Sepeninggal Felix dan pintu tertutup, Ganis tetap berdiri menunggu di persilahkan duduk. Wajah cantiknya terlihat datar, tidak ingin menunjukan ekspresi apapun.
"Duduklah." pintanya dingin.
Ganis duduk, tak peduli dengan Prana yang tidak melepaskan tatapannya sedikitpun. "Kamu bekerja di sini?" tanyanya setajam mata pisau belati.
Sorot mata Ganis ikut menajam, menatap orang dihadapannya ini. "Kamu lihat sendiri sekarang, aku ada di perusahaan ini, tanpa tahu siapa pemiliknya." jawabnya ketus, Ganis bertekad tak mau terintimidasi lagi oleh sikap dinginnya, cukup sudah sikap Ganis yang selalu patuh, mengatakan 'ya' dan selalu mengikuti apa maunya tanpa banyak protes. Sekarang setelah menelan banyak kepahitan dalam hidupnya, ia tidak lagi selugu dulu. Ganis tidak bodoh lagi dan menganggap semua baik-baik saja.
Mata Prana sedikit menyipit, Ganis yang empat tahun lalu sepertinya sudah benar-benar menghilang. Pribadinya yang manis, tenggelam di balik matanya yang cukup menusuk hati Prana yang masih terluka karena penghianatannya.
Prana menahan amarahnya, terlihat dari kedutan di rahangnya yang terlihat kokoh. "Seharusnya kau tidakk bekerja di sini." ucapnya sarkas.
Mata Ganis menyala, seakan ingin menelan bulat-bulat lelaki yang sangat di bencinya ini. "Seandainya aku tahu bahwa perusahaan ini milikmu, tentu saja tak akan pernah terpikirkan olehku untuk bekerja di sini." Ganis berdiri, "kamu boleh membatalkan kontrak kerjanya dan aku akan pergi." ia akan beranjak dari ruangan itu, merasa sia-sia untuk berbicara dengan manusia yang tidak punya hati seperti Prana ini.
Dengan cepat Prana bangkit dari duduknya dan segera menyambar lengan Ganis yang sudah berjalan menuju pintu. "Kamu kira mudah memutuskan kontrak kerja secara sepihak heh?" ucapnya agak kasar.
Tubuh Ganis tertahan. "Kamu kan bos nya? Kamu yang selalu mengikuti keinginanmu, jadi bagimu mudah untuk kembali menendang ku dari hadapanmu bukan?" Mata Ganis kembali menatapnya galak, Prana belum pernah melihat sorot matanya seperti itu.
Kemudian ia menatap lengannya yang dicekal, "Lepaskan!" pintanya marah.
Tapi tidak mudah ternyata, Prana semakin mencekeram lengan bagian atasnya dengan keras.
"Kalau kamu melangkahkan kaki sejengkal saja keluar dari perusahaan ini, ingat! Kontrak kerja itu dibuat ada dasar hukumnya." ancamnya geram.
Aneh, pikir Ganis, tadi dengan jelas merasa keberatan dengan keberadaannya bekerja di perusahaannya ini. "Bukankah kamu yang menginginkan aku enyah dari hadapanmu?! Aku akan dengan senang hati melakukannya." ada tawa sinis mengiringi ucapannya, hingga Prana merasa diejek secara terang-terangan. Harga dirinya serasa ada di bawah telapak kaki wanita judes ini.
"Kamu !!" suaranya bergetar. Ia menarik lengannya dengan kasar hingga tubuhnya menubruk dadanya yang bidang. Ganis merasakan sakit di lengannya. Ah! Ia juga membaui aroma maskulin dari tubuh Prana, membaui lagi aroma campuran dari Woody dan Citrus, yang merupakan aroma parfum kesayangan Prana. Sudah lama ia tak merasakan perasaan berdesir saat menyesap aroma tubuhnya itu, jadi sedikit agak panik.
"Jangan berusaha melawanku, kalau kamu tidak ingin lebih hancur di tanganku" desisnya di balik telinganya. Lalu ... "baiklah! Teruslah bekerja di sini, aku tertantang untuk melihat sejauh mana kamu bisa bertahan !" menatapnya penuh ancaman, kemudian dia melepaskan cengkraman tangannya dengan begitu saja.
Ganis sedikit terhuyung, meringis menahan sakit di lengannya, tapi segera berdiri tegap dan segera berlalu dari ruangan itu, tanpa menoleh lagi.
Prana pun tak melihatnya lagi, tubuh jangkungnya membelakanginya menuju jendela, tatapannya yang masih menyala tertuju pada pemandangan yang ada di bawahnya.
Tidak sedikit pun ia mengira akan bertemu lagi dengan wanita yang sudah menggoreskan luka di hatinya, sebuah penghianatan tak bisa ditolerir oleh orang yang hanya memiliki satu hati saja. Dengan jelas, Ia melihat sendiri bagaimana Ganis memeluk laki-laki itu di sebuah Kafe yang ia datangi karena ada pertemuan dengan salah satu relasinya. Ia melihat bagaimana akrabnya Ganis dengan lelaki itu, sungguh tidak menyangka wanita semanis Ganis, mampu berselingkuh di belakang punggungnya.
Itulah kenapa ia langsung mengusir Ganis setiba di rumah, karena tidak tahu apa yang mampu ia lakukan bila lebih lama lagi melihat perempuan itu. Ia tidak mau menjadi seorang pembunuh karena rasa cemburu.
Sekarang rasa geram itu masih bercokol di benaknya, meski sudah empat tahun berlalu. Tidak berkurang kadarnya sedikitpun. Kalau bisa ia ingin mencekiknya dan membuangnya ke laut lepas, supaya di makan hiu buas dan tak bisa dilihatnya lagi atau mungkin mendorongnya ke jurang terdalam supaya tak seorang pun ada yang menemukannya lagi.
Ia menyesal sudah memasrahkan hatinya dan percaya pada Ganis, tapi dengan telak ia telah menelan kepahitan dari sebuah penghianatan wanita yang sangat dicintainya itu.
Ganis dengan lunglai kembali ke ruangan kerjanya, lengannya masih berdenyut-denyut sakit. Ia tidak tahu ke depannya seperti apa dan ia tiba-tiba mengingat Gagah .... ?? Bagaimana dengan anak itu? Banyak sekali kemungkinannya, bisa saja bertemu lagi seperti di Mall waktu itu, beruntung ia sempat keburu menghindarinya, tapi belum tentu di lain kali ia bisa seberuntung itu.
Tapi bisa juga Prana tidak akan mengakui Gagah sebagai anaknya. Bukankah dia sudah menuduhnya telah berselingkuh dengan seseorang? Pasti dia akan mengira Gagah sebagai anak hasil dari selingkuhannya. Sungguh menyedihkan memang, tuduhan itu sangat kejam.
Ya Tuhan! Betapa kasihan, anak setampan dan selucu Gagah, bila sampai tidak diakui atau ditolak oleh ayah kandungnya sendiri. Ganis pasti akan lebih terluka dan mungkin tidak akan pernah memaafkannya lagi.
Kebahagian Gagah adalah hal yang utama, lebih baik menyembunyikan keberadaan anak itu, sebelum ia yakin kalau Prana dapat menerima Gagah sebagai anak kandungnya. Hanya bagaimana caranya bisa sampai ke tahap itu? Otaknya sudah stuck bila mengingat perangai orang kepala batu yang satu itu.
Ganis berdiam diri untuk sementara di toilet, sebelum masuk ke ruangan kerjanya. Dengan membasuh wajahnya ia berharap otaknya agak dingin dan merasa fresh tapi wajah garang Prana masih tergambar jelas di ingatannya.
Ia masih melihat kemarahan di mata elang itu, pasti tuduhan kejam itu masih juga tertanam di kepalanya yang sempit itu.
Ganis mencoba menarik nafas panjangnya berkali-kali agar rongga paru-paru terisi udara dengan baik, tapi rasa sesak itu seakan menghimpit nafasnya. Ingin menangis atau teriak sekencangnya, supaya sedikitnya melepaskan beban yang dirasakannya.
Pikirannya malah kembali pada tuduhan Prana kepadanya. Kalau benar ia berselingkuh, lalu kapan dan dengan siapa? Pikirannya benar-benar blank tidak ada gambaran sama sekali mengenai laki-laki yang disangkakan telah berselingkuh dengan dirinya.
Sampai sekarangpun masih jadi misteri baginya, mau bertanya secara langsung kepada Prana sendiri merasa takut akan akibatnya. Takut laki-laki itu akan semakin marah padanya karena mengungkit-ungkit masa lalu yang pastinya sudah berusaha dilupakannya.
Akhirnya Ganis terdiam menyender ke wastafel. Berusaha menenangkan dirinya.Tapi malah ingatan tentang kepahitan yang dideritanya selama ini muncul tanpa bisa di tepisnya.
Pengusiran itu, ya! pengusiran itu sudah membuatnya sakit hati dengan harga diri yang terlukai sangat dalam, hampir menghilangkan semangat hidupnya. Seandainya tidak ada orang-orang di sekitarnya yang terus menyemangati dan memberi perhatian lebih kepadanya, mungkin ia sudah jadi mayat hidup yang hidup segan, mati pun tidak mau.
Terus terang ini masalah terberat yang baru dialaminya, ia belum tahu bagaimana cara menyikapinya. Ganis yang biasa manja, punya suami juga sangat memanjakannya, sangat tidak siap dengan perubahan yang secara tiba-tiba datang dalam hidupnya.
Kadang ia mengutuk Prana, kadang juga ia sangat merindukan laki-laki itu. Dan sekarang, laki-laki itu hadir kembali dalam kehidupannya? Ini hal yang tidak mudah untuk dihadapinya, padahal ia sudah merasa tenang dengan kehidupannya yang sekarang, ia pun sudah sedikit-sedikit melupakan perasaan sakitnya.
Air matanya luruh, ia menangis tersedu-sedu di toilet kantor yang sepi, sendirian.