Aku memeluk Mas Rasya erat, mendongak menatapnya yang terus mematung. Di bibir ranjang, Ibu terdiam. Ibu begitu syok saat kuceritakan bahwa aku hamil, kemungkinan anak Mas Dewa. Tapi keterkejutan Ibu tak berlangsung lama. Ia kemudian menasehati agar mantunya ini tak terlalu larut dalam kesedihan karena itu bisa membahayakan janin yang kukandung. Harus berpikir positif, kata Ibu. Menerima kehamilan ini dengan hati lapang walau belum siap memiliki anak lagi. Biar bagaimanapun, tetap anak. Bagaimana bisa berpikir positif jika janin yang kukandung belum jelas usulnya? Bahkan kehamilan ini pun, aku masih belum bisa menerima sepenuh hati. Kasihan Qila. Ini terlalu cepat. Kini, malah ditambah bahwa janin dalam kandungan kemungkinan bukan anak Mas Rasya. Ya Allah. Kenapa menimpakan ujian seperti

