Bab 02 - Tempat Aman

1662 Words
"Itulah akibatnya jika kalian berontak dan tak sopan!" seru orang itu sembari membersihkan pedangnya ke pakaian anak yang kepalanya terpenggal. Orang itu menyarungkan pedangnya, lalu berjalan mendekati lift dan pergi begitu saja tanpa berkata lagi. Ini gila. "Apa ini acara televisi, ya?" anak kurus bertanya lagi. "Terserah ...," ucapku kesal dengan kebodohannya. Bau tidak sedap tercium dan kemudian asap merah muda muncul dari lantai. Sesuatu yang aneh terjadi kembali. Setiap sisi lantai ini seperti mempunya pori-pori yang tidak terlihat. Semuanya hanya berdiam diri, entah apa yang akan terjadi. "Siapa yang yang membakar sampah di bawah?" Si kurus bertanya lagi. Aku hanya menatap wajahnya, lalu kupalingkan lagi. Satu persatu yang ada di ruangan ini mulai berjatuhan. Tumbang seperti pingsan, aku mulai sedikit panik, tetapi .... Asap ini mulai membuatku pusing. Mataku menjadi buram dan lama-kelamaan menghitam tak terlihat apa pun. Tubuhku tergeletak tak bisa kugerakkan dan indera penglihatanku tak bisa kubuka. Hanya pendengaranku yang masih berfungsi. Beberapa teriakan kudengar, kepanikan terjadi. Seperti inikah tempat yang aman? Hingga, aku tak sadarkan diri. **** Aku mendapati tubuhku terbaring pada sebuah ranjang. Perlahan kegerakkan badanku untuk turun dan duduk di kursi yang ada di dekat dinding. Aku masih bingung, kutengok ruangan ini. Aku tidak tahu di mana ini, apa yang kulakukan, apa yang terjadi, dan entahlah. Semakin aku bertanya-tanya, itu membuat kepalaku bertambah tak karuan. Aku bahkan lupa dengan namaku. Benar, siapa namaku? Siapa aku? "Selamat datang, anda adalah penduduk Tallessa, silakan ambil pakaian anda di rak pada pojok ruangan ini. Nama anda juga sudah tertera dipakaian itu." Terdengar suara. Kutatap setiap sudut ruangan, jelas sekali. Suara itu keluar dari benda hitam yang ada di pojok tempat ini. Ada beberapa kamera yang terpasang. Sekarang aku harus mengambil pakaian itu. Aku tidak mau keluar dari ruangan ini dengan telanjang. Benar, aku telanjang. Siapa yang menelanjangiku seperti ini? Persetan dengan itu semua. Sekarang, aku hanya akan keluar dari ruangan ini setelah memakai pakaian dan mencari tahu apa yang terjadi. Ya, semuanya harus kucari tahu sampai ada petunjuk yang mencerahkanku. Kubuka sebuah lemari. Ada beberapa pakaian yang langsung saja kupakai, ini ketat dan mungkin terbuat dari campuran karet dan kain. Tidak masalah, yang terpenting ini bisa kugunakan agar tubuhku tertutup. Ada tempat tidur tertata rapi di sini, ranjang yang tadi. Ada kursi, meja, dan pakaian yang kukenakan ternyata tidak hanya satu, tetapi masih banyak dalam lemari itu. Aku belum mengetahui apa yang terjadi. Kulangkahkan kakiku untuk mendekati pintu, kubuka perlahan, lalu aku terdiam sesaat dengan mataku yang memandang keluar. Begitu ramai saat kubuka pintu kamar dan semua orang berpakaian sama. Semuanya duduk di kursi, terlalu banyak untuk dihitung. Di meja mereka terdapat makanan. Aku masih terdiam di depan pintu ini. "Sambutlah teman baru kita ..., Letter!" salah satu anak berdiri, lalu mendekatiku. Ia mempunyai badan yang lebih tinggi dariku, mungkin sekitar 180 cm. Matanya yang sipit memandangiku dan mengangkat tanganku. "Ini dia, Letter!" "Namaku Letter?" Nama macam apa ini? "Ya, namamu Letter, Muka pucat, sambutlah mereka," bisiknya mengejek. "Hai, halo," sapaku ke semua anak yang sekarang tengah menatapku. Apa-apaan ini? Aku merasa asing dengan tempat aneh ini. Seperti aku bukan berasal dari tempat ini, seperti aku orang asing yang baru saja sampai dan terlihat bodoh. "Di sana, duduklah di tempat anak baru," ucap anak yang kuketahui bernama Grem dari tanda pengenal di pakaiannya. Tanda pengenal? bahkan aku lupa kalau ada itu, setidaknya mereka benar menyebutkan namaku, Letter. Nama yang cukup aneh. Sekarang aku duduk bersebelahan dengan gadis berambut hitam sebahu bernama Reth dan di seberang meja ada wanita yang mungkin lebih tua dariku bernama Sophie, serta di sampingnya ada pria yang kurus bernama Gally. Untuk sesaat, beberapa menit, aku terdiam tak berani berucap. Namun, aku sudah tidak tahan dengan keheningan, kesunyian yang begitu canggung ini, lebih baik kutanya atau sapa saja mereka. "A-apa kalian juga masih baru?" tanyaku sedikit gugup. "Ya, sama sepertimu. Sebelum aku masuk sudah ada Reth di meja ini dan setelah aku, Sophie dan kau yang terakhir." ucap Gally. Anak kurus ini, aku sedikit mengingatnya. Namun, kembali lagi, kepalaku sakit akibat terlalu memaksakan ingatanku. "Saat pertama, apa kalian ingat sesuatu?" tanyaku lagi. Daripada mengingat, lebih baik aku bertanya saja, ya ini lebih baik. "Tidak, bahkan kepalaku terasa pusing dan aku tidak memakai pakaian saat itu, sialan! Bahkan pacarku belum pernah melihat badanku seperti itu ...," jelas Sophie sembari menggebrak meja. Gebrakan meja itu membuat kami menjadi pusat perhatian. Semua mata tertuju pada meja kami, memandangi seolah ada yang harus dicurigai. Apa mereka semua, kumpulan remaja yang lain itu juga lupa ingatan, ya? Aku pun menggeleng, aku tidak boleh terlalu memaksakan untuk berpikir keras, karena setelah itu kepalaku seperti ditusuk oleh ribuan jarum. Orang itu, yang bernama Grem pun berlahan tapi pasti segera menghampiriku. Menghampiri kami yang terdiam. "Apa ada masalah?" tanya Grem, dahinya mengernyit, matanya melihat sekeliling kami. Pasti otaknya sedang bekerja untuk mencari tahu apa yang kami lakukan tadi. Orang ini terlalu berlebihan juga. Grem, nama itu juga aneh menurutku. "Tidak, hanya ada lalat yang mampir tadi." Ayolah! Kenapa aku malah menjawab dengan alasan yang tidak masuk akal seperti ini. Setelah ini aku tidak tahu apa yang akan terjadi. "Baiklah, tapi jangan buat keributan lagi. Nikmati saja makanannya selagi gratis." Syukurlah, Grem tidak menganggap alasan tentang lalat tadi sebagai hal yang mencurigakan. Kurasa, dia juga tidak tahu siapa sebenarnya dirinya, lebih tepatnya sama seperti kami. Grem juga lupa ingatan. Ya, itu cuma dugaanku, sih. Ah, sebentar. Ada hal yang harus kutanyakan kepada Sophie, "Kau ingat pacarmu?" "Entahlah, aku cuma bercanda. Aku kesal, kenapa aku tidak ingat apapun saat ini?" gerutu Sophie. Ternyata Sophie juga tak serius dengan apa yang diucapkannya. Baiklah, mungkin aku harus mencari tahu lebih dalam akan masalah ini. Karena, aku yakin aku bukanlah diriku yang bernama Letter. Dalam hati kecilku seolah ada yang berbisik, bahwa kau adalah orang lain dan kau dalam bahaya. Perutku berbunyi, sepertinya aku lapar. Untung saja di sini ada makanan, mulai dari daging, buah-buahan serta roti dan masih banyak lagi tersedia di sini. Aku bahkan tidak sanggup untuk memakan semuanya sendiri. Sembari mengunyah. Aku kembali melihat setiap sisi ruangan yang cukup luas. Terlihat biasa, tetapi aku sedang lupa ingatan sekarang, jadi aku tidak bisa menetapkan mana yang biasa dan tidak biasa. Ah, aku memegang kepalaku lagi. Seperti ada yang menghalangiku untuk berpikir dan mengingat. "Apa kalian menikmati makanannya? Kuharap begitu." suara perempuan itu lagi, keluar dari benda yang ada di setiap pojokan atas ruangan ini. "Kalian beruntung telah berada di sini, di Tallessa, Tempat yang aman dari dunia luar, Silakan perhatikan layar di dinding sebelah barat kalian." Dinding sebelah barat. Ah layar besar itu, apa yang akan mereka tayangkan? Tayangan diperlihatkan. Namun, dari awal sampai akhir dari tayangan tersebut tidak diperlihatkan apa yang menjadi penyebabnya. Hanya sebuah kota hancur tak tersisa dan mayat yang berceceran di sepanjang