Part 4

1585 Words
Lebih dari dua bulan Dira berkerja sebagai asisten seorang perancang busana sekelas Eliana Thalisa. Butik gaun pengantin ini benar-benar semakin terasa ramai dan berwarna semenjak kehadiran sosok Dira yang hangat dan ceria. Melihat sikap Dira yang mampu merubah susana butik yang awalnya sunyi kini terlihat semakin hidup membuat Eliana puas dengan pilihanya. Di kala waktu makan siang tiba, Eliana sering memergoki Dira masih asik dengan alat-alat sketsanya hanya demi mengejar waktu pesanan gaun pengantin di butik Eliana yang tidak pernah sepi pesanan ini. Eliana begitu takjub dengan sikap Dira yang pekerja keras. "Nad, ayo makan siang!" perintah Eliana saat ia menghampiri meja kerja Dira. "Ah, nanti aja El. Aku masih kenyang tadi udah sarapan." tolak Dira. "Kamu jangan sampai telat makan nanti sakit loh," ujar Eliana, "Kamu kan—" "Tanggung, gambarku belum selesai." potong Dira. Eliana melirik sekilas meja kerja milik Dira yang berantakan. Tumpukan kertas, alat-alat tulis, pensil warna, dan spidol warna berhamburan di meja Dira. Kedua mata hitam Eliana tiba-tiba berhenti di depan sebuah foto yang mengambarkan sosok Dira sedang mengedong seorang gadis kecil yang terlihat sangat manis. Sekilas keduanya sangat mirip bagaikan pinang di belah dua. Rambut hitam lurus, kulit putih, pipi chubby, dan rona merah muda milik gadis kecil ini sekilas mirip dengan Dira. Yang membedakan Dira dengan gadis kecil ini hanya lesung pipit yang ada di pipi gadis kecil ini. Tapi, entah kenapa saat Eliana melihat sekilas lagi senyuman juga lesung pipit milik gadis kecil ini seperti ia pernah melihatnya tapi dimana? "Ini foto sama siapa, Nad?" Eliana tanpa permisi langsung mengambil sebuah pigura foto ukuran 4R yang tergeletak di meja Dira. "Itu—" "Keponakan kamu?" sela Eliana. Dira tersenyum, memang semua orang tak akan percaya kalau Dira mengatakan Rana itu anaknya secara teknis, umur Dira terlalu muda untuk memilik anak usia empat tahun. Atau mungkin orang menyaka ia sudah menikah muda? Tidak, di era modern ini tak mungkin lagi orang menyaka Dira sudah menikah muda. "Anak saya, Mbak," ujar Dira acuh. Anaknya? Jadi dia sudah menikah? Menikah... muda gitu? Batin Eliana. "Kamu udah, nikah?" tanya Eliana seolah tak percaya. "Udah," ujar Dira bohong, "Tapi... Suami saya udah meninggal sebelum anak saya lahir, Mbak." Apa? menikah? Persetan dengan ucapan itu. Tidak, aku tidak pernah menikah dengan siapa pun. Aku tak butuh pria karena aku bisa sendiri tanpa bantuan makluk yang namanya pria itu, batin Dira. "Maaf ya, Nad." Eliana menepuk pundak Dira lembut, "Aku nggak tahu masalah itu." Kebisuan menghampiri kedua wanita cantik ini. Dira kembali sibuk dengan gambar sketsa yang baru setengah jadi, sementara Eliana hanya mematung melihat kegiatan yang sedang Dira lakukan. "Nadira?" suara tenor khas seorang pria membuat kedua wanita cantik ini sama-sama mendongak dan mencari sumber suara yang ada. "Fadhil!" seru Dira spontan. Pria jangkung dengan rambut cokelat tua yang berantak itu langsung membuka tanganya sangat lebar seolah-olah sedang mengajak Dira untuk bangkit menghampirinya. Walau nampak ragu-ragu akhirnya Dira bangkit dari tempat duduknya dan berhambur kearah Fadhil. Pelukan erat sebagai tanda seorang sahabat tergambarkan dari keduanya. Entah sudah berapa lama Dira tidak pernah bertemu dengan sahabat baiknya ini. sahabat yang membuatnya... harus merasakan kelamnya malam itu. "Dhil!" Dira masih memeluk Fadhil erat. "Apa kabar?" Fadhil melepaskan pelukan mereka berdua, "Hampir lima tahun gue nggak pernah ketemu sama lo, kok lo tambah cantik si Nad?" Dira langsung mencubit pinggan Fadhil gemas. "Dan setelah hampir lima tahun gue nggak pernah ketemu sama lo, lo makin jadi tukang modus aja ya, Dhil?" "Yeh! Enak aja tukang modus!" Fadhil mengacak-ngacak rambut hitam Dira yang sengaja di gerai, "Gue mah gak pernah modus kali gue mah jujur apa adanya! Tapi serius deh, lo makin cantik Nadira gue aja pangling liat lo sekarang." Dira meninju lengan kokoh Fadhil. "Tuh kan, tukang gombalnya juga makin jadi aja lo!" "Dira?" lagi-lagi sebuah suara membuat Dira terkejut. "Zafrina?" kini Dira mulai beralih kepada wanita tinggi seperti seorang top model yang ada di hadapnya ini. Pelukan hangat serta cipika-cipiki ala seorang sahabat lama yang sudah bertahun-tahun tidak pernah bertemu, ya memang hampir lima tahun Dira dan Zafrina juga Fadhil tidak pernah bertatap muka kembali. Dira, Fadhil dan Zafrina ketiga orang sahabat ini sudah hampir tujuh tahun bersahabat. Kisah persahabat mereka bertiga di mulai dari masa ospek mahasiswa baru. Dira dan Zafrina si mahasiswa kedokteran yang sudah bersahabat sejak SMA sedangkan Fadhil si mahasiswa ekonomi. Perbedaan tak membuat Dira dan Zafrina tidak nyaman dengan Fadhil, justru mereka begitu banyak belajar satu sama lain. "Udah lebih dari lima tahun saat lo hilang di telan bumi." Zafrina memandangi Dira takjub, "Lo makin cantik aja, Nad." "Hmm... sama aja ya lo berdua. tukang modus!" gerutu Dira. Melihat keakraban antara Dira dengan dua orang aneh ini, Eliana mulai merasa tak nyaman dengan keadaan. Terbersit rasa untuk menginggalkan mereka bertiga karena ia merasa seperti obat nyamuk di tengah-tegah mereka bertiga. "Nad, aku mau—" "Mbak El, kenal ini ini temen lamaku." potong Dira sesaat sebelum Eliana ingin beranjak, "Merka temen kuliahku dulu." "Oh, hai! Saya Eliana. Pemilik butik ini," sapa Eliana ramah. ##### Agustus 2002 Raka hanya bisa memeluk kedua lutunya dan terduduk di depan teras rumah Dira. Sejak dua jam yang lalu, Raka setia menunggu kedatangan Dira yang menurut penuturan mbok Imah Dira sedang pergi bersama kedua orang tuanya. Walau hujan sangat deras, Raka seolah tak perduli dengan keadaan tersebut, Raka hanya bisa menahan tangisanya sejak tadi. Kedua matanya terlihat merah karena ia menahan menangis. Rasanya, hatinya sangat sakit bahkan lebih sakit daripada ia harus terjatuh dari pohon atau dari atas ayunan. Pertengakaran antara kedua orang tua Raka benar-benar menjadi makanan sehari-hari. Raka kecil yang belum mengerti apa yang terjadi hanya bisa menangis kala melihat ayahnya membanting semua barang-barang di rumahnya dan ibunya hanya bisa berteriak-teriak seperti orang memilik kelainan jiwa. Rasanya melihat keadaan kedua orang tuanya yang semakin memburuk, Raka hanya bisa diam tanpa melakukan apa pun. Apalagi, adiknya Riana yang masih berusia enam tahun hanya mampu menangis, menangis dan menangis. Apa yang harus Raka lakukan? Jawabnya, tidak tahu. Suara detuman mesin mobil membuat Raka bangkit dari tempat duduknya. Terlihat seorang gadis berusia 11 tahun keluar dari mobil sedan tua itu, ia berjalan kearah Raka sembari membawa sebuah payung biru yang menutupinya dari hujan. "Kak Raka?" Raka berjalan mendekati gadis itu, ya akhirnya sosok Dira yang ia tunggu-tunggu pun tiba. "Kakak ngapain ke rumahku malam-malam begini?" Raka yang sudah basah kuyup ini tiba-tiba langsung ambruk di dalam pelukan tubuh Dira yang mungil ini. "Nadira," panggilnya. "Kak?" Dira berusaha sekuat tenaga menopang tubuh Raka yang jauh lebih besar darinya, "Kak Raka bangun Kak!" Raka tak menyahut sama sekali. Dira mulai panik, ia pun mulai berteriak meminta pertolongan dari Papa dan Mamanya. Saat Papa mulai menghampiri Raka, terasa tubuh Raka sangat panas seperti kompor yang menyala. "Nak Raka, bangun Nak." Rizal mulai menepuk-nepuk pipi Raka, "Nak Raka, kamu kenapa?" dan lagi-lagi Raka tidak merespon. "Papa, Kak Raka kenapa?" tanya Dira was-was. "Sepertinya dia pingsan." Rizal nampak ragu dengan ucapanya. "Astaga Pa, panas banget badannya Raka!" teriak Dian spontan saat ia menyentuh kening Raka. "Kita harus gimana, Pa?" Kedua mata cokelat Dira mulai terlihat redup. "Kita bawa Raka kerumah sakit aja apa?" tawar Rizal. ##### Dira akhirnya meninggalkan semua pekerjaanya, karena kedatangan kedua sahabatnya akhirnya Dira menyerah dengan paksaan makan siang dari Fadhil dan Zafrina. Eliana merasa cangung dengan kehadiran Fadhil dan Zafrina memilih untuk tidak ikut dalam acara makan siang. Ketiga sahabat ini memilih mengabiskan waktu makan siang mereka di sebuah restoran cepat saji yang tak jauh dari butik tempat Dira berkerja. "Duh, gila! Akhirnya setelah lima tahun gue kehilangan jejak si Dokter urak-urakan ini akhirnya gueketemu juga!" ujar Zafrina gembira. Dira hanya tersenyum cangung. Dokter urak-urakan, adalah julukan sejak hari pertama ia menginjakan kakinya di faklutas kedokteran. Kenapa ia di bilang urak-urakan, hanya satu jawabnya. Ia sering tertidur di jam kuliah namun dia terkenal sebagai salah satu mahasiswa yang pintar, ia sering sibuk sendiri dan gaya berpakaiannya yang sedikit urak-urakan sudah melekat padanya. Dira yang tomboy dan cuek tapi dengan sikap cueknya ini justru banyak orang yang tertarik dengan pesonanya dan berusaha mendekatinya. Aneh memang, tapi itu sebuah kenyataan yang terjadi dengan Dira. "Gue masih... ada di bumi kok tenang aja." Dira menyerumput Iced Americano miliknya. "Nggak pergi ke Pluto gue." "Lo kenapa si tiba-tiba ngilang gitu aja?" tanya Fadhil, "Pas awal semester empat elo ilang gitu aja kaya di telan bumi." "Panjang ceritanya." "Kenapa lo tega ngilang gitu aja?" cecar Zafrina, "Gue shock parah pas waktu salah satu dosen kita bilang lo udah ngundurin diri dari kampus kita." "Gue—" "Apa karena, Kak Raka mau lulus lo jadi mogok kuliah?" goda Fadhil. "Yeh, lebay amet gue sebegitunya!" gerutu Dira, "Raka siapa si yang lo maksud, Dhil?" "Pacar lo lah!" tuas Zafrina. "Ha? Pacar? Ngaco lo, Za!" elak Dira, "Gue sama dia gak pernah pacaran kali. Jangan aneh-aneh deh kalian berdua. Dapet gosip kacangan darimana kalian, gue sama dia pacaran?" "Bohong ah!" jawab Fadhil, "Orang kemana-mana bareng gitu. Gak ada salahnya kali Nad, pacaran sama senior yang mau lulus." "Serius gue," sahut Dira, "Gue sama dia emang nggak pernah pacaran." "Ngomong-ngomong dia—" "Eh btw anyway, kalian apa kabar?" potong Dira demi mengalikan pembicaraan mereka, "Kok kalian tiba-tiba nongol ditempat kerja gue?" "Itu kan butik gaun pengantin," jawab Zafrina, "Menurut lo kita mau ngapain?" "Jangan bilang kalian mau pesan gaun buat—" Dira tak mampu menyelesaikan perkataanya, Fadhil mengangguk setuju dengan perkataan Dira. "DEMI APA?" terik Dira, "AH.... CONGRAST KALIAN BERDUA! AKHIRNYA NIKAH JUGA KALIAN! NGGAK SIA-SIA LIMA TAHUN LALU GUE COMBLAING KALIAN BERDUA!" "Duh, dokter urak-urakan volume suaranya kecilin kali!" dumal Zafrina. "Sorry... Sorry, habis gue seneng banget si!" *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD