Chapter 6 - Fu - Hsi

1088 Words
"Jiejie, aku sangat kelaparan di rumahku tidak ada makanan," balas anak kecil itu menunduk. He Hua dapat menangkap kesedihan yang dirasakan anak itu. Seharusnya anak sekecil ini hanya tahu bermain saja, merasakan kebahagiaan da kesenangan seperti yang dirasakan anak-anak seusianya dan tanpa harus mencari makanan untuk mengisi perut. He Hua merasa bersyukur masa kecilnya cukup menyenangkan ada papa dan mama yang selalu mencintainya serta memenuhi semua kebutuhannya. Tebakanku benar, batin He Hua. He Hua tersenyum menatap bocah berwajah polos yang berdiri di depannya. "Adik Kecil tolong kembalikan jeruk milik Paman ini. Jiejie akan memberikan makanan yang lain." Bocah kecil itu mengangguk patuh, berjalan memberikan dua buah jeruk mandarin kepada Paman pemiliknya. "Maaf Tuan," ucapnya menyesal. "Dasar Bocah Nakal!" rutuk Paman berbadan buncit sembari membersihkan jeruk yang dikembalikan anak kecil itu dengan kain bersih. He Hua memberikan bakpao rasa ayam yang memang belum dimakan kepada bocah laki-laki malang. Dengan gembira anak itu memakan bakpao tersebut dan berterima kasih beberapa kali. "Jiejie orang baik," pujinya yang dibalas senyuman He Hua. "Namaku Su Heng, jiejie. Su Heng berharap bisa bertemu lagi dengan Peri Cantik!" ucap Su Heng dengan nada gembira. "Jika takdir berkendak Su Heng akan bertemu lagi Jiejie." He Hua mengusap pelan puncak kepala Su Heng tanpa merasa jijik. *************************************** Li Ah Cy pergi mengendap-ngendap dari kediaman Li. Gadis gemuk itu pergi sendirian. Dia memakai pakaian orang biasa. Ah Cy menyipitkan mata saat kedua netra jernihnya melihat He Hua berada di depan salah satu pedagang buah sedang mengusap kepala anak kecil yang dekil dan kotor. Tiga orang wanita sedang memilih buah-buah jeruk. Ah Cy mempercepat, menyamakan dengan langkah ringan He Hua yang berada beberapa langkah di depan. Tubuh gemuk berisinya membuat dia kesusahan untuk berjalan lebih cepat, napasnya terengah-rengah. "Aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja tanpa memberikan penjelasan kepadaku," ucap Ah Cy pelan. "He Hua! He Hua! He Hua!" panggil Li Ah Cy berulang kali. He Hua menoleh sekilas, memberhentikan langkah. ******************************* "He Hua berikan aku penjelasan," ucap Li Ah Cy dengan nada menuntut saat mereka duduk di tempat penjual mie. Meja tempat makan pelanggan penuh oleh pelanggan yang makan dan memesan pesanan. Suara obrolan dan tawa menjadi satu. "Tidak ada masalah, hanya saja aku tidak ingin merepotkan keluarga Li." He Hua mengatakannya dengan nada tenang tanpa beban. "Apa pelayan-pelayanku memperlakukanmu dengan buruk sampai tidak pamit secara langsung?" Li Ah Cy melempar pertanyaan. "Tidak, tidak, pelayan-pelayan Nona memperlakukanku dengan baik." He Hua melanjutkan di dalam hati, hanya ada satu yang tidak suka atas kehadirannya. "Jika begitu tinggallah di Kediaman Li untuk beberapa hari ke depan, yang kutahu kamu tidak memiliki tempat tinggal," tawar Ah Cy tulus tidak ada nada mencemooh saat dia mengatakannya. Tidak mungkin, itu sangat tidak mungkin Nona Li. Aku tidak ingin karena aku kalian bertengkar, batin He Hua. He Hua menggeleng pelan, tersenyum. "Terima kasih atas tawarannya Nona Li, tapi aku telah menemukan tempat tinggal yang cocok untuk tinggali." Raut wajah penuh harapan Nona Muda Li, berubah kecewa, dan murung. "Baiklah, jika begitu Ah Cy tidak akan memaksa He Hua lagi." Maafkan aku Ah Cy, aku melakukannya demi kebaikan kalian berdua, pikir He Hua. "Dua porsi mienya sudah datang!" seru pelayan sembari menyajikan dua mangkuk mie di atas meja dan empat buah sumpit. Uap panasnya masih mengepul. "Kamu harus makan bersamaku atas tindakanmu yang menyakiti diriku," ujar Ah Cy berlebihan. "Baiklah." He Hua menyumpitkan mie memasukkan ke dalam mulut, indra pengecapnya mulai merasakan. "Rasanya enak sekali walau dijual di pinggir jalan," komentar He Hua. "Tidak kalah dengan yang dijual di restoran," balas Ah Cy menyumpitkan mie. Tidak menunggu waktu lama mangkuk berisi mie telah kosong tersisa kuahnya saja. "Terima kasih atas traktirannya Nona Muda Li." He Hua mendongak ke atas langit berwarna oranye kemerah-merahan. Sekelompok hewan bersayap terbang melintas. "Hari sudah sore sebaiknya Nona segera pulang ke kediaman, takutnya keluarga Nona khawatir." Gadis yang memiliki pipi gempal seperti bakpao mengangguk setuju. "Kamu benar He Hua, aku permisi dan terima kasih telah makan bersamaku." Li Ah Cy meletakkan dua belas keping koin perunggu di atas meja berbentuk per segi empat. ************************************** Sudah lima kali He Hua bersin saat membersihkan rumah kosong yang ditinggalkan penghuninya sekilas seperti rumah hantu. Perabotan-perabotan di ruangan kamar utama penuh dengan sarang laba-laba dan debu. Dinding berplester dilapisi cat hijau mengelupas di beberapa bagian. Di atap sarang angkut-angkut terlihat di ujung-ujung sisi. Perabotan-perabotan seperti meja, kursi panjang, cermin, dan lemari itu masih terlihat bagus dan kuno ketika sudah dibersihkan oleh He Hua. Gadis itu mengangkat kain putih yang melindungi ranjang kasur. "Badanku pegal-pegal semua." Dia merilexkan otot-otot yang kaku. Di luar langit perlahan berubah warna menjadi biru gelap. Berada sendirian di ruangan sebesar ini membuat He Hua sedikit takut, dia tidak terbiasa sendirian. Cahaya terang yang bersumber dari lampu minyak yang menyala menerangi sebagian sisi ruangan. He Hua mengaitkan lampu tersebut di tiang. Dia berjalan ke halaman belakang kediaman menemukan sungai dan membersihkan diri. Setelah itu kembali ke kamar, duduk di pinggir ranjang. He Hua mengecek jam di smartphonenya. Jam menunjukkan pukul 21.00 malam. "Entah bagaimana reaksi orang tuaku saat menemukan diriku yang menghilang saat acara kemah sekolah?" "Mereka pasti akan sakit khawatir." "Malam ini malam terakhir berkemah di sekolah sekaligus acara puncak. Sayang sekali, aku tidak bisa menghadirinya. Aku sangat menantikan lomba lari, pasti acara lomba lari tiga ratus meter sudah selesai dan dimenangkan Yiyi." "Sudahlah lebih baik aku tidur saja agar besok aku bisa mencari uang untuk mempertahankan hidupku." He Hua menarik selimut sebatas d**a, perlahan-lahan alam mimpi menariknya. *************************************** He Hua berjalan membawa keranjang rotan, tanpa rasa takut memanjat pohon persik yang tinggi dan batang yang lebar, daun-daun hijau tumbuh setiap cabang pohon. Aroma khas buah yang masak mempermudah gadis itu memetik buah yang siap dimakan, meletakkan di dalam keranjang rotan. Setelah mendapatkan beberapa buah persik He Hua turun dengan hati-hati ke bawah. He Hua duduk di kursi dan meletakkan keranjang rotan di atas meja batu berbentuk bulat. Dia menggigit buah persik berukuran sedang memakannya. Halaman belakang rumah yang menjadi milik He Hua terdapat dua batang pohon persik. Pohon bunga mei hwa juga ada menambah keindahan, hanya saja rumput-rumput tinggi liar di tanah mengganggu kecantikan itu. Kelopak-kelopak bunga mei hwa berguguran berjatuhan ke bawah. Di seberang sungai yang memiliki air jernih memantulkan sinar matahari. Suara kepakan sayap masuk ke indra pendengaran He Hua. Dia mendapati seekor kekelawar berukuran sedang sedang mengepakkan kedua sayapnya di dekatnya. Kekelawar yang tubuhnya ditumbuhi bulu putih dan mata biru hinggap di tanah sebelum berubah wujud menjadi seorang laki-laki.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD