Bab 2

993 Words
Aku menatap tubuh Hendra yang masih saja diam membisu di atas tempat tidur dengan selang-selang penunjang kehidupan terpasang di tubuhnya. Aku melihat kakek dengan setia menunggu Hendra di sampingnya. Wajah tuanya terlihat begitu lelah, mungkin telah berhari-hari beliau menunggu Hendra di rumah sakit. Aku menatap mama yang berada di belakangku. Aku berharap jika mama akan mengizinkanku masuk dan menemui Hendra serta kakek. Tanpa kata, mama mengangguk dan membimbingku untuk mengenakan pakain yang steril dan masuk ke ruang ICU tanpa menggunakan kursi roda. Aku berjalan dengan tertatih mengingat kondisiku yang masih belum pulih. Seharusnya, aku masih mengenakan infus tapi aku menolaknya untuk hari ini saja. Kupegang pundak kakek dengan perlahan hingga beliau berbalik dan menatapku. Matanya sangat jelas memancarkan kesedihan dan kelelahan. "Bagaimana keadaan Hendra, Kek?" tanyaku pelan seolah tak ingin membangunkan Hendra dari tidurnya. Tidur? Tidak, Hendra bukan tidur, tapi koma. Dua buah timah panas yang menembus punggungnya membuatnya koma selama berhari-hati. Beruntung timah panas tersebut tidak menembus bagian vital tubuh Hendra. "Dia masih koma, Nak," jawab kakek getir. "Kakek istirahatlah, biar Diona yang menjaga Hendra," "Kamu sendiri sedang sakit, Nak," "Tidak apa, Kek, Diona sudah baikan. Kakek istirahatlah agar Kakek tidak sakit," Dengan susah payah aku membujuk kakek untuk pergi berisitirahat. Awalnya beliau terus menolak, tapi setelah aku meyakinkannya, maka beliau pun mau beristirahat sejenak. Aku duduk di samping Hendra yang masih saja lelap tertidur. Aku menatapnya dengan rasa bersalah dan sedih. Karena menolongku Hendra mengorbankan dirinya. "Hen bangun, apa kamu tidak bosan tidur terus?" tanyaku. Tapi tak ada satu pun jawaban yang Hendra katakan. Dia masih saja lelap dalam tidurnya selama beberapa hari ini. "Kamu marah ya sama aku?" tanyaku lagi. Aku hanya berharap Hendra akan merespon perkataanku. Sepengetahuanku dari film-filam karena aku memang belum bertemu dengan dokternya, walau pasien sedang koma, tapi otaknya tetap bekerja hingga memerlukan stimulan agar merespon. Semenit dua menit aku menunggu respon dari Hendra, tapi dia tak bergerak sama sekali. Dia tetap terlelap dalam tidurnya. Ada rasa sedih karena dia tak merespon, tapi aku tak mau berhenti berusaha. Aku terus mengajaknya berbicara dan bercerita. Srreeett...kurasakan seseorang memegang pundakku. Aku menoleh ke arah orang tersebut, ternyata Wilman yang datang. "Dia koma, Di, tak ada yang tahu kapan dia akan siuman," kata Wilman. "Aku tahu dia koma, karena itu aku mengajaknya bicara," "Sia-sia, Di," "Tak ada yang sia-sia karena otak Hendra tetap bekerja," "Di...," "Pergilah jika hanya berbicara seperti itu," Aku benar-benar kesal dengan apa yang di katakan oleh Wilman. Dia seolah tak ingin Hendra sembuh dan kembali beraktivitas seperti sedia kala. Aku tak paham sebenarnya dia teman macam apa yang tak berusaha sama sekali untuk membuat Hendra sadar. "Di...," kata Wilman lagi. Aku kira dia telah pergi dari ICU dan membiarkan aku bersama Hendra, tapi ternyata aku salah. Dia masih berdiri di sampingku. "Di...," lagi Wilman memanggilku. "Tolong jangan mengajakku bertengkar kali ini!" kataku tak ingin menanggapi apa yang ingin di katakan oleh Wilman. Entah apa yang terjadi pada Wilman sesungguhnya hingga akhir-akhir ini dia selalu mencari masalah denganku. "Aku pergi dulu, Hen, nanti aku akan kembali," kataku berbisik pada Hendra dan mulai berjalan meninggalkan Hendra yang masih tidur. Wilman mengikutiku dari belakang membuatku semakin bingung apa yang sesungguhnya dia inginkan dariku. "Ada apa?" tanyaku setelah berada di luar ruang ICU. "Maafkan aku, Di," "Maaf? Untuk apa?" "Untuk kesalahanku dengan Mela," Deg...mendengar nama Mela disebut oleh Wilman membuat hatiku kembali terluka dan mengeluarkan darah. Aku tak habis pikir bagaimana dia menyebut nama Mela saat kondisiku pun masih belum terlalu pulih. "Sudahlah," kata sambil berlalu dari hadapannya. Sungguh aku tak ingin lagi mendemgar apa pun soal dia dan Mela. "Di...," kata Wilman sambil menarik lenganku. "Lepas!" "Tolong, Di, kasih aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya," "Bukankah sebelum aku pergi dulu kamu sudah menjelaskan semuanya? Dan kamu bilang kamu sudah bosan sama aku?" "Di, bukan begitu maksudku," "Lalu bagaimana?" "Aku just fun sama dia," "Just fun kamu bilang? Dangkal banget pemikiran kamu Wil!" Aku menghempaskan tangan Wilman dan kembali ke ruang ICU. Entah kenapa rasanya Hendra selalu bisa membuatku tenang saat aku terluka oleh Wilman. Aku kembali mengingat bagaimana Hendra menenangkanku di taman tempo hari sesaat sebelum Wilman menghilang. Dia menenangkanku dan membelaku di hadapan Wilman. Dia memang sahabat yang sangat baik. "Hen, kamu bangun dong jangan biarin aku merasa sendirian seperti ini, kamu sahabatku kan? Ayo bangun Hen please," kataku sambil menggenggam tangan Hendra. Dia masih belum memberi respon walau hanya sebuah gerakan kecil. Dia terlalu suka tidur lelap dengan selang-selang terpasang di tubuhnya. *** "Di...," terdengar suara Hendra memanggilku. Aku segera membuka mataku dan mendapati Hendra tengah membelai rambutku dengan lembut. Entah bagaimana aku bisa tertidur di samping Hendra, yang jelas aku sangat senang saat aku bangun Hendra telah bangun dari tidurnya selama beberapa hari ini. "Hen ... kamu sadar, Hen?" kataku tak percaya kalau dia telah siuman. Aku segera memijit tombol di samping tempat tidur Hendra untuk memanggil dokter dan perawat. Tap...tap...tap...kudengar suara derap langkah kaki menuju ruang ICU. Aku sangat yakin kalau itu adalah langkah dokter dan perawat. Ceklek Pintu ruang ICU terbuka dan benar saja ada 2 orang perawat dan seorang dokter masuk. "Hendra siuman, Dok," kataku sambil memberi ruang kepada dokter untuk memeriksa Hendra. "Mbak tunggu di luar saja," kata seorang perawat. "Tapi...," "Nanti akan kami beritahukan bagaimana kondisinya," Akhirnya aku hanya bisa menurut pada perawat tersebut dan keluar dari ruanh ICU dimana Hendra berada. Di depan ruang ICU aku melihat kakek tengah duduk dengan khawatir. Aku tahu jika beliau sangat mengkhawatirkan Hendra karena Hendra adalah satu-satunya keluarga yang dimilikinya. "Hendra sudah siuman, Kek," kataku sambil duduk di sampingnya. "Benarkah?" tanyanya. Ada raut kebahagiaan di wajah keriput kakek. Bibirnya tersenyum dengan begitu hangat dan tulus. Matanya mebgeluarkan mutiara-mutiara kecil dan bening tanda kebahgiaannya. Aku memeluknya dengan penuh kasih, beliau sudah seperti kakekku dan selalu menolongku saat aku KKN dulu. "Iya, Kek, Hendra sudah sadar," kataku sambil menitikkan air mata. Aku sendiri masih tak percaya jika Hendra akhirnya siuman karena telah terlalu lama dia tidur dan menyisakan kepedihan di dalam hati semua orang, terutama kakek.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD