Cubitan Cinta

1310 Words
Cubitan Cinta   ”LAKI GUEEE! OOOOM!” Yuka menghambur seperti orang kebelet ke arah lelaki tampan itu. Ia ikhlas jika harus tersandung sesuatu asalkan cepat tiba di sana. Niatnya ingin mendekap pria yang ia panggil ’laki gue’ itu, tapi yang terpeluk adalah seorang bapak-bapak berseragam biru. Yuka yang malang memeluk office boy alias tukang sapu-sapu. Hiiiish!! ”Om, jangan tinggalin Yu—” Yuka menoleh ke belakang waktu kemeja putihnya ditarik seseorang.  Sementara itu, si Om berjalan semakin jauh meninggalkannya. ”Apaan sih Mbak narik-narik baju saya?! Saya mau ngejar suami saya. Mbak jangan ganggu deh!” Yuka jengkel sebab kesempatan melihat si Om mesti tertunda. Ia mendumel di dalam hati, ”Dasar embak-embak tukang ganggu hubungan orang! Demi surga dunia paling nikmat di dunia ini, gue ingin meluk Om El!” ”Mbak ini Yuka Sierra dari kantor cabang bukan?” Yuka mengalah. Ini waktu yang tidak tepat banget. Seharusnya, si Mbak ini memanggil Yuka nanti-nanti saja setelah ia menemui Om El. ”Om El makin ganteng aja sih semenjak kita nggak ketemu.” Yuka mengentak-entakkan kaki sambil menggigit kukunya. ”Mbak Yuka.” Panggilan kedua membuat Yuka mengembuskan napas malas. ”Bisa ikuti saya ke ruangan Bapak Vegas?” Si Mbak memberikan instruksi. Akhirnya, Yuka ikut dengan pasrah. ”Mbaknya tahu nggak yang itu tadi siapa?” Yuka penasaran ada urusan apa Om El di gedung ini. ”Maksud Mbak Yuka Pak Elrangga?” Yuka mengangguk sesemangat mungkin di belakang punggung si Mbak. By the way, mereka sedang berjalan ke ruangan Pak Vegas, pimpinan organizing dan staffing perusahaan ini. Gadis itu melihat kanan dan kiri, siapa tahu bisa melihat Om El lagi. ”Om, kangen banget....” Yuka menekuk bibirnya. ***   Yuka mengayunkan kaki di bangku kantin kantor barunya. Tidak ada yang menegur Yuka. Jangankan menegur, senyum pun tidak. Ia menggigiti sendok baksonya gemas. Gadis yang terabaikan itu membayangkan masa lalu indah saat dia getol-getolnya mendekati Dovan Elrangga. Waktu itu hujan turun sangat lebat. Yuka berteduh di bawah atap bus stop sambil menunggu bus ke arah indekosnya datang. Saat melihat mas-mas yang mendorong gerobak bakso, Yuka ingin makan pentol-pentol dari tepung itu. Cuaca yang dingin membuat Yuka Sierra kelaparan dan menginginkan yang panas-panas. ”Pesan bakso semangkok besar, yang pedes terus cabenya banyakin ya, Mas.” Mas-mas bakso melayani pesanan Yuka. Sayangnya, sewaktu mangkok itu berada di tangan Yuka, seseorang menabrak pundaknya hingga kuah bakso panas  menyiram kemeja sekolahnya. Sementara itu, si penabrak memilih kabur tanpa tanggung jawab. Panas membakar kulit di balik kemeja Yuka. Teriakan gadis berkucir dua itu membahana di antara hujan yang turun. ”Kenapa nggak hati-hati, hah? Ceroboh banget jadi anak!” hardik seseorang yang baru saja turun dari sepeda motor. Gadis remaja yang dikuahi bakso itu ingin menangis karena menahan sakit di kulitnya serta terkejut. Pasalnya, Elrangga yang baru datang membentaknya sadis. Tak berselang lama, Yuka pun tersenyum karena Elrangga membungkus tubuhnya dengan jaket kulit milik pria itu. ”Cepat pasang helm kamu! Kita nggak mungkin nunggu hujannya berhenti.” Yuka mengangguk lalu memperlihatkan senyuman kepada Elrangga. Mereka menerobos hujan dengan tangan Yuka melingkar di pinggang om kesayangannya itu. Ketika tiba di kontrakannya, Elrangga berkata, ”Ganti kemeja kamu!” Lelaki itu memberikan kaus berwarna ocean blue  bergambar tengkorak di tengahnya. Hiiih kenapa gadis semanis dia harus pakai gambar ini sih? Yuka merengut. ”Ayo, cepat ganti! Nanti masuk angin.” ”Om, emang nggak ada gambar yang lebih manis, ya?” Dasar remaja zaman sekarang, dikasih hati minta jantung. Sudah diberi kaus gratis malah minta ganti. Yuka pintar atau b**o sih? Mana ada cowok semacam Elrangga menyimpan kemeja yang manis. Walaupun ada, manis dari sudut pandang Elrangga jelas berbeda dengan manis seperti yang ada dalam kepala Yuka. Of course! ”Nggak ada. Nggak mau pake, ya sudah. Kalau masuk angin, aku nggak akan mau ngerokin kamu lagi!” Dengan ancaman seperti itu, Yuka ’ngibrit’ ke kamar mandi. Sekeluar dari sana, ia merentangkan tangannya sembari berkata, “Om, kenapa beli baju yang gede-gede begini sih?” Baju tersebut menelan tubuh kecil Yuka. Sementara itu di baliknya, Yuka enggak pakai apa-apa kecuali celana dalam. Yuka pikir seperti ini, ”Kalau benda itu mah wajib dipakai. Kalau nggak, bisa masuk angin benaran gue. Basahnya juga nggak seberapa dan yang pasti nggak kena kuah bakso juga. Amit-amit ah ngeri banget kalau sampai aset berharga gue tersiram kuah bakso. Udah panas dan pedas lagi. Bisa hancur  masa depan gue. Hiiii....” Yuka geleng-geleng lalu mendekat kepada Elrangga. “Om ada salep luka bakar nggak?” tanyanya setelah selesai bermonolog. Pertanyaan tadi enggak dihiraukan oleh Om El, tapi pertanyaan kali ini membuat kedua alis Om El bertaut. “Lukanya parah, ya?” Elrangga memperhatikan tubuh Yuka. Matanya membuat Yuka ingin lompat-lomptan saking segarnya. ”Aku baring di sini, ya.” Ditariknya selimut untuk menutupi kaki hingga pinggang. Dinaikkannya baju hingga memamerkan kulit putih yang kemerahan akibat tersiram kuah bakso. ”Kalau aja baju ini gue tarik sedikit lagi ke atas, kira-kira Om El bakalan bereaksi kayak gimana, ya?” pikir gadis itu dengan seringai centilnya. Namun, semua pemikiran itu buyar ketika Elrangga berbicara kepadanya. ”Beneran ngerepotin aja kamu, Ka! Lagian kenapa kamu makan baksonya sambil berdiri sih tadi?” Walau sambil mengomel begitu, Elrangga tetap berusaha menemukan salep yang Yuka butuhkan. Setelah mendapatkannya, pria itu duduk di samping Yuka. Ia membuka penutup salep dan memencet isinya ke telunjuk. ”Dingin.” Elrangga tengah mengoleksan salep ke perut Yuka. Gadis remaja itu enggak merasa sakit. Pengaruh tangan Om El dan kedekatan mereka saat ini rupanya lebih hebat daripada luka bakar. Elrangga nampak serius mengolesi salep di perut Yuka. ”Om El kok ganteng banget sih?” tanyanya tiba-tiba. Yuka menggigit bibirnya karena enggak kuat melihat karya Tuhan paling tampan itu. Apalagi ia mengusap dengan penuh perasaan. Tidak ada jawaban untuk pertanyaan Yuka tadi. Gadis itu berbicara kembali, ”Om.” Sadar bahwa hanya dengan memanggil nama saja Elrangga tidak akan menyahuti, Yuka pun melanjutkan, ”Temen-temen aku udah tahu rasanya ciuman lho.” Tak ada tanggapan. Tidak mengapa, pikir gadis itu, asalkan Om dengar. Dia kembali berkata, ”Mau nggak kasih tahu aku gimana rasanya ciuman?” ”Udah selesai. Nanti kalau hujan sudah reda, balik ke kos cepat.” Si ganteng El menutup perut Yuka dengan kaus tengkorak lalu menaikkan selimut ke batas d**a Yuka. ”OM!” teriak Yuka sebab Om El menulikan telinga. Gadis yang telah putus urat malunya itu menerjang bibir Elrangga dengan bibirnya. Amatir banget. Yah, tapi itu pengalaman pertama yang enggak akan Yuka lupakan sampai mati. Elrangga memberikan pengalaman ciuman pertama untuknya. Akhirnya, Yuka mengetahui rasa ciuman seperti yang teman-temannya ceritakan. Yuka tertawa sambil menggigit sendok saat mengingat momen-momen tersebut. Ia persis Sumiati yang kabur dari Rumah Sakit Jiwa. ”Om El, dimanakah dirimu sekarang?” keluhnya. Gagal gagal gagal! Niatnya ingin mencari pengganti Om El, tapi bertemu lagi. Acara move on Yuka enggak akan pernah terjadi. Dalam tekatnya Yuka berjanji, enggak akan gagal lagi menjadi tulang rusuk Om El. Matanya seketika berbinar. ”Ya ampun, anak baik kayak gue emang selalu untung.” Ia tinggalkan mangkok baksonya yang masih penuh dan berari ke arah Dovan Elrangga alias Om El. Emang jodoh nggak kemana ya. ”Iih Om aku cariin dari tadi lho, kemana aja sih?” Yuka menghadang Elrangga yang berjalan ke kantin dengan membawa pasukan. Satu seorang cewek cantik dan satu lagi Vegas. ”Hay Pak Vegas, boleh gabung sama kalian nggak?” Pria cakep nomor dua setelah Om El tergelak dan memberikan anggukan setuju. Yey! Yuka melingkarkan tangannya di lengan kanan Elrangga. Tapi sayang, Yuka enggak akan seberuntung itu, tangan kiri Elrangga  melepaskan tangannya. Lelaki itu mengibaskan kemejanya seolah bekas tangan Yuka mengandung kuman. Yuka sebal, dulu aja suka banget ditempeli, pikirnya. Sekarang sok jual mahal. Yuka mendengkus. Kaki ia entakkan kuat. Tanpa aba-aba ia mencubit pinggang Elrangga. ”Jangan buat aku begini!” teriaknya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD