Dengan langkah ragu, aku membuntut di belakang Mas Rasya memasuki rumah sakit ibu dan anak. Setelah mendapat nomer antrean, kami duduk di kursi tunggu. Sementara aku dicekam rasa tak nyaman, Mas Rasya tampak begitu tenang. Sesekali ia mengajak Qila mengobrol. Qila menanggapi dengan senyum malas tanda bocah itu masih sangat mengantuk. "Mas Rasya," ucapku dengan tenggorokan tercekat. Menatap orang-orang yang tampak bahagia membuatku jadi begitu sedih karena tiba-tiba terkenang Mas Rofi. Mas Rofi tak henti tersenyum setiap menemaniku periksa kandungan, bahkan sesekali ia akan menciumku mesra di kursi tunggu padahal banyak orang di sekitar kami. "Mas Rasya." Aku berkata dengan suara serak, menahan diri agar tak kembali menangis. Mas Rasya menoleh sekilas, tatapannya masih sinis seperti tadi.

