Bab 3

993 Words
Akhirnya dokter keluar dari ruang ICU. Kakek segera berdiri dan menghampiri dokter. "Bagaimana putra saya, Dok?" tanya kakek. "Putra Bapak sudah melewati kritisnya, sebentar lagi akan di pindah ke ruang rawat inap," Mendengar penjelasan dokter akhirnya aku bisa bernafas dengan lega. Hendra sudah melewati masa kritis dan bisa di pindah ke ruang rawat inap yang artinya dia akan segera sembuh. Kakek kembali duduk di sampingku untuk menunggu Hendra di pindahkan ke ruang rawat inap. Senyum penuh kebahagiaan terpancar di wajahnya. Ceklek Pintu ruang ICU di buka dan kulihat perawat mendorong tempat tidur Hendra keluar dari ICU. Aku dan kakek segera bernjak dari tempat duduk dan mengikuti Hendra yang akan di bawa ke ruang rawat inapnya. Hendra menatap wajah kakek dalam seolah dia tak akan melihat wajah ayahnya lagi. Bruk...aku duduk di sofa yang ada di kamar rawat inap Hendra. Aku kelelahan setelah beberapa waktu ini menunggu Hendra. Ya, kondisiku yang masih lemah membuatku tak boleh melakukan terlalu banyak aktivitas. "Kamu lelah, Di?" tanya Hendra dari tempat tidurnya seoalah tahu bagaimana kondisiku. "Ya, Hen," "Istirahatlah biar kamu tidak sakit lagi," "Aku besok harus pulang, Hen," Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku. Kulihat perubahan raut wajah Hendra seketika. "Kenapa, Hen? Aku pasti akan menjengukmu," "Tidak, tidak apa-apa. Kamu kapan kembali ke kampus, Di?" "Mungkin 3-4 hari lagi aku akan mulai menyelesaikan skripsiku, aku harus selesai dalam waktu 2 bulan," "Kamu yakin? "Yakin, Hen," "Soal...," "Pembimbingku sudah ganti sejak kejadian itu, walau caranya membimbing tak sama dengan cara dia," Ada rasa pedih di dalam hatiku saat mengingat semuanya. Seharusnya aku d bimbing oleh Bu Nur, dosen idaman para mahasiswa dalam bimbingan skripsi. Tapi setelah kejadian naas itu, pihak kampus memberiku pembimbing lain sebagai pengganti Bu Nur. "Di...jangan sedih lagi!" kata Hendra lagi. "Sudahlah kamu istirahat, Hen, kamu juga baru siuman dari tidur panjangmu," kataku sambil merebahkan badanku di sofa. Kulihat Hendra memejamkan matanya. Entah dia memang tidur atau hanya agar membuatku diam. Aku sangat tahu kalau Hendra menyadari perasaanku dan perubahan air mukaku, tapi dia tidak bertanya lebih lanjut lagi. *** Aku berjalan ke ruang rawat inap Hendra dengan hati penuh riang. Hari ini aku akan pulang dan sebelum pulang aku ingin menjenguk Hendra terlebih dahulu. Ceklek Kubuka pintu kamar Hendra dengan perlahan. Namun betapa kagetnya aku saat melihat Wilman berada di sana. Aku benar-benar sudah muak kepadanya dan tak ingin lagi melihat wajah dia. Tapi sekarang, terpaksa aku melihatnya walau hanya sejenak. "Di...," panggil Hendra saat melihatku akan berbalik dan meninggalkan kamar Hendra. "Kamu mau kemana?" "Aku mau pamitan sama kakek, tapi kulihat tak ada kakek di sini," jawabku. "Ayah sedang makan, masuklah mungkin sebentar lagi kembali," kata Hendra. Aku tak mungkin lagi menolak permintaan Hendra, kupaksakan kakiku untuk masuk ke dalam ruang rawat inap Hendra. Kutatap mata Wilman yang sepertinya ingin mengatakan sesuatu. Aku duduk di samping Hendra dan memunggungi Wilman yang sedang duduk di sofa. "Kamu belum makan?" tanyaku saat melihat bubur milik Hendra masih utuh. "Belum, Di, ayah masih di luar gak ada yang nyuapin, aku belum bisa sendiri," jawab Hendra. "Teman apaan kamu Wil, tahu Hendra belum makan bukan di suapin malah duduk ngajak ngobrol. Gak guna banget sih jadi orang," kataku sambil menyuapkan sesendok bubur pada Hendra. "Aku kan gak tahu," bela Wilman. "Gak tahu apa buta, makanya mata tu di pake!" kataku kasar. "Sudah, Di, aku gak apa kok makan nanti sama ayah juga," kata Hendra. Aku tak memperpanjang adu mulutku dengan Wilman, kubiarkan dia duduk dengan tenang di sofa melihatku menyuapi Hendra. Entah apa yang dirasakan olehnya menyaksikan hal ini, karena biasanya aku menyuapi dia saat dia sedang sakit. Setelah selesai makan, aku berikan obat yang harus di minum oleh Hendra agar dia cepat pulih dari sakitnya. Kring...ponselku berbunyi menandakan ada panggilan. Aku melihatnya ternyata dari mama. Aku segera mengangkatnya. "Ya, Ma kenapa?" tanyaku setelah menjawab salam yang mama ucapkan. "Kamu di mana? Ayo pulang!" "Lagi di ruangan Hendra mah. Ya, Ma, sebentar ya," Aku menutup telponku dan menggenggam tangan Hendra erat. Aku sangat berterima kasih atas apa yang telah dia lakukan untukku. Semuanya sungguh berarti untukku. "Aku balik ya, Hen," kataku. "Ya, Di, hati2 di jalan," kata Hendra. Aku melepaskan genggaman Hendra dan berjalan keluar ruang rawat inap Hendra. Saat aku telah berada di luar, Wilman mengejarku dan memegang tanganku erat. "Kamu pulang sama siapa? Biar aku antar," kata Wilman. "Aku pulang sama orang tuaku dan tak perlu di antar, terima kasih," kataku sambil menghempaskan tanganku dan berjalan meninggalkannya. Mungkin aku masih bisa mencarinya saat dia di culik oleh para pemuja iblis, tapi aku tak bisa lagi bersikap biasa padanya. Aku tetap gadis biasa yang memiliki hati yang sangat rapuh. Dan hatiku telah hancur berkeping-keping oleh pengkhianatan yang dia lakukan tepat sebulan sebelum aku menikah dengannya. Dua tahun perjalanan cinta kami kandas hanya dalam hitungan menit saat aku melihat vidio dia makan malam dengan perempuan lain dan keluarganya. Dan hatiku tambah hancur ketika mengetahui bahwa semuanya telah berjalan selama 6 bulan, saat pengajuan pernikahanku mulai dilakukan. Dan alasannya melakukan semua itu hanya karena satu yang sungguh tak masuk akal 'bosan'. Aku tak habis pikir dengan cara dia berpikir. Bosan dan jenuh dalam berhubungan bukan hanya dirasakan oleh dia, tapi aku juga. Hanya aku tak pernah bermain curang padanya, aku tetap setia padanya. Setitik mutiara bening jatuh ke pipiku saat kembali aku mengingat semuanya. Rasa sakit di hatiku benar-benar telah meluluh lantakkan semuanya. Aku semakin merasa sakit saat melihat sikap Wilman kepada Hendra. Teman apa dia yang tak peduli pada temannya. Huh...rasanya aku ingin menghempaskan dia dari dunia ini, dan mungkin seharusnya aku dan Hendra tak mencarinya saat dia menghilang dulu. "Kamu kenapa, Di?" tanya mama saat aku telah berada di dekatnya. "Eh...Diona gak apa-apa ko, Ma, ayo pulang!" kataku. Aku dan mama berjalan ke pelataran parkir rumah sakit dan segera masuk ke dalam mobil. Papa menjalankan mobil dengan perlahan. Ada perasaan berat meninggalkan kota ini, kota yang telah membuatku kembali bertemu dengan sahabatku yang telah tiada. Kota yang telah memberiku kesempatan untuk menolong Evi dan Maura.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD