Bab 2

1063 Words
Di sebuah ruangan khusus bernuansa hitam putih berdiri sosok pria tampan berwajah dingin siapa lagi kalau bukan Altaf. Matanya menatap dengan sorotan tajam sebuah foto seorang gadis yang sedang tersenyum. Setiap melihat senyuman gadis itu mata Altaf akan berkilat tajam nan dingin. Yakinlah saat kau bertemu dengannya pada kondisi sekarang kau tak akan selamat.  "Ternyata kejadian 5 tahun silam tidak lantas membuatmu sadar, kau membuatku kehilangan banyak hal maka aku juga akan membuatmu kehilangan banyak hal bahkan jauh lebih menyakitkan dari apa yg pernah aku rasakan, nyawa dibalas dengan nyawa." ucapnya dingin sambil menggoreskan foto tersebut dengan pisau lipatnya hingga menjadi bentuk yang abstrak. Elena saat ini sedang menonton film kesukaannya dari negara Korea. Walaupun banyak orang yang bilang negara tersebut artisnya rata-rata muka plastik. Namun jika ditilik dari segi film korea termasuk film yang sukses di beberapa negara bahkan hingga ditayangkan di televisi lokal.  "Oppa saranghaeyo." ucapnya antusias saat adegan pernyataan cinta tokoh pria dalam film tersebut. Terkadang jika adegannya sedih Elena akan menangis hingga matanya bengkak. Ia terlalu menghayati film tersebut. Bukan tanpa alasan mengapa ia menangis, bukan karena ia gadis yang manja, ia hanya teringat akan perjalanan hidupnya karena terkadang alur cerita dalam film tersebut hampir sama dengan kisah kehidupannya. Bagi mereka yang tak mengenal sosok Elena akan beranggapan bahwa ia hanya sosok gadis manja dan hidupnya penuh warna namun percayalah bahwa hidup Elena tidak sesimpel itu. Bahkan ia pernah berada di titik terendah dalam hidupnya. Elena tinggal di sebuah apartemen mewah hasil jerih payahnya selama 5 tahun ini. Tidak ada yang tahu bahwa ia adalah salah satu anak orang terkaya nomor 3 di dunia karena ia memang tidak ingin memberitahukannya. Karena toh dia juga bukan lagi bagian dari keluarga tersebut. “aku lupa belanja lagi, ya Tuhan.” ujarnya frustrasi. “inilah akibatnya Elena kalau kau keasyikan nnton oppa.” omelnya pada diri sendiri. "Mari kita lihat apa yg harus dibeli." tenang dia tidak gila hanya saja itulah kebiasaannya. Selesai mencatat barang belanjaannya ia segera bersiap dan melaju membelah jalan raya menuju super market. Sibuk dengan kegiatannya memilih barang tanpa sadar ia menabrak punggung pria yang membelakanginya. Sadar akan keteledorannya ia pun meminta maaf dan betapa terkejutnya dia ternyata pria itu adalah bos bekunya.  "Mati kau Elena." cicit Elena sekecil mungkin.  "Apa kau tidak punya kerjaan selain menabrak orang." marah Altaf dingin.  "Maafkan saya pak tadi saya terlalu asyik berbelanja hingga tak melihat ada anda di depan saya." jelas Elena dengan sekali tarikan napas. Tanpa mendengarkan penjelasan Elena, Altaf berlalu pergi begitu saja tanpa permisi "Hah Elena kenapa kau harus bertemu dengan bos beku itu sih." rutuknya pada dirinya sendiri. Selesai membayar Elena bergegas kembali ke apartemennya. Moodnya tiba-tiba berubah kalau bertemu bos beku nya.  "Aku jadi malas memasak gara-gara si beku. Laparku juga ikut hilang." dumelnya. Padahal ia ingin makan masakannya sendiri karena sudah lama ia tidak memasak.  "Apa aku tidur saja ya, ah sudahlah." ucapnya berlalu ke kamarnya. Setelah memikirkan semua kemungkinan balas dendamnya pada Elena, Altaf akan memanfaatkan perasaan wanita itu. Ia akan membuat Elena mencintainya dan menjadikan dirinya sebagian dari hidupnya hingga rasanya jika tanpa Altaf, Elena akan lebih memilih mati. Itulah cara yang akan dipakai oleh Altaf untuk membuat Elena menderita baik fisik maupun batin.  "Well we can see Elena." ucapnya dengan seringai iblis. Satu yang dilupakan Altaf bahwa roda kehidupan akan terus berputar. Karena sejatinya antara benci dan cinta perbedaannya hanya setipis benang. Akhir-akhir ini Elena merasa ada yang salah dengan tubuhnya.  Pasalnya kepalanya berdenyut tanpa sebab,  padahal ia bukan tipe orang yang mudah stres.  Meskipun tampak cuek namun ia tetap khawatir,  ia takut karena sesuatu yang diremehkan bisa berbalik menyerang hidupnya bagai sebuah bumerang.  Tanpa pikir panjang ia segera menghubungi temannya yang berprofesi sebagai dokter. Anne Rosalie salah satu temannya yang kebetulan berprofesi sebagai dokter.   "Apa akhir-akhir ini yang kau rasakan El." tanya Anne sambil memeriksa Elena.  "Entahlah,  aku tiba-tiba merasakan sakit kepala yang teramat sakit hingga rasanya mau pecah." ucap Elena pada Anne karena setahunya ia bukan tipe orang yang mudah stres dan jikalau pun sakit kepala paling hanya migrain. "Ok aku sudah melakukan pemeriksaan dasar,  nanti minggu depan kita bertemu lagi untuk membahas masalah ini ok." ucap Anna dengan tenang.   "Apa ada masalah denganku?” intrupsi Elena dengan tidak sabaran. "Kita belum bisa memastikan El,  ini baru tes dasar makanya minggu depan kita bahas kembali." ucap Anne menenangkan.  Anne hanya berharap bahwa temannya ini hanya sakit kepala biasa,  dia takut jika diagnosanya benar.  Ia sampai merinding membayangkannya.  Baginya sudah cukup Elena menderita.  Minggu yang dijanjikan pun telah datang kini Elena berada di ruangan Anne untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut. "Baik Elena sekarang kita mulai tes nya ya." ucap Anne mengintrupsi.  "Ok Ann." balas Elena. Anne mulai melakukan serangkaian tes mulai dari Elektromiogram (EMG), untik mengukur aktivitas elektrik sel-sel otot.berlanjut pada langkah selanjutnya hingga tes terakhir uji sistem saraf. Tes darah dan sinar x, termasuk scan MRI otak. Tangan Anne bergetar hebat diagnosanya benar bahwa Elena mengidap penyakit dengan tingkat keganasan sedang namun kabar buruknya belum ada obat untuk penyakit tersebut.  "Hasilnya akan keluar tiga hari lagi El,  nanti aku kirimkan hasilnya padamu lewat email." ucap Anne berusaha menetralkan suaranya yang sempat bergetar tanpa menoleh pada Elena. "Ok Ann,  lalu ekspresi macam apa itu,  mengapa kau seolah enggan menatapku,  dan ya Tuhan ada apa dengan suaramu,  apa kau sedang sakit tenggorokan." ucap Elena penuh introgasi. "Kau ini,  aku hanya rindu padamu.  Kau tau hanya kau teman terbaik yang kumiliki dalam hidupku,  bagaimanapun aku sangat khawatir padamu,  soal suara aku memang lagi sakit tenggorokan." balas Anne berbohong,  namun tidak sepenuhnya  berbohong mengenai khawatir ia memang sangat mengkhawatirkan kondisi Elena karena baginya Elena adalah sosok yang menjadi penerang dalam kehidupannya yang begitu suram. "Kau ini bikin penasaran saja. Kau juga temanku yang terbaik dan kau tau itu jadi tidak perlu menghawatirkan aku Ann.  Khawatirkan saja perjodohanmu minggu depan." ucap Elena cuek sambil menggoda Anne. "Kau benar-benar,  mood ku jadi jelek gara-gara kau membicarakannya.  Selamat El kau sangat ahli merusak moodku." balas Anne berpura-pura marah. "Hentikan Ann,  ok well selamat ya Ann." ucap Elena kembali menggoda Ann.  "Elleeeenaaaaaa" teriak Ann geram.  Hasil pemeriksaan Elena tiga hari yang lalu sudah keluar dan hari ini Anne telah mengirimkannya melalui email.  Elena membuka emailnya secara perlahan ia membaca kalimat demi kalimat hingga matanya melotot tak percaya pada satu tulisan asing mengenai kondisinya. Perlahan air matanya jatuh membasahi pipinya yang mulus. "Ya Tuhan cobaan apalagi ini." ucapnya gemetar.     
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD