2. Rumah

980 Words
Tidak ada abang versi novel di rumah Kiran. Menjemput Kiran di sekolah, nonton Avengers, atau bermain game online di ruang makan, itu semua cerita fiksi bagi Kiran. Abang yang ada di dalam rumah ini, hanyalah lelaki bercelana sebatas lutut yang seringnya numpang lewat di depan wajah Kiran. Cowok itu akan bersuara hanya ketika butuh. Seperti siang ini. Kiran baru saja menyimpan sepatu sekolahnya di rak, kemudian mendengar abangnya membuka pintu. Setelahnya, lelaki itu melewati Kiran begitu saja. Tanpa salam, tanpa basa-basi. Lalu Kiran akan masuk ke dalam kamar, diam di sana. Abang maupun Kiran hanya akan keluar ketika ingin makan.  Sekalinya rumah ramai, itu karena televisi. Mereka seringnya menyumpal telinga masing-masing. Bersarang di dunia masing-masing. Hingga ibu mereka kembali nanti malam pukul tujuh, dan bapak mereka nanti sore pukul enam. Untuk berkumpul di ruang makan. "Bener ada supplier baru di toko, Pak?Ibu tahu dari Pak Rusdin." Rusdin adalah satpam di toko furnitur bapak Kiran. Sesekali ibu memang suka berkunjung ke sana, jika ada kunci yang tertinggal misal, atau dompet. Biasanya ibu Kiran akan mengobrol dulu di sana, basa-basi, dengan Pak Rusdin. "Semingguan lagi itu. Deket-deket ini  bakal promosi dulu." "Merek apa emang? Promosi dulu? Nggak nunggu sampe produk baru?" "Lulabi." Kiran tidak banyak omong, berbeda sekali dengan ibunya. Menurut Kiran, tempe goreng yang dicocol bumbu ayam kecap lebih menarik ketimbang harus nyerocos. Biarkan saja orang tuanya membicarakan pekerjaan. Namun, meja makan lagi-lagi kekurangan satu personil di malam ini. Abang tidak ikut makan bersama, dia baru saja makan katanya. Padahal, Kiran yakin, abangnya itu hanya sedang menghindar dari mulut papa dan ibu mereka. "Sama aja, sih, Bu. Toh kita memang udah bawa merek produk baru." "Temen Ibu ada yang nanyain di butik, katanya minta brosurnya." "Minta aja ke Pak Rusdin, besok." "Loh, kok Pak Rusdin?" "Iya, nanti Pak Rusdin yang mintain ke dalem. Sama anak-anak." Anak-anak yang bapak Kiran sebut adalah karyawannya di sana. Bosan sebetulnya Kiran. Belum lagi memikirkan keadaan kelas yang tidak kunjung membuatnya nyaman sejak hari pertama. Di rumah pun begini-begini saja. Hari itu, ketika pertama kalinya Kiran  secara terang-terangan memilih menghindar dari Janu. Saat berbaris sebelum upacara. Seperti biasa, jika tidak datang tepat sebelum bel masuk, maka Kiran akan datang terlambat. Termasuk di hari Senin kemarin. Dia menerobos barisan yang telah rapih, berniat berbaris di jajaran paling depan. Seperti biasanya. Namun, begitu melihat Janu memimpin barisan kelas. Dia berhenti di barisan kedua yang kebetulan kosong. Sayangnya, cewek di barisan pertama menyadari kehadiran Kiran, dia menyuruh Kiran untuk berganti posisi. Di sanalah tatapan Kiran dengan Janu bertemu, bukannya menyapa, Kiran justru mengalihkan kontak mata. Berpaling. Ia berpindah posisi tanpa mengeluarkan sepatah kata pun pada cowok yang berdiri tepat satu lengan di sampingnya. Sejak hari itu, Janu tidak pernah lagi berusaha menyapa Kiran. Atau berusaha melakukan kontak mata. Jujur, hal itu membuat Kiran menjadi semakin tidak nyaman di kelas. Padahal, dia sendiri yang sejak awal berusaha menghindar. "Besok kalau mau Ibu anter, bangunnya pagi, Ki." Renyah kerupuk udang terdengar, begitu ibu Kiran selesai dengan ucapannya. Kiran hanya diam. Ia tidak bisa berjanji untuk bangun pagi. Lagian, tidur mungkin sebentar lagi akan menjadi passion barunya. Sementara itu, Kiran juga tidak ingin naik angkot. Ramai dan juga lama di jalan untuk menunggu penumpang. "Bapak sibuk kalau pagi. Jangan disangka nggak ada kerjaan." Kini giliran bapak Kiran yang ikut mengomel. Membuat wajah Kiran masam. Dia mencebikan bibirnya--tentu dalam posisi sadar tidak sedang dalam pantauan mata kedua orang tuanya--karena ia tahu betul, bapaknya berangkat pukul delapan pagi. Sedangkan Kiran, Kiran berangkat pukul enam empat lima. Sebenarnya masih sempat, jika bapak Kiran bersedia. "Iya." Selepas satu kata itu terlontar, Kiran beranjak dari kursi. "Jangan iya-iya doang." Diam. Diam adalah cara terbaik saat menghadapi ibunya. Termasuk sekarang. Oh, kapan pun. Di mana pun. Diam selalu menjadi pilihan terbaik. «» Jam tidur Kiran berubah mengikuti zaman. Semakin ke sini, jam tidur dia semakin malam. Bahkan pagi. Padahal tidak ada tugas, karena Kiran selalu menyelesaikan tugasnya di jam kosong atau jam istirahat, tapi Kiran tetap terjaga malam ini. Dia berbaring di kasur, berselimut hitam hingga menutupi setengah badan. Kamar Kiran tidak terlalu menarik, warna dindingnya putih polos, hanya saja sedikit nyentrik akibat ditempeli gambar di mana-mana yang sketsanya ia buat sendiri, sekadar iseng. Ponsel masih menyala di tangannya. Ia menggulir layar ke atas dan ke bawah, berulang. Melihat sebuah akun yang sudah lama ini tidak pernah lagi terlihat memosting tulisan baru. Ia buka slide kedua dari bawah. Dibacanya lagi tulisan di sana entah untuk yang ke berapa kalinya. Sebuah tulisan berilustrasi. Sketsa simpel yang digambar hanya menggunakan drawing pencil. Sebuah lapangan, gedung sekolah, dan bendera hitam putih yang berkibar. Tumpukan tas sekolah yang digenangi air kotor berwarna hitam, tapi terlihat berwarna coklat di mata Kiran. Kemudian, kumpulan anak laki-laki yang menggunakan seragam sekolah berwarna hitam putih, tapi merah putih di mata Kiran, menunduk. Dan, seorang pria berkacamata, menunjukan jarinya ke depan kumpulan anak-anak itu dengan wajah berang. Kiran begitu serius melihat dan memikirkan setiap detail goresan, seolah dia benar-benar pernah ada di dalam gambar sana. Kemudian di slide kedua dalam postingan yang sama. Terlihat arsiran pensil yang menggambarkan detail seorang bocah perempuan. Berambut pendek dengan jepitan. Memeluk lutut dan membenamkan kepalanya di sana. Sementara di bawah gambar bertuliskan. 'Ia tetap merasa khawatir walau tidak menjadi bagian dari kalian. Sendirian, bocah dengan jepitan merah jambu di poni kanannya memilin dasi berwarna merah di dalam kelas yang telah kosong. Dia tidak ingin melihat, tidak seperti yang lain. Hanya satu yang ia tunggu, bel pulang sekolah. Lalu seseorang berdiri di depan pintu sana, dia bertanya, "Kamu yang ngelaporin?" Dan ketakutannya menjadi nyata.' 'Semua hal sepertinya selalu dihampiri sesuatu yang indah kendati sehabis suram. Hujan dengan pelangi, lelehan lilin dengan api, atau malam dengan matahari. Lalu aku, kapan kepayahanku ini akan berhenti?' Sembilan orang menyukainya. Tidak ada komentar. Di sebelah kiri pojok bawah gambar tersebut tertulis nama akun, doublekey. Kiran menutup layar, pandangannya kosong menatap langit-langit kamar. Selama beberapa detik ia bertahan dengan posisinya. Ingatannya berkelana untuk memikirkan berbagai kemungkiman yang akan terjadi di hari esok. Hingga satu kalimat terbaca dari bibirnya, tanpa suara, "Semoga besok baik-baik aja."[]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD