Part 3

2363 Words
Dira, Rana, Kayla, dan Aya sudah duduk di depan meja makan dengan rapi. Terlihat Livia sibuk menata makan di atas meja makan ini bersama Isty dan mbok Lastri. Sebenarnya Dira sudah gatal ingin membantu mereka bertiga tapi lagi-lagi Isty melarang Dira membantu mereka jadi Dira hanya diam memandangi kegiatan tante dan kakak iparnya ini. "Tan, biar—" "Tante bilang kamu duduk aja, Dira sayang. Kamu kan udah cape hari ini habis keliling-keliling Jakarta?" ujar Isty. "Tapi—" Buru-buru Kayla menarik tangan Dira. "Udah, Mbak Dira duduk aja. Nanti Mami ngamuk tau rasa loh!" Terdengar suara bell rumah yang berdering. Buru-buru Dira bangkit dari kursi makan yang ia duduki hanya untuk melihat siapakah yang datang. Saat ia membuka pintu. "Mas Joe? Mas Daru?" Dira nampak tak berkedip memandangi sosok Joe dan Daru yang berdiri di depan Dira saat ini. mungkin melihat Joe adalah hal yang wajar tapi melihat sosok Daru yang datang membuat Dira kaget bukan kepalang. "Hai Dir," sapa Joe ramah, "Ada kamu toh di rumah." "Ha...hai Mas Joe." Dira nampak salah tingkah, "Ayo masuk Mas, Tante sama Mbak Via lagi siap-siap buat makan malam." Tanpa aba-aba Joe langsung meninggalkan Dira dan Daru berdua. Daru hanya mengacak-ngacak rambut hitamnya yang sudah berantakan sementara Dira hanya diam sembari melirik sesekali kearah Daru yang seolah-olah sangat cangung dengannya. "Mas, nggak mau masuk?" tawar Dira. "A-a-a-aku pulang aja," sahut Daru gelagapan. "Ini kan—" "AYAH!" teriak suara anak kecil membuat Dira dan Daru sama-sama tersentak. Sosok Rana berlari kearah Dira dan Daru, tanpa aba-aba tubuh kecil Rana langsung berlari berhambur kearah Daru. "Halo, anak Ayah." Daru mengedong tubuh mungil Rana yang mulai terasa berat ini. sepertinya karena pertumbuhan Rana yang baik makanya, ia sekarang semakin berat. "Ayah, Lana kangen tahu sama Ayah!" rengek Rana sembari memeluk Daru erat, "Ayah kok hali minggu kemalin kita nggak jalan-jalan si?" "Maaf ya, anak Ayah yang cantik ini," ujar Daru, "Ayah kemarin harus ke rumah sakit." "Ayah ke lumah sakit? Ayah lagi cakit? Ayah cakit apa?" tanya Rana heran. Dengan gemas Daru menjawil pipi Rana yang chubby ini. "Ayah kan dokter. Rana lupa ya?" Rana menepuk keningnya. "Aduh, iya Ayah kan doktel ya? Aku lupa he-eh." "Anak Ayah pelupa ni ya?" Daru mulai mengelitik pinggang Rana. "Sini Ayah kitikin dulu biar Rana nggak lupa." Mendapat serangan kelitikan dari Daru, tawa Rana pun menggema di ruangan ini. lesung pipit andalan Rana itu mulai menghiasi pipi chubby itu, rona merah muda juga semakin terlihat di pipi Rana semakin membuat gadis kecil ini ini semakin mengemaskan. Dira hanya membisu memandangi keakraban antara Rana dan Daru, sungguh miris hati Dira melihat mereka benar-benar terlihat seperti pasangan anak dan ayah yang ideal. Padahal, Daru dan Rana tidak memilik hubungan darah sama sekali. Dan... lesung pipit yang selalu menghiasi pipi Rana seolah-olah membuat hatinya semakin sakit. Kenapa Rana harus mewarisi sebagian diri Raka? Bagimana caranya kalau Dira terus hidup di dalam bayang-bayang Raka kalau setiap melihat Rana ia teringat dengan Raka? "Udah Ayah, geli!" pelik Rana. Daru pun menghentikan aksinya ini. dikecup puncak kepala Rana dengan tulus lalu ia menurunkan gadis kecil ini dari gendonganya. Rana terlihat cukup bahagia bertemu dengan Daru hari ini. "Oke oke. Hukuman dari Ayah belum selesai ya," ledek Daru, "Ayah ngambek ah sama Rana. Pokoknya Ayah nggak mau beliin Rana permen kapas lagi hu." "Ayah," ujar Rana memelas. "Maafin Lana, Yah." Daru mengacak-ngacak poni yang menghiasi kening Rana. "Ayah bercanda, sayang. Udah kamu masuk gih makan dulu. Besok ayah bawain permen kapas kesukaan Rana deh." "Ayah nggak mau makan sama Lana?" tanya Rana nampak heran. Daru tersenyum. "Kamu makan duluan aja ya. Ayah mau ngomong dulu sama Bunda." Mendengar perkataan Daru, Rana memilih untuk meninggal Dira dan Daru berdua. Kini keduanya sama-sama terdiam satu sama lain, hanya pandangan dan lirikan mata yang seolah-olah bertanya apa yang akan terjadi setelah ini di lemparkan oleh mereka berdua. "Aku mau ngomong sama kamu, Dir." akhirnya Daru mulai membuka suaranya setelah terlalu lama hanyut dalam kebisuan. "Kamu mau ngomong apa sama aku, Mas?" Dira menyitkan alisnya yang tembal itu. "Soal—" "Mas, please..." potong Dira, "Jangan melarang-larang aku untuk kembali bekerja lagi. Aku nggak mau ngerepotin orang hanya berpangku tangan tanpa berusaha padahal aku masih mampu untuk kerja." "Aku bukan mau ikut campur urusan kamu." Daru menatap Dira penuh harap, "Aku cuman mau kasih saran sama kamu. Jujur, aku itu kepengen Rana nggak kehilangan kasih sayang dari kamu sebagai ibunya. Itu aja. Dia terlalu kecil untuk hidup jauh dari kamu." Daru tak ingin Rana seperti dirinya dulu, merasakan kehausan akan kasih sayang ibunya hanya karena ibunya sibuk membangun bisnisnya sejak ia di tinggalkan ayahnya. Rana terlalu kecil untuk merasakan itu semua. "Aku janji nggak akan menelantarkan Rana." Dira memutar bola matanya, "Untukku, Rana adalah segalanya. Dia adalah prioritasku yang pertama." "Dira." tiba-tiba Daru menarik tangan Dira, "Aku mohon, kamu berhenti keras kepalanya. Kamu butuh apa si sampai-sampai kamu kekeh untuk kerja? Shopping? Rumah? Apartermen? Mobil? Atau uang tambahan sekali pun aku akan kasih aku—" "Kamu itu bukan siapa-siapa aku." Dira menepis tangan Daru, "Dan jangan pernah mengasihani aku karena aku hanya seorang single parent." "Aku nggak—" "Stop!" bentak Dira, "Aku nggak mau kita selalu ribut hanya karena masalah ini, Mas. Aku hargai bantuan kamu untuk aku sejak aku hamil sampai melahirkan Rana ke dunia ini. Tapi, aku nggak mau berhutang lebih banyak lagi sama kamu, Mas. aku ingin membesarkan Rana dengan usahaku sendiri. Kamu terlalu banyak berkoban untuk aku dan Rana." "Aku tulus melakukan ini, Dir. Bukan karena apapun!" tegas Daru. Aku rela melakukan semuanya hanya karena aku mencintaimu. Bukan karena aku kasihan atau apa lah. Tapi... semua karena cintaku denganmu yang terlalu besar hingga aku selalu kehilangan akal sehatku sendiri, batin Daru. "Aku hargai itu." Dira tersenyum tulus, "Tapi, aku tak bisa menerima yang lebih dari bantuan yang Mas berikan sama aku. walau sekali pun kamu itu, sahabat terbaikku Mas. you're my best man ever, Handaru. But i can't. Thanks for everyting you do for me... and Rana." Apa? sahabat? Best man ever? Apa kamu tak bisa menganggapku lebih dari seorang sahabat? Nadira, sampai kapan aku harus memujamu diam-diam seperti ini? Jerit Daru. "Dira," panggil Daru. "Kamu pulang-lah," ucap Dira datar, "Kasihan Ibu kamu pasti sibuk nungguin kamu demi makan malam bersamamu." ##### Oktober 2001 Tawa riang Dira mengema di atas rumah pohon yang sejuk ini. Sejak tadi, Raka terus mengelitik pinggang Dira hanya karena Dira meledek Raka nampak aneh dengan seragam putih birunya yang kebesaran. "Aduh, udah Kak Raka geli!" pelik Dira. "Nggak aku nggak mau berhenti!" tegas Raka, "Enak aja ngatain aku jelek!" "Makanya badanya jangan kekurusan!" sindir Dira, "Liat tuh, pake celana aja kedodoran kaya Jojon aja." "Nadira!" teriak Raka kesal, "Kamu kenapa si dari dulu nyebelin banget?" Raka yang mulai duduk di bangku kelas delapan SMP ini merasa kesal dengan sikap Dira yang sering memperolokknya, memang tubuh Raka kecil bahkan ia lebih kurus dari anak sebayanya. Tapi ia tidak menyaka Ibunya tega memberikan celana yang kebersaran pingganya membuatnya semakin nampak aneh. Dira menjulurkan lidahnya. "Kamu lebih nyebelin Kak!" Sejenak susana hening. Wajah Dira dan Raka saling berdekatan satu sama lain, desah napas Raka terasa menyapu di wajah Dira ini membuat Dira menjadi salah tingkah. dan lagi-lagi seperti kebiasaanya sejak dulu mengigit bibirnya demi menghindari rasa gugupnya itu. "Besok aku kecilin ah celanaku ke tukang jahit, biar aku nggak kaya Jojon lagi," ujar Raka memecahkan keheningan di antara mereka berdua. "Bagus!" tegas Dira. Dira buru-buru menjauhkan tubuh Raka yang menghimpitnya. Rasanya jantung Dira kali ini berdetak melebih batas normal. Apa Dira sakit? Apa Dira memilik kelainan Jantung? "Nad," panggil Raka. "Apa Kak?" sahut Dira. "Aku nanya sama kamu boleh?" Dira mengangguk khidmat. "Boleh, kakak mau nanya apa?" "Kalau kamu udah besar, kamu mau jadi apa?" "Dokter!" tegas Dira lantang, "Aku mau jadi Dokter. Kalau nggak bisa jadi Dokter ya aku mau jadi istri Dokter aja deh." "Kenapa harus Dokter?" Raka nampak tak suka mendengar penuturan Dira. "Dokter itu keren." Kedua mata cokelat milik Dira nampak berbinar, "Dokter itu pekerjaan mulia yang ada di dunia ini." "Kenapa kamu nggak mau jadi seniman?" tanya Raka hati-hati, "Seniman juga pekerjaan mulia. Coba kamu liat, kalau nggak ada seniman orang-orang nggak akan pernah punya hiburan untuk kehidupan mereka yang suntuk ini." Dira mengeleng. "Aku nggak mau! Sekali pun Eyang itu seorang perancang busana kelas dunia aku nggak mau kaya Eyang. Apa si hebatnya jadi seniman, perancang busana atau pemusik? Biasa aja. Cuman menghibur orang doang itu nothing, kerenan juga jadi dokter nolong orang, merawat orang, pakai Snelli. Itu keren!" Mendengar ucap Dira seolah-olah Raka sedang di berikan sebuah tamparan hebat. Menjadi seorang musisi itu adalah impian Raka sejak kecil dan Raka sangat membenci dokter karena menurut Raka dokter itu sosok orang jahat karena membuatnya sakit saat di suntik. "Padahal aku kepengen kita sama-sama jadi seniman," ucap Raka spontan. Kedua mata Dira nampak terbelanga. "Apa? jadi seniman? Nggak mau! Aku maunya kita berdua jadi Dokter." ##### Daru memarkir mobil Nissan March abu-abunya tepat digarasi rumahnya. Terlihat sebuah motor besar dan mobil BMW hitam yang mengkilat sudah terpakir rapi di sana, pasti ibunya sudah pulang dari kantor dan akan menyeramahi Daru karena Daru pulang terlambat. Setelah mematikan mesin mobilnya itu, Daru memilih keluar dari pada berlama-lama di dalam mobil. Kalau ia masih berlama-lama di dalam mobil pasti dalam hitungan beberapa detik lagi ponselnya akan kembali berdering keras. Dengan langkah ogah-ogah akhirnya Daru memutuskan masuk kedalam rumah mewah ini. di bandingkan dengan rumah milik om Reno, rumah mewah dengan gaya ala Victoria ini yang akan menjadi pemenangnya. Ya, siapa lagi kalau buka karena kesuksesan bisnis milik ibunya yang di bangun dari nol, mungkin kalau bukan karena itu rumah semewa ini tidak akan pernah ada. Berbicara tentang keluarga Daru, Ibu Daru sendiri –Frida- membesarkan Daru dan adik laki-laki satu-satunya Dwiki dengan perjuanga keras. Jarak usia Dwiki dan Daru sekitar lima tahun. Diusia Daru yang masih berumur empat tahun, ayah Daru meninggalkan ibu Daru yang masih mengandung Dwiki saat itu hanya karena judi. Sejak itulah, Daru hidup tanpa kasih sayang seorag ayah. Menyedihkan memang. Dan inilah yang buat Daru terketuk hatinya hanya karena melihat Rana yang lahir tanpa ayah. Mungkin Daru masih beruntung pernah merasakan sedikit kasih sayang seorang ayah, tapi Rana? Tidak, gadis kecil itu... benar-benar memilik takdir lebih buruk dari pada takdirnya sendiri. "Mas Daru, kok tumben baru pulang?" tanya suara pria saat Daru membuka pintu rumah. Sosok pria yang sama-sama jangkung seperti Daru ini sudah berdiri di ambang pintu, ia memberikan senyuman hangat demi menyambut Daru. "Eh, Wiki. Tadi... biasa-lah," jawab Daru. "Ketemu sama Mbak Dira lagi?" Dwiki mengakat alisnya. "Sstttt!" Daru langsung mendekap mulut Dwiki dengan tanganya, "Jangan gede-gede kek ngomongnya. Bisa habis gue kalau Ibu tau gue ketemu sama Dira lagi." "Mas lepasin wei! Aduh... aduh... Mas Daru!" racau Dwiki. "Gue akan lepasin asal lo nggak ember sama Ibu, Wik!" acam Daru, "Jangan salahkan gue, kalau gue akan nyuru Riana nggak boleh ketemu sama kamu lagi!" Masalah hubungan Daru dan Dira, ibu Daru adalah orang yang paling menentang hubungan mereka. Memang Dira tidak pernah membuka dirinya sebagai keponakan dari seorang dokter yang cukup terkenal sekelas Reno Wicaksono atau pun cucu dari seorang desainer kelas dunia seperti Hartini Saraswati, Dira hanya memperkenalkan dirinya sebagai dirinyanya sendiri tanpa embel-embel keluarganya dan... ia memperkenalan dirinya sebagai single parent dengan pekerjaan sebagai pelayan restoran cepat saji. Tentu sajalah, ibu Daru menentang hubungan Daru dengan Dira walau sikap, perlaku juga paras cantik milik Dira yang melebih wanita-wanita yang pernah singgah di hati Daru status dan pekerjaan Dira bagaikan bumi dan langit dengan Daru. "Iya... iya... gue nggak akan ember sama ibu masalah lo ketemu sama Mbak Dira," kata Dwiki nampak menyerah, "Aceman lo itu biasaan aja!" Daru melepaskan dekapan tanganya dari mulut Dwiki. Ia tersenyum puas melihat adiknya ini menyerah dengan acaman Dwiki. "Daru? Udah pulang toh, leh?" tanya suara seorang wanita. Buru-buru Dwiki mengeser posisinya demi tidak menghalangi wajah Daru. Sosok wanita yang terlihat berumur lebih dari setengah abad itu berjalan mendekati kedua pria tampan ini, ia masih tetap saja terlihat cantik walau usianya tak muda lagi. Rambunya yang mulai memilikI dua warna tersebut tak bisa menutupi kecantikan milik wanita ini. "Iya, Bu."sahut Daru. Ia langsung mencium punggung tangan wanita ini, "Maaf ya, tadi Daru ada jadwal visited malam." Rasanya lebih baik berbohong lagi dengan ibu, kalau ibu tahu Daru habis bertemu dengan Dira bisa-bisa ia akan mengoceh dengan kecepatan melebih pesawat Jet yang akan lepas landas. "Nggak apa, toh leh." Frida tersenyum hangat dengan Daru, "Ibu juga baru pulang." Frida nampak tersenyum melihat sikap Daru. Tak sia-sia ia berkerja siang malam hanya demi membesarkan kedua putranya ini. "Maaf ya, Bu." ulang Daru, "Tadi, Daru juga lupa kabarin Ibu kalau Daru pulang telat." "Ibu ngerti kamu sibuk, leh." Frida dengan lihai membelai pipi tirus Daru, "Kamu itu Dokter pasti kamu banyak kerjaan." "Ibu, Wiki laper ni!" ujar Dwiki tiba-tiba. "Ayo makan, Wiki laper!" "Hush!" desis Frida, "Kamu itu toh jangan teriak-teriak lah, leh!" "Aku pulang kerja cape-cape ngajar dari kampus sampe rumah gak ada makanan karena gak ada yang masakin dari tadi ni." "Kalau ada yang mau ada yanng masakin, makanya punya Istri sana!" sindir Daru. "Sadar diri aja dulu kali," balas Dwiki sinis, "Udah kepala tiga belum punya teman hidup!" "DWIKI!" desis Daru. Dengan cepat Daru memiting adiknya ini lalu mengacak-ngacak rambut hitam milik Dwiki yang sudah tertata rapi ini. "MAS DARU LEPASIN! SAKIT WEI MAS!" teriak Dwiki, "Ibu, tolongin Wiki Bu!" Frida hanya tersenyum melihat tingak kedua putranya ini. Usia mereka memang bukan remaja apalagi anak-anak tetapi sikap mereka mengatakan mereka masih mirip dengan seorang remaja yang labil daripada seorang pria dewasa. "Daru, udah Leh, lepasin adik kamu!" Perintah Frida. Daru langsung melepaskan pitingannya dari adiknya itu. "Dasar tukang ngadu lo!" "Biarin!" ujar Dwiki ketus, "Lagian lo duluan yang mulai!" Daru mengabaikan perkataan Dwiki dan ia memilih untuk meninggalkan Dwiki dan ibunya dan naik menuju kamarnya. Rasa lapar yang menguasainya tadi tiba-tiba menghilang saat ia melihat sikap Dwiki yang menyebalkan. Bagaimana caranya aku meyakinkan ibu tentang Dira? Dira itu wanita baik-baik. Dan bagimana aku menakhlukan manusia kepala batu seperti Dira yang susah sekali diatur? Daru hanya mampu hanyut dalam pikirannya sendiri. Rasanya, selama tiga puluh satu tahun hidupnya, ia tak pernah merasakan sesuatu serumit ini. menyakinkan ibunya dan menahlukan hati seorang wanita berkepala batu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD