bc

Kalau Aku Tidak Terkenal, Memangnya Kenapa?

book_age4+
6
FOLLOW
1K
READ
time-travel
goodgirl
self-improved
student
warrior
popstar
drama
ambitious
highschool
school
like
intro-logo
Blurb

Menceritakan sosok perempuan tanpa bakat yang dikelilingi oleh orang-orang terkenal. Tak hanya teman-teman yang ada di sekolahnya, bahkan orang tuanya pun dipenuhi dengan bakat seni yang luar biasa. Tentu saja ada banyak masalah yang dihadapinya berdasarkan kekurangannya itu. Tapi, apakah dia putus asa? Tentu saja tidak. Arum tidak selemah itu.

"Keluargaku semuanya berbakat, jago main musik, jago akting, mereka terkenal, tapi ada yang janggal, tak satu pun bakat mereka menurun padaku. Tapi bagiku, apa masalahnya dengan semua itu?"

chap-preview
Free preview
Satu
Saat itu, pintu rumah tampak tertutup rapat. Aku bergerak pelan dan mendorong pintu itu perlahan dengan sedikit melakukan gestur mengintip. Keadaanku berantakan, aku tak ingin ada siapapun yang menemukanku dalam kondisi seperti ini. Rambutku yang semula terkuncir rapi, kini tergerai berantakan. Bajuku tampak seperti seseorang yang habis diberikan kejutan ulang tahun, penuh saus. Saat ini aku benar-benar kacau. Sepatuku basah, tak ada pilihan lain selain hanya menentengnya. Ada satu hal yang perlu aku syukuri dari segala kekacauan ini, kaca mataku masih aman. Aku sempat menaruh kaca mataku di kantong sebelum semua kesialan ini terjadi. Aku berjalan perlahan bak pencuri untuk bisa mencapai kamarku di lantai dua dengan selamat. Jika ada derap langkah kaki, dengan cepat aku langsung bersembunyi. Baik sebenarnya itu langkah kaki asisten rumah tangga sekalipun. Baru kali ini, aku merasa bersyukur karena rumahku terdapat struktur pilar di mana-mana, di mana sebelumnya aku cuma protes di dalam hati, kenapa harus pilar, terlalu berlebihan, pilar-pilar itu sering membuatku terantuk pada malam hari saat aku sedang setengah sadar. Pun baru kali ini aku mengutuk karena ada banyak asisten rumah tangga dalam rumah ini. Ya, memang ini bencana bagi mereka yang oportunis sepertiku ini. Setelah berhasil membuat diriku merasa yakin jika keadaan sudah aman, aku langsung bergegas menuju kamarku yang paling ujung. Agak sakit juga memaksa ujung kakiku untuk menopang tubuh bagian atasku. Tapi aku terpaksa harus melakukan itu agar tak ada bunyi suara sedikit pun yang aku timbulkan. Aku dapat memperkirakan kalau hingga besok aku akan mendekam di kamar seharian. Ruang kamar yang lain pintunya masih tertutup rapat, aman. Aku benar-benar gembira. Aku memang benar-benar seperti maling yang hendak melarikan diri tanpa tercegat oleh siapapun. Bodo amat, ini adalah kemenangan seorang maling. Sebab aku akan bingung jika ada seorang yang melihatku dengan kondisi yang kacau seperti ini. Pembualan apa yang akan aku katakan nanti. Aku sudah tak punya alasan untuk panik. Aku sudah di ambang pintu kamarku sendiri. Tetap dengan perlahan, aku membuka kenop pintu kamarku, dan kembali aku tutup rapat-rapat. Saking menggebunya detak jantungku tadi, aku tersungkur ke lantai dengan kepala bersandar pada pintu. Semua bagian tubuhku terasa lengket akibat saus b*****h ini. Lantas aku segera menuju ke kamar mandi yang ada di dalam kamarku untuk menyingkirkan secepatnya kotoran ini. Tapi sebelum aku sampai bisa berjalan ke sana—dengan kondisi yang masih setengah berdiri—pintu kamar mandiku tiba-tiba berdecit. Seseorang tampak dari sana. Seketika aku terkejut. Berdiri mematung seperti terkena sihir es dari Ice Wizard—karakter legendary dari Clash Royale. Mataku tak bisa aku alihkan dari orang yang baru saja muncul itu. Begitu pun dia yang menatapku dengan terkejut. Mungkin dia terkeju karena aku masuk ke kamar tanpa ada suara sedikit pun atau bisa jadi dia terkejut karena melihat penampilanku yang seperti habis cosplay perayaan Halloween. Aku merasa usahaku untuk sampai ke kamar dengan perjuangan setengah mati seakan tidak ada gunanya jika pada akhirnya ketahuan seperti ini. Dengan orang ini lagi! Orang itu berjalan mendekat ke arahku dengan tatapan yang sulit untuk aku bisa tebak. “Arum?” tanyanya. Dia menarik daguku dan seolah sedang mencari kesalahan yang ada pada wajahku. Kemudian sorot matanya turun ke arah bajuku, kemudian tertuju pada sepatuku yang masih di tanganku. “Kau kenapa?” Bisakah kau lihat perbedaan dari struktur kalimatnya? Dia bertanya dengan kalimat ‘Kau kenapa’ bukan ‘Kenapa kau’. Tentu ini sepele untuk aku tegaskan, tapi kesan dalam penggunaan kalimat, biasanya mencerminkan secara tajam seperti apa orang itu. Aku benar-benar seperti orang kikuk. Aku tak bisa menjawab. Seolah Tuhan baru saja menyihir bibirku dengan perekat yang daya tempelnya luar biasa. Aku terpaksa memutar otak untuk mencari alibi yang masuk akal. Dan aku mengantisipasi agar tak ada emosi sedikit pun. Orang yang tengah ada di depanku ini sangat sensitif bila menyangkut orang yang dia sayangi. Sementara aku bisa dibilang sebagai salah satu manusia yang beruntung karena memilikinya. Tapi untuk saat ini, aku katakan tidak. “Eh, jatuh ini tadi,” kataku. Alasanku tak bisa dianggap salah, tapi yang salah adalah cengengesanku setelah mengucapkannya. “Hingga berlumuran saus? Ada festival untuk memperingati hari bakso sedunia kah?” Sial! Nada dinginnya itu terkesan tidak percaya. Ya, siapa juga yang bakal percaya dengan aktingku yang kelewat buruk ini. Belum sempat aku menjawab, dia sudah bilang, “Arum, aku tahu kalau ini ulah teman sekolahmu lagi, kan? Bilang siapa saja anak itu. Kenapa kau diam saja diintimidasi seperti ini?” katanya. Ayolah, tak ada yang jauh lebih buruk dari tatapanmu itu. Menurutku, ini tak begitu buruk. Aku bahkan pernah menimpa kejadian yang lebih buruk dari ini. “Tidak. Ini kesalahanku sendiri. Udah, ya. Aku mau mandi dulu. Sudah lengket banget ini.” Mungkin terlihat sekali kalau aku berusaha keras buat mengelak. Jadi aku memutuskan untuk melewatinya dan melengos ke kamar mandi. “Arum…” Aku menghentikan langkahku sejenak. Tapi aku merasa tak perlu untuk memalingkan wajah. Aku tahu, dia hendak menasehatiku. “Aku cuma mau bilang, kau sekali-sekali harus bersikap keras pada mereka. Jangan mau untuk selalu ditindas. Tiap pulang dari sekolah, kau selalu kacau. Yang bajumu berlumuran lumpur lah, saus lah, yang buku-bukumu penuh coretan nggak jelas, kadang juga sampai robek, kadang pulang jalan kaki gara-gara nggak punya uang, dan masih banyak hal lain yang tak sepatutnya kau terima. Lagi pula,kenapa kau tak ngaku saja sama mereka kalau kau itu anak ibu sama bapak?” “Mereka juga tahu kali kalau aku anak ibu sama bapak. Masa iya aku anak makhluk lain.” “Bukan seperti itu yang aku maksud, Arum. Maksudku itu, jelasin aja kalau kau itu anak pemain…” Sebelum dia melanjutkan kalimatnya, aku menyergah, “Nggak perlu! Aku nggak perlu bilang pada mereka kalau aku anak Deri Prima dan Ariana Prima. Kenapa? Kenapa kau sama sekali nggak ngerti maksudku? Aku nggak punya secuil pun bakat yang diturunkan dari mereka. Toh seandainya aku bilang pun pada mereka, bisa aku pastikan mereka nggak akan percaya. Dan itu justru akan membuat aku lebih sakit lagi. Bahkan lebih menderita lagi. Apa bedanya dengan anggapanku kalau aku adalah anak makhluk lain?” Entahlah, aku sedikit keras mengatakannya. “Aku percaya,” katanya dengan penuh mantap. “Yang jadi masalah…” Aku merasa agak ragu meneruskan kalimatku. “Aku sendiri yang nggak percaya!” Kemudian dengan langkah yang sebal, aku meneruskan niatku untuk mandi. Tak sedikit aku pungkiri, bahwa aku merasa bersalah sudah berbicara dengan nada keras tadi kepada kakakku. *** Besoknya, aku kembali ke rutinitas seperti biasa. Sekolah dan mengumpat. Apa yang aku umpatkan? Tentu saja kesialan-kesialan yang sudah jelas. Pagi itu aku duduk di bangku paling depan. Dan mungkin sudah menjadi tabiat para siswa di Indonesia ‘masa kini’ kali, ya. Bahwa ada pengucilan tanpa sebab terhadap bangku paling depan. Banyak siswa memberikan label sendiri bahwa barang siapa yang duduk di bangku paling depan, tak akan tenang hatinya saat pelajaran. Tapi itu tidak berlaku bagiku. Aku bukan siswi yang punya mental tipis seperti itu. Lagi pula, aku merasa lebih baik jika duduk di bangku depan. Aku jadi terbebas dari para siswi berandal dan aku bisa lebih fokus untuk belajar. Kau mungkin bertanya-tanya, apakah aku duduk sendirian? Jawabannya sudah jelas. Aku selalu duduk sendirian. Di sisi lain, jumlah siswa di kelasku memang ganjil, ya sudah, ini nasibku. Dan aku adalah satu-satunya siswi di kelas yang mengumpulkan tugas personal di saat semestinya  itu adalah tugas berkelompok. Tapi, aku bisa apa? Tak ada yang ingin duduk bersamaku. Kecuali saat pelajaran matematika, ada Gea di sana. Di satu-satunya orang yang bisa kuanggap sebagai temanku. Bel masuk sebentar lagi berbunyi. Kondisi kelas masih sangat ramai. Para siswi sedang sibuk bergosip, sedang para siswa sibuk dengan telepon genggamnya masing-masing, biasanya sih, main game. Aku hanya duduk diam sambil membaca buku yang sudah aku letakkan di atas meja. Pemandangan yang kontras jika dibandingkan siswa-siswi yang lain. “Tak ada orang?” Sebuah suara yang muncul dari mulut laki-laki yang tampak asing buatku. Aku sedikit terkesiap dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Aku cuma bisa mengangguk, dan dia langsung menempati bangku itu. Dia duduk dan terlihat seperti mengamati kondisi kelas. Apa yang sedang dia pikirkan, aku tak mengerti. Dia tampak asing bagiku. Pintu kelas berdecit, seseorang membukanya dari luar. Terlihat Pak Satjipto tengah kewalahan membawa buku-buku tebal dan sebuah globe yang tak begitu besar. “Ada yang bisa bantu saya?” katanya. Aku hendak beranjak dari tempat, tapi sayangnya usahaku didahului oleh laki-laki yang duduk di sebelahku tadi. Dia dengan cekatan mengambil alih globe yang ada di tangan Pak Satjipto dan memindahkannya di meja guru. Perlu aku kasih tahu padamu. Kejadian seperti ini jarang terjadi. Bahkan mungkin tak pernah. Hanya aku yang biasanya membantu Pak Satjipto ketika dia sedang kewalahan seperti tadi. Beliau adalah guru yang kerap menjadi bahan tertawaan para siswa. Padahal menurut pandangan pribadiku, beliau adalah guru yang paling totalitas. Cermati saja dari apa yang dia bawa. Terlepas dari metode pengajarannya seperti apa, tapi dari segi kepribadian, beliau sangat tangkas. Beliau bisa saja memanggilku ke ruang guru untuk membantunya membawa peralatan mengajarnya itu, daripada harus repot-repot membawanya sendiri ke kelas. Tapi beliau memilih tak melakukan itu. Mungkin ini sepele, atau suatu tabiat yang aku besar-besarkan. Tapi satu hal yang harus kita refleksikan, bahwa banyak guru yang tak mau repot seperti Pak Satjipto ini. “Terima kasih…” Dilihat dari alis Pak Satjipto yang mengerut, tampaknya bukan aku sendiri yang terasa asing dengan laki-laki itu. “Darsam Wicaksana, Pak,” ucap laki-laki itu sambil mengulurkan tangannya. Dia terlihat takzim menyingkapi sosok guru yang ada di depannya. Ini pemandangan bersejarah. Bersejarah karena Pak Satjipto yang selama ini kerap menjadi bahan tertawaan para siswa, kali ini aku takjub sebab ada sosok baru yang mampu menghormati guru seperti itu. Aku sepertinya harus merekam kejadian ini dan memberitahukan pada Gea nanti saat istirahat. “Terima kasih, Daras,” kata Pak Satjipto dengan suara gugupnya yang khas. Laki-laki yang bernama Darsam yang kini berdiri di depannya pun terlihat tak ingin mengoreksi pengucapan nama yang salah oleh Pak Satjipto. Dia hanya mengangguk dan tersenyum takzim. Tapi mungkin bagi siswa yang lain, kesalahan itu adalah sesuatu yang perlu dipersoalkan secara masif. “Darsam, Bapak. Bukan Daras!” terdengar celetuk dari arah belakang. Aku tak perlu menoleh untuk mengetahui sumber suara melengking itu. Pasti Arga orangnya. Dia adalah seseorang yang terkenal tengil di kelas. Mungkin karena dia merasa punya otoritas di sekolah sebab dia menjadi kapten tim futsal untuk itu dia berlagak seperti itu. Atau bisa karena alasan lain, mungkin naluri. Kalimat cemooh itu berubah menjadi gelak tawa yang mengerikan. Aku melihat Pak Satjipto lagi. Terlihat sekilas dia gugup. Mencoba meraih spidol dan hendak menulis di papan tulis. Namun spidol yang dia apit dengan jemarinya terjatuh ke lantai. Gelak tawa kembali menyergap. “Bagaimana guru-guru SMP kalian sebelumnya berani meluluskan kalian dengan kondisi seperti ini?” Sebuah sarkas yang sangat dingin itu mampu membuat seisi ruangan menjadi senyap. Aku tak menyangka, ternyata sosok Darsama itu yang melakukanya. Setelah jeda keheningan yang canggung itu, kelas kembali dimulai. Terdengar gumaman dari arah belakang. Aku sempat melirik sekilas, sebagian besar seperti sedang membicarakan Darsam.            “Kenapa lirik-lirik?” teguran cepat dari Darsam ketika berhasil memergokiku.            Entahlah, padahal aku sangat berhati-hati melakukannya. Tapi mengapa dia sampai bisa tahu kalau aku sedang melirik ke arahnya? Benar-benar sakti anak ini, pikirku.            “Aku…”            “Sudah tahu. Arum, kan?”            Hah? Tahu dari mana dia soal namaku? Perasaan baru saja aku hendak memperkenalkan namaku.            “Sudah kenal namaku juga, kan? Pastinya. Bahkan mereka pun tahu tanpa aku harus repot-repot memperkenalkan diri pada mereka,” katanya, tetap dengan nada datarnya yang khas. “Sudah. Fokus saja ke pelajaran. Modal melihatku saja, itu tak bisa membuatmu masuk ke UI,” lanjutnya. Entah kenapa, ringan sekali dia mengucapkan itu. Tapi aku terasa tertampar. Masalahnya, kenapa dia bisa tahu target kampus tujuanku setelah ini?      Akhirnya, aku memutuskan untuk membuang muka dan memilih untuk memperhatikan Pak Satjipto yang tengah menujukkan beberapa titik lokasi terjadinya awal mula manusia zaman dahulu mulai mendomestikasi gandum, jagung, dan sebagainya. Awal dari Revolusi Pertanian. Di sisi lain, kesan pertamaku pada Darsam, mengganggu konsentrasi belajar. Ya, Darsam, dia sosok yang menarik dan sedikit menyeramkan.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.6K
bc

Head Over Heels

read
15.9K
bc

DENTA

read
17.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.5K
bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
284.8K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.0K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook