Bab 4

973 Words
Akhirnya aku sampai di rumah setelah menempuh perjalanan cukup lama. Kurebahkan badanku di atas tempat tidur berseprai biru navy yang polos. Aku terlalu lama meninggalkan kamarku karena terlalu sering 'berpetualang' dan berakhir dengan berbaring di rumah sakit. Kupandangi dinding kamar yang penuh dengan photo-photoku. Tak ada yang hilang satu pun dari dindingku, semua masih sama persis. Tidak, bukan hanya dindingku yang sama tapi dekorasi kamar juga sama. Ternyata tak ada satu orang pun yang merubah isinya setelah aku di kabarkan menghilang. Ya, di hari kedua pencarian Wilman penjaga kos Hendra mengabarkan pada keluargaku bahwa aku menghilang. Entah apa yang di pikirkan keluargaku sekarang tentang semua itu. Aku hanya tinggal menunggu waktu untu di 'sidang' oleh mereka atas apa yang aku lakukan, menginap di kosan teman laki-laki sedang aku tersendiri sudah menyewa hotel untukku. Memang, tak ada hal di luar batas yang aku dan Hendra lakukan, tapi orang luar tak tahu mengenai hal tersebut. Mereka hanya hanya tahu bahwa aku dan Hendra tidur di kamar yang sama. Dan ya, teriakan-teriakanku saat Hendra membersihkan pundakku sungguh membuat pikiran orang semakin mengarah pada hal yang tidak semestinya. Tok tok tok Terdengar sebuah ketukan di pintu kamarku hingga membuyarkan semua lamunanku. "Masuk," kataku. Kulihat mama memasuki kamarku dengan membawa serta makan siangku dan tentu saja beberapa cemilan untuk menemaniku selama di wajibkan istirahat. "Ini makanlah!" kata mama sambil memberikan nampan berisi makan siang kepadaku. Aku memakan apa yang mamaku bawakan. Rasanya aku sudah sangat kangen dengan makanan rumah. Sudah hampir 2 minggu aku tak memakan makanan yang di masak oleh mamaku. "Di, Mama mau tanya sesuatu boleh?" tanya mama hati-hati di tengah-tengah aku makan siang. Aku mulai merasa bahwa pertanyaan yang akan mama tanyakan bukanlah pertanyaan yang biasa. Mama tak pernah bertanya dengan begitu hati-hati seperti ini. "Hhhmm...Mama mau tanya apa?" kataku. "Apa hubungan kamu dengan Hendra?" "Hanya teman, Ma," "Lalu kenapa kamu menginap di kosnya?" Uhuk...uhuk...uhuk...aku tersedak saat mendengar mama bertanya mengenai peristiwa aku menginap di kos Hendra. "Sayang kamu kenapa?" tanya mama. "Gak apa-apa hanya kecepatan makannya," "Pelan-pelan makannya, ayo minum dulu!" Dengan bantuan air bening akhirnya aku berhasil meredakan batuk-batukku yang disebabkan karena makanan masuk dengan cepat. "Sudah, Ma," kataku sambil meletakkan air di meja samping tempat tidur. "Kamu bener gak apa-apa?" "Gak apa-apa, Ma, Diona baik-baik saja," "Jadi kenapa kamu nginep di kosan Hendra?" Akhirnya pertanyaan itu kembali juga terlontat dari mama walau aku telah menceritakan apa yang aku alami saat aku masih di rumah sakit. "Waktu itu sudah malam, aku mau kembali ke hotel tapi sudah ada semburat merah yang menunjukkan akan munculnya sosok menyeramkan yang menyeramkan dan menculik siapa saja yang berada di tempat tak terlindung. "Karena aku hanya membawa motor, maka Hendra menawariku naik mobilnya. Tapi ternyata aku pun tak dapat kembali ke hotel karena hotel juga tutup menghindari itu. Akhirnya aku nginep di kos Hendra," "Lalu apa yang kamu lakukan si kosan Hendra?" "Tidurlah, Ma, ngapain lagi?! Tapi Mama tenang saja kami tak macam-macam, kami masih tahu batasan walau kami tidur bersama," "Benar?" "Ya ampun Mama masa tak percaya sama anak Mama sendiri?" "Mama kan...," "Ya sudah ayo ke rumah sakit dan tes keperawanan!" "Tak perlu ayo habiskan makananmu lalu minum obat dan istirahatlah!" Selera makan siangku telah hilang saat mama tak mempercayai ucapanku. Tapi aku pun tak dapat berhenti makan karena itu pasti membuat mama kecewa. Aku melahap makananku dengan setengah hati. Pikiranku benar-benar berkecamuk ke mana-mana. Akhirnya makananku pun habis dan aku segera meminum obatku. Setelah aku minuk obat mama pun keluar dari kamar. Rasanya aku masih tak percaya jika aku sekarang sudah berada di rumah dan terbaring di kamarku yang nyaman. Saat Fauzan menyayat lengan kananku, sempat terlintas di benakku bahwa aku akan meninggal di sana sama seperti Evi dan Maura. Aku menatap luka bekas sayatan yang ada du lengan kiriku. Lukisan harimau masih bertengger manis di lengan kiriku. "Terima kasih, Han," kataku bergumam. Ya, jika tak ada Hanry mungkin saat ini aku hanya pulang nama saja dan bukan hanya itu, tapi jenazahku pun hanya tinggal tulang dan kepala saja. "Tidak perlu berterima kasih, itu sudah kewajibanku," kata Hanry. "Hanry...," teriakku saat tiba-tiba melihat Hanry berada dihadpanku. "Maaf aku baru bisa hadir dan tak membawa bunga seperti Ethan," "Tak apa Han aku paham," Ceklek Pintu kamarku tiba-tiba di buka seseorang dan seketika itu pula wajahku memucat khawatir jika ada yang melihat Hanry berada di kamarku. "Di, tadi kamu manggil siapa? Han...Hanry," tanya mama. "Gak ada siapa-siapa, Ma, di sini, tadi aku hanya lagi lihat youtube saja dari ponsel," "Owh...ya sudah kalau tak ada apa-apa," Huft...aku bernafas lega karena Hanry selalu seperti jailangkung yang bisa datang dan pergi secepat kilat. Orang tuaku memang tak pernah tahu sol Hanry walau Hanry merupakan penjaga yanh di turunkan oleh leluhurku. Pikiranku kembali melayang ke saar-saat aku berpetualang di dalam hutan dan bertemu dengan Evi. Ada rasa pedih saat melihat soaoknya saat itu, walau akhirnya aku bahagia karena dia kembali ke wujudnya semula. Aku masih saja merasa sangat bersalah kepada Evi dan Maura karena gagal menyelamatkan mereka saat aku KKN dulu. Mengingat Evi membuatku teringat akan orang tua Evi yang pasti khawatir dan menunggu kabar dariku. Tapi sayang aku tak memiliki nomor mereka. Aku segera mengambil ponselku dan memijit beberapa nomor yang ada di ponsel. "Hallo," kata orang di sebrang sana. "Hallo, Fer, kamu punya nomor orang tua Evi ga?" "Gak, Di, kenapa?" "Aku harus telpon mereka. Ya sudah kalau kamu tak punya," "Aku ada nomor sahabatnya Evi, sebentar kutanya dia punya apa gak," "Ok deh, kalau ada sms ya?" "Ok" Aku terus menatap layar ponselku berharap jika Ferdi akan segera mengirmku pesan yang berisi nomor orang tua Evi. Semenit dua menit hingga akhirnya sejam pun berlalu dan Ferdi tak kunjung mengirim pesan padaku. Entah apa yang harus aku lakukan agar aku mendapatkan nomor orang tua Evi karena mereka pasti sangat khawatir dan menunggu kabar dariky mengenai keadaan putrinya saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD