah Cy. Postur tubuh kedua gadis itu saling melengkapi, Ah Cy angka nol dan He Hua angka satu. He Hua sibuk melihat ke sekelilingnya. Banyak orang yang berjualan, menawarkan barang dagangannya. Rumah-rumah berbaris rapi dan rupanya seperti zaman kerajaan. Ada banyak toko-toko di sekitar sini. Semua orang menggunakan pakaian kuno seperti film kolosal kerajaan yang selalu ditontonnya. "Sepertinya ini pasar," ucap He Hua pelan. Seakan tersadar bahwa ada sesuatu yang berbeda, mata He Hua membulat. "Tunggu, sepertinya ada yang salah dengan semua ini." Dia menilik pakaian yang dia kenakan sekarang, berputar-putar melihat pakaian yang dia kenakan dengan lebih teliti, kemudian beralih ke pakaian yang dikenakan oleh gadis gemuk yang menolongnya tadi, serta gadis di sampingnya. Apa aku ada di zaman Kerajaan China? Atau mungkin aku lagi diajak shooting? Tapi aku tidak menemukan tukang shooting atau apalah itu namanya, pikirnya. "Kita berada di mana?" tanya He Hua memastikan. "Ini wilayah Kekaisaran Yun Zhi," sahut Ah Cy. "Kekaisaran Yun Zhi?" ulang gadis berambut hitam tersebut. "Jadi, aku sekarang di zaman Kerajaan China. Aku pernah baca buku sejarah tentang kerajaan China, tapi aku tidak menemukan nama kekaisaran ini," ucap He Hua pelan. "Ada apa?" tanya Ah Cy khawatir, menoleh ke He Hua yang kelihatan linglung, yang berada tepat di sisi kanannya. Aduh, bagaimana bisa aku kemaren tidur di sekolah dan sekarang sudah berada di sini?, batin He Hua. "Ada apa?" ucap Ah Cy lebih keras. He Hua tersadar, kembali ke dunia nyata, dengan cepat menggeleng. "Baiklah, kalau tidak ada apa-apa," sahut Ah Cy tersenyum. Pipinya yang tembam membuat He Hua ingin mencubitnya. Tapi aku di sini akan tinggal di mana ? Sebelum aku bisa menemukan jalan pulang? Aku tidak tahu siapa pun di sini, batin He Hua. "Siapa namamu?" tanya Ah Cy sambil mengamati penampilan He Hua dengan saksama. "Namaku He Hua dan gadis penolongku ini?" tanyanya balik tersenyum manis. "Aku Ah Cy. Ini pelayanku sekaligus temanku, Biyu." Gadis penyuka warna ungu tersenyum mengenalkan Biyu yang berada di sampingnya mengawasi He Hua. He Hua sebenarnya risih diawasi Biyu. Dia berusaha mengabaikannya. "Aku harap kita bisa berteman baik." "Tentu saja," balas Ah Cy antusias. "Di mana tempat tinggalmu?" tanya Ah Cy ramah. "Aku tidak memiliki tinggal," ucap He Hua jujur. "Apa kamu mau tinggal bersamaku? Itu pun jika kamu tidak keberatan," tawar Ah Cy. Gadis pelayan di samping Nona Li berbisik kepada Ah Cy. "Nona, dia gadis yang tidak jelas asal-usulnya. Nubi takut dia akan menyakiti Nona."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD