Ganis tidak begitu memikirkan tentang kata-kata Mila soal Direktur Utama itu. Baginya yang penting, ia bekerja dengan sangat baik, bisa menuangkan idenya sesuai dengan gaya yang diinginkan juga anggaran yang sesuai harapan.
Sudah beberapa kali ia survey ke lapangan, kadang ditemani Mila untuk mencari mebel yang sesuai dengan konsep gambarnya.
"Mil, sepertinya barang-barang mebel di sini lebih tinggi harganya dibanding di Jogja. Aku punya teman di sana, dia pengrajin mebel yang hasil kerjanya bagus." katanya kepada Mila setelah keluar dari toko mebel yang cukup besar.
"Itu pasti Nis, Aku sudah bekerja sama dengan beberapa pengrajin di daerah dengan pikiran selain lebih murah juga kita bisa pesan sesuai konsep yang kita inginkan. Tapi kadang-kadang terkendala sama waktu dan modal mereka yang kurang memadai, sehingga menghambat pekerjaan kita karena barang yang di inginkan belum tersedia pada waktunya. Aku sudah mengalaminya beberapa kali, jadi aku lebih memilih ambil dari toko atau perusahaan mebel terpercaya, walau lebih mahal tapi pasti." Mila menjelaskan.
"Oh gitu ya."
"Tapi kamu boleh coba dulu menjalin kerjasama dengan temanmu itu kalau memang lancar, tentu saja tidak akan jadi masalah. Karena rata-rata pengrajin seperti itu hanya dikelola oleh perorangan, tapi ada juga yang dikelola secara profesional. Aku akan rekomendasikan beberapa perusahaan mebel mana aja yang bisa diajak kerjasama."
"Kamu memang temanku yang sangat baik, terimakasih Mil." Mila tersenyum.
"Tapi aku juga suka melihat-lihat ke toko-toko mebel seperti ini loh, hanya sekedar mencari inspirasi untuk sekali-kali menyelipkan sesuatu yang beda di desain interiorku."
"Hmm boleh juga tuh Mil. Kita sebagai seorang desainer tentu punya kebebasan untuk menuangkan ide kreatif kita, kalau bisa diterima oleh klien kita tidak ada masalah kan?"
"Tentu saja Nis, ku sering menyarankan kepada klien untuk tidak terlalu terpaku pada gaya yang diinginkan mereka."
“Yuk, kita cari makan, udah laper nih.” yang diangguki Ganis tanpa banyak kata lagi.
Mereka tiba di kantor setelah jam makan siang berakhir. Setiba di ruangan kerja, Aldy langsung berbicara pada Ganis. "Nis, dicari Felix tadi."
Ganis mengkerutkan keningnya. "Ada apa ya?"
"Aku gak tahu, dia gak ngomong hanya suruh ke kantornya aja, bila kamu sudah datang."
"Baiklah, aku akan segera kesana."
"Mungkin Felix sudah kangen sama kamu Nis, karena sudah dua hari ini kamu kelayapan terus di luar." seloroh Mila dengan nada candaannya.
Ganis hanya melirik Mila yang lagi nyengir lalu melangkah menuju ruangan CEO yang ada di lantai satu.
Setelah mengetuk pintu, ia mendengar suara Felix mempersilahkannya masuk.
Begitu pintu terbuka, Ganis melihat Felix langsung berdiri dari kursi kebesarannya.
"Akhirnya kamu kembali juga, bagamana hasil jalan-jalan nya membuahkan hasil?" Felix selalu ramah padanya, Wajahnya yang memang tampan selalu memikat dengan senyuman dan tatapannya yang simpatik.
"Ku berusaha bertukar pendapat dengan Mila yang lebih berpengalaman dalam hal ini, tapi toko-toko mebel itu juga menarik, banyak model-model furniture yang bisa diterapkan bila ingin menciptakan ruangan yang berbeda." ujar Ganis sambil terus berjalan mendekatinya. Wajahnya yang cantik, tidak pudar karena kegiatannya di luar, tetap segar dan energik.
"Kepalamu selalu punya ide yang bagus ya, aku melihatnya ditiap detail desain yang kamu buat." puji Felix, tak menyembunyikan rasa kagumnya.
Felix melangkah mendekatinya, Ganis tersenyum mendengar pujiannya itu. "Aku memang suka menata ruangan. Bukan hanya menjadikan ruangan itu indah tapi akan terasa nyaman dan aman bagi yang mendiaminya."
"Kalau begitu, aku akan memperkenalkanmu pada sang penilai paling kritis. Disetiap detailnya takkan luput dari mata tajam elangnya."
Ganis membulatkan matanya. "Maksudnya?"
"Pak Direktur Utama kita, sudah pulang dari tugas luarnya. Aku akan memperkenalkannya padamu."
Ganis hanya menaikan sudut bibirnya. Siapa takut? Batinnya.
"Aku akan mengantarkanmu ke ruangannya." Kata Felix pelan, berjalan mendahului yang diikuti oleh Ganis tanpa keraguan.
Gedung perusahaan ini hanya terdiri dari tiga lantai. Terus terang, Ganis belum begitu mengenal ruangan kerja yang lainnya, selain ruang kerja yang ada di lantai dua, sementara lantai tiga yang ditujunya sekarang ini belum pernah sekalipun diinjaknya.
Felix membawanya ke sebuah ruangan yang dirasa Ganis penuh dengan aura yang berbeda dari ruangan yang lainnya. Sebuah aura dingin, dari interiornya yang bernuansa hitam putih juga ornamen yang ada di sekitarnya. Mungkin AC ruangan ini terlalu dingin, pikirnya.
Mereka melewati meja sekretaris yang cantik, Felix hanya mengangguk sambil tersenyum padanya. Tangannya mengetuk pintu besar dari kayu yang berat, tanpa menunggu jawaban dari dalam, Felix membukanya sendiri.
"Masuklah Nis, ku ingatkan jangan terlalu terpaku pada penampilannya ya, dia tidak akan menggigitmu." masih di dalam candanya, Felix belum sadar kalau orang yang ada di belakang punggungnya sudah memucat seperti mayat hidup.
Ya, Ganis sudah melihat orang yang ada di balik meja bertuliskan Direktur Utama itu. Prana Guntara, yang tiada lain orang yang paling ingin dihindarinya selama ini. Suaminya yang telah dengan kejam mengusirnya tanpa memberi kesempatan sedikit pun untuk menolak tuduhan yang sudah dilontarkan kepadanya. Istri yang berselingkuh !! Suatu tuduhan yang tanpa dasar menurut Ganis.
Ingin saja Ganis membalikan badannya, berlari menghindari laki-laki itu, tapi terlanjur Prana melihat kehadirannya.
Ekspresi terkejut ditunjukan bukan hanya oleh Ganis, tapi hal sama yang terlihat di wajahnya yang dingin itu.
Candaan Felix tidak berpengaruh sama sekali pada ke duanya.
"Apakah kamu baik-baik saja Nis? Wajahmu pucat sekali." tanya Felix kuatir.
Tangannya memegang wajah Ganis yang masih terpaku diam seperti patung.
Mengapa Prana ada di perusahaan ini? bukankah aturan pemerintah tidak mengizinkan seorang militer ikut serta dalam bisnis apapun? Apakah Prana melepas kemiliterannya? Ganis sama sekali tak habis pikir karena ia tahu Prana sangat mencintai karier militernya dengan sepenuh hati dan jiwa raganya.
"Nis." Felix kembali memanggil namanya, menepuk-nepuk lembut pipinya yang masih pucat.
Ganis baru sadar, otaknya kembali waras. Ia melihat Felix, wajahnya yang halus mulai berwarna lagi. Ia harus menghadapi ini, ia bertekad akan menghadapinya, tidak mau lagi di perlakukan dengan sewenang-wenang oleh laki-laki tak punya hati ini.
Matanya perlahan berapi, lalu masuk melewati Felix yang masih nampak kebingungan.
Raut Prana sudah kembali ke semula, wajah terkejutnya sudah hilang. Dia menatap Ganis tak berkedip, yang terus berjalan ke arah meja kerjanya.
Tubuh perempuan itu tidak ada perubahan, bentuknya tetap bagus, tetap ramping, rambutnya yang hitam lebih panjang dari terakhir dia melihatnya. Rasa marah itu masih ada, tapi mengapa ia tidak bisa melupakannya? Wanita penghianat ini malah terlihat semakin menawan. Sialan! umpatnya dalam hati.
"Fe, tolong siapkan, setengah jam lagi kita akan mengadakan rapat bersama divisi Site Engineer."
"Dadakan? Belum tentu mereka siap."
"Siap gak siap, rapat tetap diadakan!" Katanya tegas.
"Ok, siap." Felix segera keluar ruangan itu meninggalkan Ganis sendirian.