BAB 4 EVAN**

1197 Words
"Kenapa kau ada di sini? " tanya Alex heran. Alex dan Bang Haris baru masuk rumah ketika mendapati Evan sedang berebah di sofa ruang keluarga mereka, seperti sedang berusaha keras untuk memejamkan mata dengan memijit pangkal hidungnya. "Ijinkan aku tidur di rumah kalian," katanya masih sambil memejamkan mata. "Kupikir adik laki-lakimu sedang tidak sehat, Bang," bisik Alex pada bang Haris, meski dia tahu gejala flu Evan takseparah itu hingga dia hilang ingatan untuk pulang ke rumahnya sendiri. "Sebaiknya kau pulang saja!" tegas bang Harris dengan acuh. "Aku hanya sedang tidak ingin pulang." "Kau bisa pergi ke hotel bukannya malah kemari untuk mengganggu kami!" "Aku tidak suka tinggal sendiri, " kelit Evan. "Kau bisa menyewa teman wanita untuk menemanimu," tambah bang Harris. "Kau benar-benar kakak yang menyesatkan! " tegur Alex meskipun dia tahu bang Harris tidak sungguh-sungguh. Alex berjalan mendekati Evan yang sudah bangkit untuk duduk. "Ada kamar bayi jika kau ingin menginap," kata Alex sambil mengedikkan alisnya jahil. "Begitu banyak kamar di rumah kalian, aku tidak percaya kau menawarkan kamar bayi perempuan untukku." "Apa kau lebih memilih pulang untuk menemui Rutmini? " goda Alex tak kalah usilnya ketika spontan membuat mata Evan melebar. "Oh, bahkan mendengar namanya saja aku sudah merasa aneh, " keluh Evan seolah ingin meremas perutnya yang tiba-tiba mual. "Tidak ada yang buruk dari nama Rutmini," kilah Alex saat memiringkan senyumnya." Kau bisa memangilnya Rut atau jika dia imut kau juga bisa memanggilnya Mini." "Kau memang luar biasa jenius, tapi aku tetap tidak mau pulang!" tegas Evan. Lagi pula siapa yang menyangka jika Evan bakal sebegitu takutnya dengan gadis desa bernama Rutmini itu, padahal mereka sama sekali belum pernah bertemu. "Pulanglah Evan, kau buka orang jahat yang akan mengabaikan orang lain seperti itu," tambah Alex ketika menatap Evan dengan lebih yakin. "Temui dia, karena bagaimanapun dia juga sudah menunggumu dan mencemaskanmu." Alex menyentuh bahu Evan layaknya kakak perempuan yang memberi nasehat bijak. "Nanti jika kau tetap tidak menyukainya, kami janji akan membantumu." Alex juga melirik bang Harris untuk meminta dukungannya. "Kau tahu, akan sangat aneh jika kau hanya kabur ke rumah kami cuma karena takut dengan gadis kampung bernama Rutmini," ejek bang Harris dengan nada dinginnya yang mengesalkan. Mungkin karena gengsi dan tidak mau terus di ejek, akhirnya Evan segera bangkit berdiri dan pergi tanpa bicara apa-apa lagi. "Kira-kira dia mau kemana? " tanya Alex masih khawatir. "Pulang! " jawab bang Haris singkat, tapi sepertinya dia cukup yakin dan Alex pun ikut merasa lega. "Menurutmu apa dia tidak akan menyukai Rutmini?" "Entahlah, sebenarnya Rutmini tidak buruk, mungkin dia hanya masih terlalu polos dan tidak akan sesuai dengan selera Evan." "Rutmini cantik, Bang," bela Alex. "Sepertinya dia juga sangat baik, Abang sendiri juga lihat bagaimana tadi dia sangat mencemaskan adik laki-laki, Abang." Sepertinya bang Harris setuju dan Alex yakin pasti tuan Serkan juga tidak akan sembarangan memilih wanita untuk putranya. ***** Sementara itu Evan yang dipaksa pulang sebenarnya juga masih malas untuk menemui Rutmini. Dia malah cuma mengatakan mau mandi dulu dan istirahat sebentar karena kurang enak badan. Tapi nyatanya dia tidak turun lagi setelah itu bahkan untuk makan malam pun juga tidak. "Sepertinya bang Evan ketiduran, " kata salah seorang pelayan yang baru saja nyonya Marrisa suruh untuk memeriksa ke kamar putranya. Ternyata Evan memang ketiduran sampai pagi. Saat kembali terbangun oleh alarm di ponselnya Evan segera terjaga karena ingat dia harus pergi ke kantor dan dia tidak boleh terlambat karena sudah janji untuk menemani Alex dalam pertemuan hari ini. Tapi siapa yang menduga jika ternyata kepalanya terasa berdenyut-denyut, seperti sedang di pukuli palu berduri. Evan kembali menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur untuk memejamkan mata dan mencengkram kepalanya yang rasanya seperti retak. Evan segera meraih ponselnya dan mengetik pesan kepada Alex bahwa dirinya tidak bisa pergi ke kantor hari ini. Evan coba kembali memejamkan matanya agar merasa lebih baik. Sampai beberapa saat dan sama sekali belum ada perubahan. Dia ingat semalam langsung tidur tanpa meminum obat dan kali ini baru menyesal. Evan juga tidak makan malam, karena itu sekarang dia juga tidak berani langsung munim obat tanpa mengisi perutnya dulu. Evan langsung turun dari kamarnya dan menuju dapur untuk mencari pengurus rumahnya, walaupun dia tahu jam segini biasanya mereka juga belum ada yang menyiapkan sarapan. Tapi mungkin dia bisa membuat sereal atau dua lembar roti juga sudah cukup. Tapi untungnya sudah ada mbak-mbak sedang membersihkan dapur dan Evan langsung menghampiri meja pantry untuk minta di buatkan roti karena dia ingin segera minum obat setelah itu. Rutmini juga tidak menyangka jika pria yang baru saja menegurnya itu adalah bang Evan. Evan nampak lesu dan malas, mungkin karena itu juga dia sampai tidak memperhatikan jika mbak-mbak yang dia suruh adalah Rutmini. Tentu Rutmini tahu jika itu adalah bang Evan, karena dia juga sudah pernah melihat fotonya kemarin di ruang keluarga. Hanya saja Rutmini tidak pernah menyangka jika aslinya jauh lebih tampan, bahkan saat sedang baru bangun tidur sekalipun. Wajar saja kalau Rutmini tiba-tiba merasa sangat cocok jika di jadikan pembantunya saja. "Abang mau selai apa? " tanya Rutmini ketika mengangkat dua lembar roti panasnya dari panggangan. "Nutella saja, " jawab bang Evan yang ternyata juga sangat ramah sebagai tuan muda. "Sekalian ambilkan air mineral karena aku harus minum obat." "Baik, Bang, " Rutmini segera mengambil gelas dari rak yang kebetulan agak tinggi jadi dia sampai harus berjinjit-jinjit dan tetap tidak sampai. Jujur Evan sempat prihatin dengan wanita bertubuh mungil itu. Karena kasian akhirnya Evan berjalan sendiri untuk mengambil gelas. Rutmini benar-benar terkejut ketika mendapati bang Evan sudah berada tepat di belakangnya dan meraih gelas kaca yang sudah nyaris dia pegang. "Maaf, Bang, " Rutmini merasa tidak enak, tapi sepertinya bang Evan cuma santai menanggapinya dan segera duduk kembali di depan meja pantry setelah mengambil airnya sendiri dari dispenser. "Apa, Bang Evan, mau sesuatu lagi? " tawar Rutmini hati-hati karena takut salah meskipun dia tahu bang Evan adalah orang yang baik dan sopan. "Tidak, terimakasih, " tolaknya bahkan tanpa melihat ke arah Rutmini, karena Evan sepertinya lebih konsentrasi untuk cepat-cepat menghabiskan rotinya dan segera menelan obat untuk meredakan rasa berdenyut di kepalanya. "Bilang ke yang lain, jangan membangunkanku karena aku sudah sarapan dan hanya ingin beristirahat," pesan Evan sebelum bangkit untuk pergi neninggalkan pantry. Sementara itu Rutmini masih bengong memerhatikan punggung bang Evan sampai benar-benar hilang di ujung lorong. Hari masih sangat pagi bahkan belum satupun pengurus rumah yang sudah bangun. Rutmini buru-buru kembali mengelap alat pemanggang roti dan mencuci gelas serta piring bekas bang Evan tadi. Sebentar lagi para pengurus rumah akan segera bangun dan mereka pasti akan melarangnya mengerjakan apapun padahal Rutmini bakal merasa badannya pegal-pegal jika tidak dipakai untuk beraktivitas pagi-pagi. Mungkin dia bisa mengelap meja dapur itu sekali lagi meskipun sebenarnya juga tidak kotor. Tapi itulah Rutmini yang suka mencari-cari pekerjaan untuk merepotkan dirinya sendiri. Rencananya nanti jika para pengurus rumah sudah bangun dia bakal minta sedikit jatah pekerjaan untuk mengusir rasa bosannya di rumah besar ini. Rumah tuan Serkan memang sangat besar bahkan Rutmini masih agak bingung untuk mencari letak kamarnya sendiri. Maklum karena di rumahnya dulu juga hanya ada dua kamar dan satu bilik kamar mandi kecil yang mereka pakai beramai-ramai. Makanya Rutmini juga merasa aneh jika sekarang tiba-tiba harus mandi di ruangan yang hampir sama luasnya dengan rumahnya di kampung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD