“Ini tea mu, masih hangat.”
Melanie memberikan secangkir tea untuk Javier. Pria itu pun menerimanya dengan senyuman lebar.
“Terima kasih sayang.”
Melanie menghembuskan napas pelan, bersamaan ia mendaratkan pantatnya ke sofa panjangnya.
“Tea hangat ini pastinya akan lebih enak lagi kalau di tuangkan secara langsung dengan apa yang anakku minum selama ini,” gumam Javier pelan, bibir seksinya tak henti melengkung di wajah tampannya.
Melanie kembali menatap Javier. Ia masih belum paham akan apa yang sedari tadi pria itu katakan. Ia pun termangu namun kedua matanya tak lepas terus pandangi wajah Javier.
Pria itu kini banyak tersenyum. Tersenyum mencurigakan. Setelah Melanie cerna dalam-dalam semua perkataan yang Javier katakan. Ia langsung mendelik dan kini paham apa maksud Javier yang baru saja di katakan padanya.
“Kenapa kau tidak menjadi bayi lagi saja dan minta ke ibumu, hmm?” jawab Melanie dengan nada tinggi.
Javier terkekeh, menatap Melanie gemas kalau sudah lambat berpikir seperti ini.
“Ternyata kamu sudah sadar dan paham akan maksudku toh?” batin Javier tak henti bibirnya itu tersenyum dan kini tertawa kecil.
“Aku ingin jadi bayimu saja. Kembar tiga gitu. Cuman yang satunya sudah bangkotan ya ya ya ya?” gumam Javier seraya meminta.
“Dasar sinting!” decak Melanie kesal.
Javier tertawa. “Aku ingin seperti mereka sayang. Aku ingin dibelai, dicium kening dan pipinya. Aku pun ingin setiap menit dan jam nya menyesap asi yang hangat langsung dari pusatnya,” pinta Javier pada Melanie.
“Dasar sinting kamu Jav! Kenapa kamu pulang dari London jadi m***m beginih hah?
"Sebenarnya otakmu itu nyangkut di mana? Apa jangan-jangan otakmu itu masih nyangkut di s**********n para b***h di luar sana hah?!” seru Melanie kesal.
“Enak saja otakku nyangkut di s**********n para b***h. Yang ada otakku ini menyangkut di dua bukitmu yang besar itu,” jawab Javier seraya menujukan pada dua benda besar milik Melanie.
“Dasar gila! Huuuhh! Bisa-bisanya kamu berpikiran kotor seperti itu Jav!” geram Melanie bersamaan menutup bagian atasnya dengan kedua tangannya karena Javier terus menatap dua bukitnya itu.
Melanie jengah rasanya lama-lama dengan Javier yang aneh ini.
‘Ya Tuhan sebenarnya pria itu menjadi seperti ini setelah pulang dari London? Apa otaknya beneran sudah error hingga isinya pikiran kotor dan s**********n hanya gara-gara menatap dua bukitku dan pria itu memberikan asi pada kaka?” gumam Melanie di dalam hati.
Javier masih pandangi wajah Melanie yang masih menatapnya dengan tatapan tajam. Ia hanya tertawa kecil sembari menggendong putranya untuk mengalihkan pandanganya.
‘Jujr Mel. Aku pun entah kenapa menjadi seperti ini. Hanya melihat bagian atasmu saja sudah membuatku ingin mencengkerammu.
'Kamu benar-benar membuatku frustrasi Mel hingga sesuatu di bawah sana begitu sesak karena sudah lama tidak pernah di sentuh dan menginginkan perlepasan,’batin Javier.
***
Mansion Sanjaya pagi hari.
Jam sudah menunjukan pukul delapan pagi. Javier masih terlelap setelah pria itu pindah ke tempat tidrunya saat Melanie sudah terbangun pagi hari.
Itulah kebiasaan Javier, ia selalu tidur di sofa panjang untuk giliran mengurus putra dan putrinya yang terbangun di malam hari.
Dengan pagi harinya ia akan pindah ke atas tempat tidur Melanie bila pemiliknya sudah tidak ada dan hanya menyiskan kedua malaikat kecilnya yang semakin hari semakin tubuh besar nan menggemaskan.
Javier bahagia sendiri, sangat sangat bahagia saat kedua malaikat itu lahir ke dunia. Apa lagi ia selalu mengucap syukur saat melihat tumbuh kembang kedua anaknya yang kini bobot si kembar semakin bertambah bersamaan kedua pipi mereka yang gembul, siapa saja yang melihat pun pasti gemas melihat bocah kembar yang ia peluk saat ini.
“Mereka belum bangun juga bi?” tanya Melanie kedua tangannya menyimpan sarapan pagi untu papa tercinta yang akan berangat bekerja.
“Belum non. Bibi lihat lagi si kembar semakin nyenyak tidurnya karena di kelonin sama Tuan Javier. Acara mandi mereka jadi di undur,” jawab Bi Ani.
Melanie membung napas melihat ke depan tempat tidurnya. Bi Ani benar, kalau mereka sudah tidur dengan Javier, pasti kedua anaknya akan nyenyak seolah kedua anaknya tahu kalau pria itu daddy candangannya.
“Ya sudah bi, mungkin sebentar lagi mereka pada bangun. Sebaiknya bibi sarapan saja terlebih dulu,” ujar Melanie yang dianggukan Bi Ani.
“Morning sayang…” sapa Andi menghampiri putri tercintanya sembari mengecup kening Melanie.
“Morning pah.”
“Kembar mana?” tanya Andi seraya duduk di kursi meja makan nya.
Melanie menghembuskan napas lirih. “Mereka masih di dalam, entah sudah bangun atau belum. Sebaiknya papa sarapan dulu,” ujar Melanie memberikan oat kesukaan papa nya.
Tidak lama setelah sarapan pagi, Andi menyempatkan untuk bertemu terlebih dulu dengan kedua cucunya itu. Ia berjalan ke arah kamar putrinya dengan senyuman bahagia.
“Ka—“ Andi menjeda dan mengurungkan untuk memanggil cucu laki-lakinya. Ia pun hanya bisa berdiri di depan pintu dan tidak jadi masuk karena ia melihat pemandangan yang setiap harinya selalu seperti ini.
Hati Andi lega bahkan bahagia melihat putri satu-satunya itu kini bahagia dengan kelahiran kedua buah hatinya berama dengan Revano.
Meski ia tahu putrinya berjuang keras dari hamil sampai melahirkan kedua anak-anaknya tanpa adanya sosok suami. Dan sosok itu lah yang selalu ada di samping putrinya, Javier Abraham.
Ya, Andi tidak jadi masuk ke dalam kamar putrinya, karena ia melihat Javier yang masih tidur dengan kedua cucu nya, seolah mereka menggambarkan keluarga kecil yang bahagia.
Andi berpikir dalam diam, namun kedua matanya tak henti melihat Javier di depan sana.
‘Sebenarnya mau sampai kapan kamu seperti ini terus Jav? Menemani putriku sepanjang harinya tanpa kamu memikirkan dirimu sendiri untuk mencari pasangan hidup?
Apa maksudmu adalah Melanie, putriku orang yang selama ini kamu tunggu dan kamu cintai?’ batin Andi bertanya-tanya, karena saat Andi berbicara dengan pria itu. Javier hanya berkata sedang menunggu seseorang.
Apa sebenarnya Javier mencintai Melanie?
Karena menurut Andi, ya meski Javier menganggap Melanie sebagai adiknya. Tidak mungkin Javier sampai berkorban besar seperti ini. Tidak mungkin Javier mau bergadang dengan kedua cucunya kalau tidak ada rasa cinta pada putrinya.
Apa lagi Javier begitu perhatian pada Melanie dan juga kedua anak-anaknya hingga pria itu menganggap kedua anak Melanie sebagai anak kandungnya sendiri.
“Pah, kok nggak masuk ke dalam? Kenapa berdiri di sini?” tanya Melanie seolah menarik paksa Andi dari lamunanya.
“Ehh nak. Lagian cucu papa itu belum bangun juga. Ya sudah lah bairin mereka seperti itu jangan dibangunkan kasihan,” jawab Andi kembali berjalan ke ruangan tengah bersama Melanie mengekor dari belakang.
“Javier kapan pulang dari London?”
“Pukul empat pagi kalau nggak salah!”
Andi mengangguk pelan.
“Nak…”
“Ya pah.”
“Kenapa kamu nggak menikah saja dengan Javier. Papa lihat dia pantas menggantikan Revano suamimu. Javier pantas menjadi ayah pengganti untuk si kembar nak!” saran Andi pada putrinya.
Melanie menarik napas panjang. “Nggak pah. Melanie cintanya sama Revano. Melanie akan menunggu Revano sampai kapan pun. Melanie yakin Revano pasti kembali.”
“Tapi mau sampai kapan kamu sendiri seperti ini? Menunggu Revano yang entah pria itu ada di mana?!”
Melanie bangun dari duduknya dan menggenggam tangan papanya. “Melanie yakin Revano pasti kembali pah.
"Melanie nggak ingin melakukan kesalahan lagi menikah dengan pria lain. Melanie akan menunggu Revano,” gumam Melanie pada Andi.
Andi menghembuskan napas panjang. “Ya sudahlah kalau itu mau mu. Papa nggak bisa memaksamu. Papa hanya ingin kamu bahagia nak.”
“Melanie bahagia pah, meski nggak ada Revano. Papa nggak usah khawatirkan Melanie yah, Melanie bahagia kok!” jawab Melanie lalu memeluk papanya.
***
“Morning…” sapa Melanie dengan wajah yang berseri bahagia.
Kedua tangannya membawa nampan berisi sarapan pagi pria menyebalkan itu yang melewatkan jam sarapannya.
“Morning sayang…” jawab Javier.
Melanie meletakan nampannya di atas meja sofa, ia pandangi sejenak Javier yang tengah mengajak ngobrol putri cantiknya yang sudah terbangun.
Melanie mendekat dan duduk di tepi tempat tidurnya menatap gemas pada putri cantiknya yang membulatkan kedua matanya penuh dan bibirnya yang tersenyum lebar.
Waktu begitu cepat berjalan, sehingga ia merasa baru kemarin melahirkan kedua anak-anaknya namun kini kedua malaikat kecilnya itu semakin tumbuh besar dan juga aktif.
Melanie menggendong putri cantiknya dan mencium pipi gembil Adia dan Arkana. Jagoanya itu masih terlelap.
“Morning juga mommy cantik,” jawab Javier menunjukan senyuman tampan pada Melanie.
Melanie mengabaikan Javier. Ia masih kesal. “Mom, kenapa aku sapa nggak mom jawab. Terus kenapa aku di lewat?”
“Apaan sih Jav!”
“Ihh mommy. Aku juga sama pengen di sun kaya Adia dan Arkana. Aku juga kan bayi besar kaya mereka,” ujar Javier menujukan pipinya minta di sun oleh Melanie.
“Kamu benar-benar menjijijkan Jav. Kamu bukan bayi besar! Tapi bayi bangkotan!”
“Ya mom…” rengek Javier.
“Minta di sun sama Bi Ani saja sana jangan sama aku!” decak Melanie.
“Kok gitu sih Mom. Daddy juga pengen di sun kaya mereka setiap bangun pagi,” rengek Javier lagi.
Melanie menghembuskan napas serentak.
“Sudahlah Jav. Sebaiknya kamu mandi, aku sudah menyiapkan pakaian kerjamu dan kamu lekas sarapan aku sudah membawanya tuh,” tunjuk Melanie dengan dagunya.
“Bi, Adia sudah bangun bi. Tolong mandiin dulu. aku siapin pakaiannya,” ujar Melanie yang dianggukan Bi Ani dan langsung menggendong Adia.
Javier bangun menyusul Melanie yang menyiapkan pakaian putrinya. Ia pun merengkuh tubuh gempal Melanie yang seksi.
“Jav…” lirih Melanie.
“Sebentar saja, aku beneran rindu Mel,” jawab Javier.
Ia sudah terbiasa memeluk Melanie seperti ini. Ia tidak bisa merubah kebiasaanya setiap ia bangun pagi. Dan itu harus memeluk Melanie sejenak.
Javier tak peduli lagi bila ia harus merebut Melanie dari Revano. Ia ingin memperjungkan Melanie. Ya, Javier ingin memiliki Melanie seutuhnya.
Javier bukan melepaskan pelukannya namun ia malah mengeratkan pelukannya. Apa lagi aroma vanilla yang melekat di tubuh Melanie membuatnya tak tahan.
“Jav…” lirih Melanie lagi.
“Izinkan sebentar saja aku memelukmu seperti ini Mel. Aku sangat menyukai aroma tubuhmu,” lirih Javier.
Melanie terdiam, ia seolah teringat akan seseorang yang mengatkan hal yang sama.
‘Sebentarlah sayang, izinkan aku memeluk tubuhmu ini, aku sangat suka aroma tubuhmu ini.’—Kata Revano William.
“Revano…” lirih Melanie membuat Javier mendelik.
“Aku Javier bukan Revano!”
“Milikmu sudah basah sayang.”