jalan. Kenapa kota itu hancur dan siapa yang melakukannya pun aku tidak tahu. Kami hanya diperlihatkan hal yang buruk dan mengerikan. Apa ini hanya untuk membuat kami ketakutan dan lantas menjadi betah tinggal di sini? Setelah berbagai tayangan yang mengerikan selesai, kemudian berganti dengan sebuah text yang bergulir. Untung saja, aku masih ingat soal cara membaca. Namun, semua itu telah kami atasi dengan membangun sebuah tempat yang aman, yaitu TALLESSA. Di mana orang-orang bisa hidup di dalamnya dengan tentram, aman, dan nyaman. Tentu saja ini adalah kabar baik bagi kita semua. Tidur dengan tenang dan makan-makanan yang bergizi sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Kalau semua itu benar, aku akan betah di sini. Namun, jika hanya kebohongan, entahlah, aku tidak tahu apa yang akan kulakukan selanjutnya. Diperlihatkan juga sebuah foto dari tempat ini. Mirip sebuah kota yang besar dengan dinding batu yang menjulang tinggi melingkari Tallessa. Sebuah kaca sebagai atap dari Tallessa, entah berapa lama mereka membangun tempat seperti ini. Aku lupa ingatan. Namun, masalah tempat megah ini, aku tahu jika sesuatu seperti ini tidak murah biayanya, tidak cepat dalam pembangunannya. Menguras tenaga dan pikiran orang-orang yang terlibat. Gedung-gedung yang jauh berbeda dari tayangan sebelumnya, semuanya masih utuh. Sebuah tulisan tertera di setiap bagian di dalam tempat ini. Mungkin itu adalah pembagian wilayah di Tallessa. Penduduk Tallessa diberi pekerjaan yang berbeda, sesuai kemampuan masing-masing yaitu Petani, Pedagang, Tukang, dan kalian di sini sebagai penjaga Tallessa. Menarik. **** Asal kalian tahu, pekerjaan sebagai penjaga sangat diinginkan oleh semua orang. Karena itu, kami membuat sebuah peraturan. Setiap lima bulan sekali akan diadakan sebuah pertarungan. Di mana salah satu dari kalian akan ditantang dari pekerja lain. Kalian kalah, maka akan di pindahkan ke pekerjaan lain. Tentu saja, tempat tinggal sangat jauh berbeda dari pada di sini. Di sini, kalian mempunyai sebuah peringkat, semakin bawah kalian berada, maka kalian akan dipindahkan. Seperti sebuah pekerjaan, tetapi hal ini lebih mudah dan tak membutuhkan biaya. Terima kasih. **** Tayanganpun selesai dan semua orang bersorak, bertepuk tangan. bersemangat kecuali kami berempat. Kecuali aku. Aku yang menganggap ada hal yang janggal, yang tidak harusnya terjadi adalah kami, kenapa kami lupa akan ingatan yang seharusnya penting. Lantas, kenapa mereka mengatakan tempat ini aman? "Apa maksudnya?" Tanya Reth. "Pertarungan, sebuah duel satu lawan satu untuk menentukan apakah kalian pantas berada di pekerjaan ini," ucap seorang anak kecil berkacamata bulat layaknya Nobita dalam kartun Doraemon. Sebentar, aku ingat beberapa hal, seperti kartun robot kucing ini, tapi hanya itu, yang lain seperti hilang. Benar juga, aku lupa akan hal yang sangat penting, nama, siapa diriku, kehidupanku sebelumnya. Namun, tidak untuk hal sepele seperti sebuah kartun robot kucing itu. "Boleh aku duduk bersama kalian?" Nobita itu terlihat mengetahui sesuatu. Mungkin dia bisa menjadi petunjuk. "Ya, tapi kau harus menjelaskan semuanya!" Seru Sophie. "Kenalkan, namaku Nobita." Ia mengulurkan salam dengan tangan kanan. Aku ingat, ini adalah sebuah kebiasaan yang entah aku lupa berasal dari mana. "Kau, namamu, Nobita?" tanya Gally heran. "Ya." "Di mana Doraemon?" Gally meledek dan kusambut dengan tawa ejekan juga. Walau aku tahu, itu mungkin bukan nama aslinya. Untuk sejenak aku terdiam. Namun, keterdiamanku malah membuatku berpikir keras, mengingat sesuatu. Namun, itulah masalahnya. Semakin keras aku berpikir, maka seperti ada orang di dalam kepalaku yang berusaha membakar setiap file ingatan yang aku punya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD