1. Teman Lama

1796 Words
Setelah tiga tahun meninggalkan komplek, tidak butuh waktu lama baginya untuk beradaptasi. Lapangan masih di tempat semula, hanya cat dan tambahan pos keamanan saja yang berbeda. Rute menuju jalan raya pun masih sama, hanya tambahan taman saja yang berbeda. Sangat disayangkan bagi cowok ini, sohib yang menghampiri juga masih sama, hanya kadar ketidaktahudiriannya saja yang berbeda.  Awalnya, memang ia merasa tidak masalah saat rumahnya dimintai untuk dijadikan tempat mengungsi selama beberapa jam ke depan, tapi ternyata tidak berhenti sampai di situ. Si sohib juga memaksa untuk menemaninya bermain futsal. Lantas sorenya, ia meminta dijajankan minuman dingin setelah sebelumnya melahap telur gulung. Katanya, seret banyak minyaknya. Lalu sekarang, ia terjebak hujan di depan Indomart selagi si sohib memilih minuman di dalam sana. Alih-alih si sohib, sepertinya lebih layak disebut si benalu. Setelah sempat menyugar rambutnya yang basah, ia bersilang d**a, diam memandangi jalanan yang dilewati lalu-lalang kendaraan. Hujan di sore ini ternyata sanggup membuat lengannya bergidik kedinginan. Andai saja dia membawa jaket, pasti penungguannya--untuk seseorang yang tidak penting-penting amat--tidak akan sedrama ini. "Tuh bocah nyari minuman anget kali di dalem, ya? Bukan dingin. Lama bener." Dia menengok ke arah pintu keluar-masuk, tapi jidat si benalu tidak ia temukan. Begitu hendak kembali menikmati pemandangan laju jalanan di bawah guyur hujan, fokusnya berhenti di ujung teras sana. Pada seseorang yang membalut diri menggunakan jaket berwarna hitam. Nyaman sekali sepertinya. Apalagi ditambah cilok pedas yang mengepul dan sebungkus onigiri.  Sebentar. Kening dia berkerut, sementara mata tajamnya menyipit. Awalnya memang hanya makanan dan kehangatan yang membuat ia menaruh fokus pada cewek itu, tapi, setelah melihat dengan jelas bentuk hidung, lipatan kelopak mata yang hampir tidak terlihat, dan rambut yang tergerai sebatas perut, jantungnya serasa tersengat. Ia juga tidak tahu kenapa, mungkin hanya kaget: tidak menyangka akan bertemu sekarang. Ini, bukan karena dulu ia pernah menyukainya, kan? Niat ingin berpaling goyah, ia diam-diam mencuri perhatian ke arah onigiri yang dilahap habis olehnya. Sepertinya enak. Ditambah lagi sebotol soda yang baru dikeluarkan dari kantung kresek putih, disusul sosis. Begitu beralih pada wajahnya, cowok ini tertegun. Ternyata masih sama, raut datar tanpa ekspresi. Bahkan muka bantalnya kentara jelas. Cewek itu mengunyah sembari melamun, melihat ke arah genangan di atas aspal yang ditetesi air hujan. Melihat bagaimana nafsunya cewek itu menghabiskan makanan, mengingatkannya akan kenangan silam. Saat bocah perempuan kelas tiga sekolah dasar, yang masih mengenakan seragam merah putih, bermain bola bekel seorang diri di pinggir lapangan kompleks. Ia berjongkok, sesekali berlari mengejar bola kecilnya. Sementara di sampingnya, seorang wanita berdiri memegang sendok berisi nasi. Wanita itu akan ikut tergopoh jika yang hendak disuapi mulai berlari. Sementara saat ujung sendok menyentuh bibir mungil, maka bocah perempuan itu akan sigap mengatupkan mulut sambil menggeleng dan merengek, "Nggak mau, masih ada." Wanita itu mengomel, berkata jika ia lelah dan ingin segera berbaring. Menyentak kenapa untuk makan saja susahnya minta ampun. Dan bocah itu, menangis meraung-raung. Tangisannya akan lama, selalu, bahkan masih meskipun wanita itu meninggalkannya sendirian di sana. Di pojok lapangan kompleks. Membiarkan punggung mungil yang tergugu, memudar ditelan senja yang mengabur. Iya, cewek itu jelas berbeda sekarang. Tidak kaget sebenarnya melihat bagaimana rakusnya, toh semua orang pasti berubah. Apalagi setelah tiga tahun, bukan? Dia yakin, cewek itu tidak lagi sering bermain bekel di lapangan, disuapi, atau menangis sendirian di halaman rumah. Memutar cerita di dalam kepala sendiri ternyata bisa dijadikan pelarian untuk realita. Lihat saja, cewek yang berjalan menjauh itu baru saja menyadarkannya, akan hujan yang sudah mulai reda. Sepertinya ini bukan waktu yang tepat untuk mangajak basa-basi, apalagi sohibnya kini terlihat keluar sembari membawa sekantong jajanan. Sebentar. Dia diam berkedip. Sekantong jajanan? "Jan, kurang baik apalagi coba gue? Nih, udah gue jajanin, buat lo," katanya, mengangkat kresek sambil nyengir.  "Gue bilang lima puluh ribu kembalian, Mal. Ini lo abisin?" "Cus, cabut. Gue sekalin minjem boxer lo, ya? Jir, dingin banget di dalem, asli." "Lo kira di luar panas?"  Sayangnya, kebal sindiran adalah keahlian si Benalu.  Mereka berganti haluan, satu dari mereka sesekali menengok ke belakang, tertuju pada cewek berjaket hitam yang sekarang menghilang di tikungan lapangan kompleks. ««•»» Payah, satu minggu tidak dapat mengubah apa pun. Sejak hari pertama, hingga kini hari terakhir di satu minggu, kalimat yang Kiran kukuhkan dalam hati sebelum melewati pintu kelas masih saja sama, "Gue berharap hari ini lancar sampe akhir." Jika tidak datang ke kelas di lima menit terakhir, maka Kiran akan datang bertepatan dengan bunyi bel masuk. Ia memiliki rute yang konsisten. Dari mulai muncul di ambang pintu, berjalan lurus melewati barisan paling timur, lalu duduk di sebelah kiri kursi paling pojok. Tidak pernah sekali pun langkahnya terhenti di tengah jalan untuk sekadar basa-basi dengan murid lain.  Begitu melewati pintu rumah dengan setelan putih abu. Tidak seperti yang lain, ia butuh diam sejenak, melihat lurus ke depan, lantas mengukuhkan keberanian dalam dirinya. Berharap hal baik yang akan terjadi. Namun, ada yang tidak ia sadari. Kenyataan akan kelas apa yang ia tempati dan siapa saja yang akan ada di sana, itu semua di luar kendalinya. Termasuk kehadiran seorang siwa--yang sebetulnya ia syukuri karena tiga tahun terakhir berada di sekolah yang berbeda--di kelasnya.  Awalnya, ia tidak menyangka, bahkan ia sempat mengira mungkin saja hanya parasnya yang kebetulan mirip. Namun, semua kepastian terjawab saat cowok itu memperkenalkan diri, lengkap dengan asal sekolah menengah pertamanya. Sekolah yang memang dulu hendak dituju cowok itu. Dia wakil ketua kelas, si penyebab hadirnya kardus transparan yang kini Kiran pakai untuk menutupi kepala. Enggan terlihat, pun mungkin membuat orang lain berpikir puluhan kali untuk mendekat. Jalan yang akan Kiran pilih adalah menghindar, yang sebetulnya hanyalah sebuah kebodohan ketika nyatanya mereka berada dalam satu ruang. Pendiam. Pasti begitu kesan yang terlintas di semua kepala penghuni X-2 saat berada dalam satu ruang bersama Kiran. Air mukanya selalu murung. Bahkan tak pernah jelas ketika ditanya. Oh, suara dia memang hampir tidak ada. Teman? Ah, s****n. Siapa sih yang sudi berteman dengan cewek seperti dia? Ini yang sebetulnya ia risaukan saat pertama kali mendaftarkan diri. Ini yang ia khawatirkan saat pertama kali memandang seragam putih abu. Ini yang ia takutkan saat pertama kali keluar melewati pintu rumah dengan gendongan tas di punggung. Ada, tapi tidak dianggap siapa pun. Ia tidak bisa meminta, mendatangi, menyapa, ia tidak terbiasa. Yang ia butuhkan kedatangan, kehadiran, sapaan, ajakan. Dan kedengarannya mustahil, karena itu semua sesuatu yang kebanyakan terjadi karena timbal balik.  "Kiran, formulir eskul udah dikumpulin ke KM?" Layar ponsel seketika menggelap, fokus Kiran teralihkan pada cewek yang duduk di sampingnya. Kiran menengok, terdiam. Dia bilang apa barusan? Saking tidak peduli dengan kelas, ia sampai kehilangan kesempatan untuk berkomunikasi. "Udah ngumpulin ini?" Cewek di samping Kiran bertanya lagi, sembari mengangkat selembar kertas. Entah untuk yang keberapa kalinya. Dilihatnya baik-baik selembar kertas yang kini menggantung sejajar wajah Kiran. Ia tidak menangkap apa maksud cewek ini. Apanya yang harus dikumpulkan?  Diselimuti ragu, Kiran akhirnya memutuskan bertanya, "Ngumpulin ... apa?" Cewek di samping Kiran tersenyum. Ia menyimpan kertas itu di meja dan mengambil karet gelang di kotak pensil milik Kiran, kemudian baru menjawab, "Formulir eskul, Rin." Ia bersiap untuk mengucir rambut hitam berponinya. "Minjem, ya?" Lantas mengangkat karet gelang di depan Kiran. Meminta persetujuan. Sebentar, sudah terhitung berapa kali cewek ini meminjam karet gelang milik Kiran? Yang ujung-ujungnya selalu Kiran beri anggukan.  "Thanks." Lagi, cewek di samping Kiran memamerkan gigi serinya. Tidak, Kiran sama sekali tidak keberatan. Silakan saja pakai. Kiran hanya tidak terbiasa, untuk merasakan kehadiran orang lain yang bisa dikatan bergantung pada dirinya. Walau hanya dengan perantara karet gelang. "Kok, bengong? Nggak akan ikut eskul?" Anak rambut yang mencuat keluar dari ikatan, telaten cewek ini rapikan. Sementara kaca kecil yang disandarkan ke kursi di depannya mulai bergoyang-goyang karena pemiliknya tidak mau diam. "Nanti dipikiran lagi." Dia mengangguk begitu mendapat jawaban dari Kiran. Kiran ingat sekarang, kertas yang tiga hari lalu dibagikan ketua kelas. Sama sekali tidak ia baca apalagi isi, yang ada langsung ia masukan ke dalam kolong meja. Lalu sekarang? Sebentar, Kiran cek terlebih dahulu. Tidak, sudah tidak ada. Mungkin tidak sengaja dibersihkan petugas kebersihan sekolah. Sebenarnya, Kiran sama sekali tidak tertarik, memang. Berkumpul dengan orang-orang yang mempunyai ambisi tinggi di pelajaran tertentu. Kiran dengan tingkat percaya diri cetek, pasti akan tertekan di dalam sana. "Mes! Diem dulu, ah!" Kiran langsung melirik lewat ekor mata. Ke arah meja di depan tempat dia. "Apa sih, La?" "Diem bentar. Gue lagi ngiket rambut." "Hubungannya sama getaran badan gue?" Seperti hari sebelumnya. Cewek di samping Kiran ini tidak pernah segan mencari ribut dengan cowok yang menduduki kursi di depan meja mereka. Meses, nama yang baru Kiran hapal kemarin sore. "Bacot lu, ah," timpal cewek di sebelah Kiran, santai. Kucirannya pasti sudah dirasa sempurna, makanya kaca kecil di belakang kursi Meses sudah dirapikan kembali. Tanpa ingin repot menengok ke arah lawan bicara, Meses melemparkan buku teman sebangkunya ke belakang. Untungnya yang dijadikan sasaran langsung menghindar, membiarkan begitu saja buku bigboss bergambar laba-laba itu mencium lantai kelas. "Woy! Pindah-pindah sono ke depan! Ganggu mulu, heran." Meses akhirnya menengok ke belakang. Pulpen yang Kiran yakini sejak tadi digunakan untuk menyalin materi Fisika dari papan tulis, diacungkan tinggi-tinggi. "Lo kalem dikit kek, tuh kaya Kiran," katanya.  Sudah tidak aneh bagi Kiran mendengar ucapan seperti Meses barusan. Meses adalah makhluk ke sekian ribu yang mengatakan hal serupa, membandingkan bagaimana kalemnya Kiran dengan orang lain. "Pindah sana ke depan! Ketua murid tuh duduk di depan. Biar eksis!" Iya, Meses terpilih menjadi ketua murid di hari kedua. Bermodal kepopuleran saat masa orientasi siswa minggu lalu. Katanya, Meses itu aktif. Ia sering menjadi wakil angkatan untuk maju ke depan mimbar saat dimintai pendapat oleh panitia. Kiran sih tidak terlalu yakin, ia tidak sejeli dan sepeduli itu akan gerak-gerik wajah orang baru. "Denger ya, Lami. Gue sebagai ketua murid justru udah bertindak bijaksana, dengan mempersilakan anak-anak berkacamata buat nempatin jajaran depan. Jangan maruklah idup mah. Baru juga tujuh hari jadi anak SMA." Lami, cewek yang memiliki karakter versi jungkir baliknya Kiran adalah anak yang satu minggu ini menempati kursi di sebelah Kiran. Itulah alasan kenapa Kiran masih sungkan pada Lami, cewek ini sanggup menguasai atensi seluruh anak kelas. Sedangkan Kiran? Dihadapkan keributan oleh dua orang ini saja, ingin pura-pura tidur rasanya. Seketika, mereka berdua kompak hening begitu merasakan kehadiran orang lain. "Loh, kok buku gue ada di bawah?" katanya, merasa tidak terima.  Meses kembali pada catatannya, sedangkan Lami tampak antusias untuk memulai obrolan duluan.  Cowok yang baru datang dari toilet ini adalah teman sebangku Meses. Apa yang dilakukan Kiran sekarang? Dia kembali meraih ponsel dan pura-pura tidak peduli. "Tuh, atasan lo tuh. Selain mendiskriminasi warga sepuluh dua, dia juga udah menyalahgunakan wewenang." Lami tidak gentar, sejak tadi ia duduk di posisinya sambil menyilang kaki. Menunjuk-nunjuk wajah Meses menggunakan buku yang dibentuk corong. Sedangkan Kiran, ia menelan ludah. Ingin menembus tembok saja rasanya. "Anak kacamataan dibedain sama dia. Mana mentang-mentang KM, seenak jidat ngelempar buku wakil lagi. Eleh." Iya, teman sebangku Meses adalah wakil ketua murid. Entah konspirasi macam apa yang terbangun di sepuluh dua ini. Cowok yang satu minggu ini selalu Kiran hindari, duduk di depan mejanya. "Ayo, ngungsi aja ke depan, Jan. Nggak tahan gue di sini." "Lah, lo aja yang pindah sana. Janu biar di sini. Suka-suka dialah mau duduk di mana." Dia, Janu. Januar Ibkar. Satu-satunya nama yang tidak perlu susah payah Kiran hapalkan di kelas ini.[]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD