Memasuki kembali ruang kerjanya, perasaan Ganis sudah mulai tenang, bagaimanapun pikirnya, ia harus bisa menegakkan badannya untuk menghadapi Prana. Jangan terlihat lemah, seperti Ganis yang dikenalnya selama ini, yang manja, yang kolokkan dan semua orang di anggapnya baik.
Dengan sedikit memperbaiki riasan wajahnya, Ganis sudah nampak segar lagi, meski kesembaban matanya tak begitu dia dapat sembunyikan.
"Nis, tadi kenapa wajahmu pucat sekali?" Tiba-tiba Felix mengamit tangan Ganis begitu melihat wanita itu masuk ke ruang rapat, nampak mencemaskannya.
Ganis menatapnya lalu tersenyum. "Ku memang agak kurang enak badan hari ini tapi tidak apa-apa ku sudah minum obat pusing tadi sebelum ke sini." dustanya.
Felix menatapnya menyelidik wajahnya yang memang sudah tidak lagi terlalu pucat seperti tadi. "Kalau begitu sebaiknya kau istirahat saja, tidak perlu ikut rapat hari ini. Ku bisa memberi menjelaskan kepada Prana tentang kondisimu saat ini."
"Kau mau melewatkan ku untuk menunjukan kemampuanku pada Direktur Utama kita? Aku baru bekerja di sini, aku tak mau memberi kesan pertama dengan ketidak hadiranku."
"Nis ... ayolah." bujuk Felix dengan sorot mata penuh kepedulian, tepat saat Prana masuk dan melihat mereka. Matanya melirik tangan yang sedang di pegang Felix, dengan sikap dingin dan acuh tak acuh, melewati mereka.
Tidak ada kesempatan lagi buat Felix untuk membujuknya. "Oke, kamu ikut rapat tapi aku harap jangan terlalu memaksakan diri." pesannya sebelum ia duduk di kursinya, sementara Ganis menghampiri kursi yang masih kosong di sisi Mila yang tersenyum padanya.
Mila sepertinya ingin mengatakan sesuatu padanya, tapi perhatiannya segera teralihkan mendengar suara bariton Prana mengatakan akan memulai rapatnya kali ini. Tidak ada seorangpun yang berani bersuara lagi. Tubuh itu berdiri, layaknya gunung es yang tak seorang pun mampu menandingi kharismanya.
Sepanjang rapat, tak sedikit pun Prana menunjukan pandangannya kepada Ganis, seolah menganggapnya tidak ada. Beda dengan Felix yang selalu meliriknya seolah masih mencemaskannya. Setelah mendapatkan laporan hasil kerja dari beberapa rekannya, secara tak terduga Ganis tiba pada gilirannya.
"Saya ingin mendengar laporan dari hasil kerja desain interior kita yang baru." deg! Ganis agak terkejut.
Dia sebenarnya sudah siap mental bila diminta untuk mempresentasikan hasil kerja di rapat ini, desain gambar yang sudah dibuatnya pun ada beberapa yang sudah jadi tapi karena ini kali pertama, membuatnya sedikit gugup. Ia harus melakukannya, terutama yang di hadapinya ini adalah Prana. Ia tidak ingin menunjukan kelemahannya.
Dengan percaya diri Ganis berdiri, semua memandangnya termasuk Prana. Ia menatap Prana sekilas kemudian fokus pada kertas-kertas yang ada di dekatnya.
Tidak ada komentar apapun saat gambar-gambar itu tampil di layar. Ganis secara detail menjelaskan hasil kerjanya sampai ke budget yang sudah ia tentukan. "Untungnya ia punya pengalaman kerja di Jogja, sudah sering mempresentasikan hasil kerja teamnya di rapat seperti ini.
Semua bertepuk tangan, mengapresiasi Ganis yang telah begitu lancar menunjukan keahliannya tanpa sangkalan dari Prana. Felix menatapnya kagum, mengacungkan jempolnya saat Ganis sudah duduk di kursinya kembali. Mila berbisik, “Good job, Nis!” Ganis meliriknya, tersenyum lega.
"Jangan terlalu puas Mil, ini belum apa-apa dibanding ke depannya yang harus aku hadapi." katanya sambil tersenyum kecut.
"Hei, tadi itu sudah sangat bagus, semangatlah." Ganis tak berkata lagi, ia sibuk membereskan berkas-berkas yang ada di hadapannya.
Ia cepat beranjak dari ruangan, saat rapat dinyatakan sudah selesai.
"Nis!" Felix memanggilnya, sudah berdiri dan bermaksud menghampiri Ganis, tapi suara Prana mencegah untuk lanjut melangkahkan kakinya.
"Ada yang harus gue bicarakan Fe, bersama Aldy dan Bram." Ucap Prana serius. "Gue harap kalian jangan meninggalkan dulu ruangan ini."
Ketiganya saling memandang, tapi akhirnya mereka duduk kembali.
"Ada sedikit masalah pada proyek kita yang ada di Kalimantan, gue sudah coba selidiki selama beberapa hari ini di sana, tapi belum secara pasti dapat tahu apa penyebabnya. Lo bisa membantu gue lebih lanjut tentang hal ini Fe?" tatapan Prana tertuju pada Felix. "Gue ada acara lelang yang harus gue hadiri." ungkapnya memberi alasan, kenapa ia tidak meneruskan penyelidikannya di sana.
"Tidak masalah, gue akan melakukannya." tegas Felix. "Mungkin gue akan mengajak serta desain interior kita yang baru, untuk sekalian memperkenalkan proyek besar kita yang sedang di kerjakan di sana."
Mata Prana menyala, "Lo pergi sendirian, Mila sudah sangat sibuk dengan pekerjaannya jadi jangan mengganggunya dengan cara mengambil pekerja baru itu." tegasnya.
"Yeahhh .... Pran, kamu biasa sendirian kemana-mana tapi gue inginlah sekali-kali ditemani wanita cantik saat berada di luar."
Prana merapatkan bibirnya saat mendengar keinginan Felix yang sedikit tak tahu diri itu. "Lo tidak takut diamuk Mila? Jadi hentikan ide gila Lo itu." tegasnya tak bisa di kompromi lagi, ia mengarahkan tatapannya pada Aldy.
"Kerjaan Lo lancar kan Al? Gue lihat dari hasil laporan lo tadi di rapat, lancar-lancar aja."
"Sejauh ini lancar sih, masalah kecil masih bisa gue atasi lah." Aldy terkekeh, sesuai dengan karakternya yang tidak terlalu serius, tapi Prana tahu dalam hal pekerjaan Aldy seorang yang sangat bertanggung jawab.
"Bram?" tatapannya di alihkan kepada sahabatnya yang agak pendiam ini.
"Sesuai dengan yang sudah gue jelaskan di rapat tadi, proyek yang gue kerjakan ini sudah mulai rampung. Bukan proyek besar juga, jadi tidak begitu banyak menimbulkan masalah. Semoga hasil akhirnya sesuai dengan harapan kita semua."
Wajah dingin Prana sedikit bersinar, "Syukurlah, itu yang kita harapkan. Gue harap kalau ada masalah, untuk segera dilaporkan dan kita bicarakan bersama."
. "Fe, jangan tunda keberangkatannya ke Kalimantan, segera selesaikan masalah di sana." ucap Prana, sambil bersiap-siap untuk meninggalkan ruangan rapat.
"Heran gue, ada apa sama dia? Mesti nahan kita segala, sudah jelas kan tadi di rapat?" ucap Felix setelah punggung Prana tidak terlihat, agak ngedumel karena rencananya mau deketin Ganis setelah rapat, jadi gagal.
"Kasihan juga Ganis kalau harus terus Lo tempelin kayak perangko, sepertinya agak kurang sehat liatnya." ucap Aldy, mengangkat bokongnya untuk segera meninggalkan ruang rapat, sama dengan Bram.
Di tempat lain, Mila sedang memperhatikan wajah Ganis yang sudah duduk di sebelahnya. "Nis, sepertinya kamu kurang sehat deh, ku antar untuk memeriksakan diri ke ruang kesehatan perusahaan yuk?" ajaknya.
"Aku gak apa-apa Mil, jangan terlalu cemas gitu ah, apa kata dunia kalau karyawan baru sudah mengeluh sakit padahal belum lama bekerja."
"Mau karyawan baru kek atau karyawan lama kek, kalau merasa sakit ya diobatin. Perusahaan ini sudah menyediakan tempat lengkap dengan seorang dokter dan perawatnya." kata Mila ngotot.
Kepala Ganis yang memang sudah pening jadi tambah lagi pening. Ia hanya ingin menyimpan kepalanya ini di atas bantal yang empuk lalu memejamkan mata untuk tidur dan melupakan masalah yang sedang menderanya.
"Aku tadi sudah minum obat sakit kepala Mil, jadi tenang saja kepalaku sudah agak ringan." dustanya seperti tadi pada Felix. Ya ampun, gara-gara pusingnya ini, sudah dua kali membohongi temannya.
.
"Seandainya kamu masuk ruang Felix atau Prana, enak tuh ada kamar pribadinya untuk sekedar beristirahat, namanya juga ruang Bos." ujar Mila sambil tersenyum, kembali ke lembar desain gambar yang sedang di garapnya.
Notes: Dengan sangat menyesal cerita ini telah di hapus sebagian, dengan waktu yang tidak bisa di tentukan karena masalah kontraknya dengan pihak platform.
Mohon maaf yang sebesar-besarnya, buat pembacaku....