"Kamar Barat utama Li Xinyuan dan Yang Zian."
"Kamar Barat kedua Dugu Muxue dan Tang Tang."
"Kamar Barat Ketiga He Hua dan Asmitha Kumari."
Kenapa aku tidak sekamar dengan Mei Hwa? batin He Hua.
"Kamar Barat Keempat Mei Hwa."
"Pak, kenapa Mei Hwa hanya sendiri di kamar keempat?" tanya salah seorang murid yang merasa tidak adil.
"Kamar keempat ukurannya kecil hanya memuat satu orang saja."
Saat ini He Hua berjalan bersama Mei Hwa untuk mengambil seragam Academy bersama murid-murid yang lain.
"He Hua ini seragammu, selimut, dan benda milikmu."
He Hua mengambil seragam, selimut dan menggendong tasnya di punggung.
"Bahannya jelek sekali," komentar Mei Hwa menyentuh hanfu hijau daun seragam academy.
Mei Hwa dan He Hua berjalan melewati lorong-lorong asrama.
"Aku sudah sampai di kamarku," ucap Mei Hwa menggeser pintu kamar.
"Aku akan datang ke kamarmu malam nanti," sahut He Hua sebelum berjalan dan menggeser pintu di hadapannya dan melangkah masuk.
Di ruangan tersebut terdapat dua ranjang beserta kelambunya. Asmitha Kumari sedang membersihkan dan merapikan ranjang.
"Murid Asmitha!" sapa He Hua.
"Murid He Hua." sapa Asmitha balik.
"He Hua, kau bisa istirahat di sini kasurnya sudah aku bersihkan." Asmitha Kumari mempersilakan He Hua.
"Terima kasih, Asmitha."
*************************************
Suasana di ruang kantin sangat ramai oleh murid-murid baru. Mereka mengobrol satu sama lain mencoba akrab dengan teman-teman baru.
He Hua duduk berhadapan dengan teman sekamarnya dan murid-murid lain. Dia menyumpitkan sayur berbentuk hijau bulat ke dalam mulut, penasaran. Hampir saja He Hua akan memuntahkannya jika saja Mei Hwa tidak langsung memberinya segelas air. "Ini apa pahit sekali? Aku menyesal memakannya."
"Jika tidak ingin memakannya tidak usah banyak protes Gadis Manja!" ketus Li Xinyuan sambil melirik He Hua sekilas yang berada tepat di sampingnya. Semangkuk sayur dan satu lembar daging makan malamnya tinggal setengah lagi.
"Kau siapa ikut bicara seperti listrik?" ucap He Hua jengkel.
"Di sini bukan rumahmu, semua yang kau inginkan dan segala kebiasaan manjamu harus ditinggalkan," balas Xinyuan.
"Siapa yang kau bilang Gadis Manja?" Kemarahan sudah naik ke ubun-ubun He Hua saat dia berdiri dari posisi duduk.
"He Hua tenanglah." Mei Hwa mengusap pundak He Hua.
Tenang, kamu harus tenang. Jangan sampai menimbulkan masalah karena Pria Tukang Sambung Listrik ini, batin He Hua. Dia menarik napas mencoba untuk tenang.
He Hua memotong sepotong daging di piringnya memakai sendok. Dia berusaha keras untuk memotongnya. "Kenapa daging ini keras sekali?"
Daging sapi hitam tersebut melompat dari piring He Hua. Tidak disangka kecap hitam dari daging tersebut m*****i wajah Li Xinyuan.
He Hua tertawa keras sampai bahunya terguncang. Diikuti tawa murid-murid yang lain.
Hahaha, rasakan itu! batin He Hua.
Li Xinyuan menatap marah He Hua. "Kamu!" Pria muda itu bangkit dari duduk berjalan ke kamar mandi.
Mei Hwa tertawa geli, sampai perutnya sakit. "Kamu berani sekali dengan Li Xinyuan."
"Habisnya dia itu ngeselin," balas He Hua.
*****************************************
Setelah makan malam selesai He Hua dan Mei Hwa ke kamar ketiga.
"Murid Asmitha." Mei Hwa memberikan salam kepada Asmitha Kumari yang sedang duduk meminum segelas teh.
"Murid Mei Hwa." Asmitha Kumari balik memberikan salam kepada Mei Hwa.
"Silakan duduk."
He Hua dan Mei Hwa ikut duduk di meja. Mereka duduk melingkar.
Asmitha Kumari menuangkan teh di dua gelas. "Silakan diminum."
He Hua dan Mei Hwa meminum teh.
"Bosan kalau di kamar terus-menerus. Bagaimana kalau kita keluar saja?" tawar He Hua yang disetujui Mei Hwa dan Asmitha Kumari.
****************************************
Di halaman belakang Academy Chao Xing yang sepi. Udara malam berembus.
"Asmitha kamu 'kan dari India. Kamu pasti bisa menari," ujar He Hua menatap Asmitha.
"Baiklah, aku akan menari. Kalian bisa ikut menari bersamaku."
He Hua mengeluarkan smartphonenya memutar lagu india, meletakannya di atas meja.
Hmmm...Haaa....
Haaa....Hmmm...
Yahin Doobe Din Mere
Yahin Hote Hai Savere
Yahin Marna Aur Jeena
Yahin Mandir Aur Madeena
Teri Galliyan, Galliyan Teri Galliyan
Mujhko Bhaave, Galliyan Teri Galliyan
Teri Galliyan, Galliyan Teri Galliyan
Yun Hi Tadpaave, Galliyan Teri Galliyan
Aaa ... Aaaa ... Aaa ... Aaaa ...
Aaa ... Aaaa ... Aaa ... Aaaa ...
Tu Meri Neendon Mein Sota Hai
Tu Mere Ashqon Mein Rota Hai
Sargoshi Si Hai Khayalon Mein
Tu Na Ho Phir Bhi Tu Hota Hai
Hai Silaa Tu Mere Dard Ka
Mere Dil Ki Duaayein Hain
Teri Galliyan, Galliyan Teri Galliyan
Mujhko Bhaave, Galliyan Teri Galliyan
Teri Galliyan, Galliyan Teri Galliyan
Yun Hi Tadpaave, Galliyan Teri Galliyan
Kaisa Hai Rishta Tera Mera
Bechehra Phir Bhi Kitna Gehra
Yeh Lamhe Lamhe Yeh Resham Se
Kho Jaaye, Kho Na Jaaye Hum Se
Kaafila Waqt Ka Rok Le
Ab Dil Se Juda Na Ho ...
Teri Galliyan, Galliyan Teri Galliyan
Mujhko Bhaave, Galliyan Teri Galliyan
Teri Galliyan, Galliyan Teri Galliyan
Yun Hi Tadpaave, Galliyan Teri Galliyan
Asmitha Kumari bergerak dengan lincah mengikuti irama lagu. Di belakang Mei Hwa dan He Hua mengikuti gerak tari Asmitha Kumari sampai selesai.
Keringat membanjiri tubuh. He Hua menuangkan air ke gelas-gelas.
"Ini benda apa?" tanya Mei Hwa menyentuh benda pipih canggih yang masih mengeluarkan suara nyanyian dengan penasaran dia membolak-baliknya.
"Ini namanya smartphone." He Hua mengambil smartphonenya. Mei Hwa mendekat ingin tahu.
"Benda ini bisa mengeluarkan suara," ujar He Hua.
"Seperti alat musik?" tanya Asmitha.
He Hua mengangguk mengiakan. "Iya seperti alat musik, tapi lebih canggih dan lebih praktis."
He Hua menyalakan kamera dan mengarahkan ke bulan. Menzoomnya. Klik. Terdengar bunyi klik.
Gadis berusia delapan belas tahun itu menunjukkan kepada Mei Hwa dan Asmitha Kumari.
"Bulannya ada di dalam," ujar Mei Hwa dengan nada tidak percaya.
Mei Hwa mendongak ke atas sekilas. "Bulannya tetap ada di langit."
"Kenapa bulannya bisa ada di sini?" tanya Asmitha Kumari.
He Hua tersenyum. "Ini namanya kamera, kamera ini bisa memoto benda apapun."
"Kamu belinya dimana? Aku juga mau," balas Mei Hwa antusias.
"Benda ini aku dapatkan dari teman lamaku, kata temanku itu benda ini hanya ada satu-satunya."
Di sini pasti tidak ada handphone. Maaf telah membohongi kalian, batin He Hua.
"Ah, sayang sekali."
Suara pedang beradu terdengar dari kejauhan memecah keheningan suara.
"Apa kalian dengar sesuatu yang aneh?" tanya He Hua menatap kedua sahabat barunya bergantian.
"Seperti suara benda tajam beradu?" ujar Mei Hwa.
"Aku juga mendengarnya, kira-kira siapa malam-malam begini latihan pedang?" sahut Asmitha Kumari.