Dua

1126 Words
Terdengar suara melengking khas perempuan yang sedang bergosip. Yang satu, bisa dianggap siswi terkenal di sekolah. Aku tak tahu kelebihannya apa, yang jelas saat ini dia tengah berbicara hingga berbuih-buih. Memamerkan pada teman-temannya yang lain bahwa Arga baru saja menyatakan perasaan padanya, Atau dalam bahasa anak kekinian, Arga telah ‘menembaknya’.            Meski aku bukan tipe penggosip, mau tidak mau telingaku juga mendengar suara yang nyaring itu. Dan aku berpikir, apa sih, hebatnya seorang Arga itu? Tidak lebih cuma seorang kaptem tim futsal dengan adab di bawah standar. Hobi mencemooh orang, tak menghormati orang yang lebih tua, dan suka memainkan perasaan perempuan. Selebihnya aku tidak tahu. Aku hanya menyebutkan yang identik padanya. Tidak berdasarkan persepsiku. Mengenai aku tahu dari mana perihal dia suka memainkan perasaan perempuan, itu sudah menjadi rahasia umum. Tidak sedikit perempuan dari kelas lain yang menghampirinya untuk sekadar menamparnya dan meminta putus. Dan Arga itu termasuk salah satu laki-laki yang masuk dalam daftar orang yang wajib aku jauhi. Aku benar-benar tak habis pikir, apa sih, yang membuat perempuan itu terlihat begitu kegirangan hanya karena Arga? Apa dia tidak mengikuti update soal Arga? Atau memang dia hanya mengikuti fetish-nya saja? “Terkena jerat dari pemburu yang sama?” kata Gea. Mungkin dia mendengar desas-desus gosip dari para perempuan yang tengah membicarakan Arga. “Ya, seperti biasanya. Adat para pengagum tampang,” kataku ketus. Gea menoleh ke arah para perempuan itu, sekilas kemudian dia menatapku kembali dengan penuh tawa. Alhasil tawanya itu menyebabkan para perempuan yang ada di meja sebelah lantas membalas dengan sorot mata mengerikan. “Eh, jangan kencang-kencang!” Risih juga kalau menjadi pusat perhatian. “Persetan dengan itu,” kata Gea. Masih dengan sisa-sisa tawanya. “Eh, di kelasmu ada siswa baru?” Aku cuma membalasnya dengan anggukan kepala singkat. Sambil memakan roti yang aku bawa dari rumah. “Sepertinya dia sudah terkenal sejak hari pertamanya masuk ke sini. Dan ada yang bilang kalau dia adalah anak Pak Satjipto.” “Ha?” Aku nyaris tersedak. Darsam adalah anak Pak Satjipto? Aku sedikit tertawa mendengarnya. Ada benarnya juga, sih. Sebab cuma dia yang terlihat begitu takzim dengan beliau. Tapi mana mungkin juga, bahkan tadi sudah jelas kalau Pak Satjipto sampai salah sebut namanya. “Darsam Wicaksana. Dan anak Pak Satjipto bukanlah julukan yang buruk buat dia.” “Maksud kau, Rum?” “Tadi itu ada kelasnya Pak Satjipto. Seperti biasa, kau tahu sendiri gimana Pak Satjipto. Bawa banyak buku, dan ini tadi beliau juga bawah globe. Aku hendak membantunya memindahkan itu, tapi keduluan sama siswa baru itu. Dan dia juga menjawab semua pertanyaan yang dia tujukan padanya dengan santun. Adem banget ngelihatnya. Kalau dibandingkan diriku yang dibilang siswi kesayangan beliau, aku saja masih sering nggak memperhatikan dan menjawab semua perkataannya. Tapi, ini tadi ada suasana yang benar-benar beda.” “Pantes kalau dia disebut-sebut sebagai anaknya.” “Ya, paling tidak, bertambah satu populasi manusia baik di kelas ini.” Gea mengangguk, “Ironis sekali.” Tiba-tiba suasana kantin menjadi senyap. Ada seseorang yang muncul. Dan secara tak sengaja, pandangan kami bertemu. Sepertinya, Gea pun merasakan ada sesuatu hal yang ganjil ketika mendapati seseorang yang baru muncul itu menatapku. Dia menendang betisku. Dan aku memelototinya karena sakit. Di belakangnya, datang seseorang yang menjadi pemicu kegirangan para perempuan di sana. Bedanya, orang itu menatapku dengan senyuman menggelikan. Aku tak membalasnya sekali pun. “Ada alasan si kembar Prima itu melihat ke arahmu?” Ya, pertanyaan yang ditunggu-tunggu. “Nggak tahu juga. Banyak kok yang juga dilihat oleh mereka.” Menyesalkan, mengapa mereka bisa-bisanya melihat dan tersenyum ke arahku. Sesuatu yang paling aku hindari. “Aku duluan, ya, Ge.” Aku pamit. Dan sebelum Gea mencoba menghentikanku, aku sudah keluar dari kantin. Aku sengaja melakukan itu. *** “Arsyad!” terdengar teriakan dari arah kamar pertama di lantai dua. Sebenarnya aku tak ada niat berhenti, tapi entah mengapa aku tiba-tiba malah mematung di depan pintu kamar Arsyad. Si Arsyi juga b*****h, kenapa dia harus berteriak di saat aku belum masuk ke kamarku. “Sudah aku katakan berulang kali, kau tak boleh sekalipun menyapa Arum. Apalagi tersenyum ke arahnya.” Well, dia membawa-bawa namaku. Sepertinya mereka membahas kejadian di kantin siang tadi. “Emang apa salahnya jika aku senyum pada adik aku sendiri?” Lihat, dia mengganti namaku dengan sebutan ‘adik’. “Lagi pula, apa masalahmu dengan Arum? Tak senang melihat dia bisa bergaul? Tak bahagia melihat dia punya teman meski hanya satu?” Astaga, aku tahu kau sedang memberatkan aku, tapi tidak perlu kau mengucapkan kata-kata itu, Arsyad, batinku. “Seorang Arsyi Darmawangsa Prima tak merasa memiliki adik seperti Arum. Yang tak sedikit pun mempunyai ciri-ciri seperti kita semua. Keluarga kita itu orang terpandang. Bapak adalah seorang aktor dan seniman yang diakui karya-karyanya. Ibu adalah musisi dengan jumlah pembelian lagu paling laris di Indonesia. Sedangkan kau adalah Ketua OSIS di sekolah dan anak band, pun aku yang menjadi kapten pada regu pemandu sorak, dan pemain teater paling favorit di sekolah. Sedangkan Arum? Dia tak jadi apa-apa karena beban kaca matanya yang berat itu.” Astaga. Sampai kaca mataku pun dijadikan sebagai objek masalahnya? Bagaimana, ya. Rasanya sakit. Terutama karena kakakku sendiri yang mengatakan itu. Seseorang yang semestinya mendukungku dengan segala kekuranganku. Tapi apa yang dia nilai tentangku, seakan aku bukan bagian dari keluarga ini. “Arsyi! Mau bagaimana pun dia, Arum tetap adik kandungmu. Di dalam tubuhnya mengalir darah yang sama denganmu. Dan kau tak bisa mengelak dari kenyataan itu! Kau adalah keluarganya, sudah tentu kau harus mendukungnya dengan segala keterbatasan. Lagi pula, jangan mengira kau sendiri pun tidak punya kekurangan. Jangan terlalu sering meninggikan kepalamu seolah langit yang terlihat lebih menarik daripada tanah. Ingat, kau tidak bisa meloncat tinggi sebelum kakimu membuat tanjakan pada tanah.” Aku tak habis pikir. Aku memang tidak begitu dekat dengan kakak keduaku—Arsyi. Tapi meski aku tak begitu dekat dengannya, aku cuma ingin masalah yang ada antara aku dengannya cuma sekadar masalah sepele seperti memperebutkan sayap ayam, rebutan boneka, rebutan channel televisi apa yang harus ditonton. Tapi faktanya tidak begitu. Masalahnya jauh lebih rumit, yaitu menyangkut urusan moral. Dalam beberapa serial film yang pernah aku tonton, kebanyakan kakak dan adik perempuan bakal saling akur. Mereka bisa begitu karena disatukan oleh perasaan, persepsi sebagai perempuan, dan sebagainya yang kebanyakan tidak bisa dimengerti oleh laki-laki. Tapi aku ingat, itu hanya ada di serial film, tidak dalam kehidupanku. Arsyi sepertinya tidak mau aku dilahirkan di keluarga ini. Di lingkup sekolah misalnya. Arsyi punya pengaruh yang cukup besar. Karena kebesaran namanya. Dia punya banyak teman. Dan setiap dia menyukai sesuatu, maka teman-temannya akan berusaha menyukai hal yang sama. Sedang dia membenci sesuatu, maka teman-temannya juga akan berusaha ikut membenci. Oleh karena Arsyi begitu membenci diriku, maka orang lain yang ada di dekatnya pun juga turut membenciku. Ironis sekali. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD