Chapter 1 (B)

923 Words
"Oh tidak! Dia terluka!" pekik gadis itu lagi. Membuat pelayannya segera mendatangi mereka dan mengumpulkan lagi seluruh tenaganya yang masih tersisa. "Saya akan memanggil Hugo kemari," katanya dengan cepat dan segera meninggalkan Thomas yang sudah duduk di atas tanah bersama gadis itu yang mengambil tempat di sisinya. Mengabaikan jika saja gaun kuning kenarinya akan kotor karena terkena debu dan tanah di bawahnya. Gadis itu kembali ingin menyentuh Thomas yang segera mendapatkan delikan darinya. "Aku tidak apa-apa dan tidak terluka!" ucapnya kasar. "Kau terluka!" Thomas memang merasa bahwa luka di punggungnya kembali terbuka. Tetapi dia sangat yakin bahwa tidak ada luka lain yang mungkin terlihat oleh gadis itu. Karena itulah dia dengan keras kepala mengatakan, "Tidak. Aku sama sekali tidak terluka." Thomas lalu bangkit berdiri. Mengabaikan denyutan kecil di antara kedua pahanya yang kemudian dia abaikan dan berusaha memfokuskan kepada luka di punggungnya. Oh, itu benar-benar menyakitkan! "Sir. Percaya atau tidak, tapi kau benar-benar terluka," kata gadis itu dengan kukuh. "Wilda sedang memanggil Hugo dan dia adalah dokter terbaik yang bisa kutawarkan kepadamu saat ini. Dia adalah murid terbaik dari dokter Ruthbone yang terkenal itu." Oh dear. Seandainya gadis itu tahu bahwa dokter Ruthbone adalah kawan Thomas. "Aku baik-baik saja," tegas Thomas sekali lagi. Denyutan rasa sakit di punggungnya kembali terasa dan ia berpikir bahwa secepatnya ia harus bertemu dengan kawan yang merupakan dokter terkenal itu. "Sir! Kau terluka! Aku mencium bau darah darimu dan aku tahu bahwa secepatnya kau harus diobati!" bentak gadis itu dengan tidak sabar. Untuk sekejap, suasana menjadi hening. Otak Thomas bertanya-tanya mengenai pernyataan yang gadis itu sampaikan. Mencium bau darah? Memangnya dia seekor hiu, anjing pelacak, atau vampir? Thomas ingin menyuarakan pikiran konyolnya yang untungnya disela oleh suara mengeong dari seekor kucing yang dirinya tahu bernama Mrs. Hudson. Gadis itu segera mencari sosok kucing nakal itu yang kini sedang berputar-putar mengelilingi Pohon Oak sembari mengejar kupu-kupu berwarna putih. "Ini gara-gara kau, Mrs. Hudson! Tunggu saja dan lihat sampai aku melaporkannya kepada Joanna," gerutu gadis itu tanpa sadar. Satu alis Thomas tertarik ke atas. Menyadari sebuah nama yang gadis itu ucapkan tanpa sadar. "Joanna-" "Dia adalah pemilik kucing nakal itu," gadis itu lalu menengok ke kanan dan ke kiri sebelum ia mendekatkan tubuhnya ke arah Thomas dan berbisik di telinganya. "Joanna adalah aktris di Puppets Theater. Dan jika kau tahu, dia memiliki nama panggung Jennifer Winter. Kau pasti tahu dia, kan?" Tubuh Thomas menegang karena dua hal. Yang pertama, gadis di depannya mengenal dengan Joanna yang ia cari dan yang kedua, karena wangi dari tubuh gadis itu yang merayu indra penciuman Thomas dan serta merta membuat bagian di antara kakinya kembali berdeyut nyeri. "Mengapa Hugo sangat lama," gerutu gadis itu lagi sembari menjauhkan tubuhnya. Ia lalu mengambil Mrs. Hudson dan memeluknya. Kemudian, seakan kesadaran masuk ke dalam otaknya, ia terdiam untuk berapa lama. "Kita harus menemui dokter Ruthbone! Hugo sedang melakukan ujian dengannya dan aku tidak mungkin menunggunya untuk selesai kemudian baru mengobatimu, Sir." Gadis itu lalu mengerjap. "Ya Tuhan! Aku bahkan lupa dengan lukamu dan malah mengatakan hal yang tidak penting mengenai rahasia Joanna!" Gadis itu lalu menatap Thomas dengan permintaan maaf bersamaan dengan kedatangan Wilda. "Miss-" Gadis itu segera mendekati Wilda. Memberikan Mrs. Hudson kepadanya dan segera kembali kepada Thomas. Dengan satu tarikan, gadis itu mengambil tangan Thomas. Menggenggamnya dan segera menyeretnya pergi yang menimbulkan pekikkan tidak setuju dari pelayannya. "Miss!" "Aku akan menemui dokter Ruthbone dan akan kembali nanti sore," teriaknya seraya masih menyeret Thomas yang anehnya, menurut ketika jemari lentik itu membawanya. Gadis itu lalu menghentikan kereta kuda sewaan yang melewati mereka. Naik ke dalamnya bersama dengan Thomas dan menyebutkan alamat dokter Ruhtbone yang sudah ia hapal di luar kepala. "Sepertinya kau akrab dengan dokter yang terkenal itu?" kata Thomas dengan tangan yang masih dalam genggaman gadis itu. Thomas menyadarinya, namun entah mengapa tidak berusaha melepasnya alih-alih berusaha membuat sang gadis memberikan informasi mengenai dirinya. "Ya, aku lumayan sering bertemu dengan beliau, Sir," katanya sebelum ia kembali terdiam untuk sejenak. "Kita belum berkenalan!" pekiknya lagi. "Kumohon jangan berpikir bahwa kau sedang diculik karena gadis lemah sepertiku tidak akan sanggup menculikmu," katanya dengan diakhiri dengan tawa yang berderai. Thomas memicingkan matanya. Kata lemah dan gadis itu sungguh tidak pantas disandingkan dalam satu kalimat yang sama. Apalagi dengan vitalitas kuat yang seolah menguar dari dirinya, sungguh sebuah lelucon yang mengatakan bahwa gadis itu lemah. Dalam imaji terliar Thomas, ia bahkan bisa membayangkan bagaimana gadis itu bisa melawan perampok gunung yang sebelumnya ia hadapi dan gadis itu pasti akan menang dengan telak. "Namaku Annalise Collins. Orang-orang memanggilku Anna, atau Elise, atau Anne," katanya lagi sembari tertawa. "Siapa namamu, Sir?" Thomas menatap wajah Annalise. Mengingat-ngingat keluarga bangsawan bernama Collins dengan putri mereka yang bernama Annalise. Satu sudut otaknya menyimpan mengenai keluarga Collins dan ia sepertinya harus berusaha menggalinya lebih dalam dengan konsentrasi penuh karena efek gadis ini kepadanya sepertinya membuat kerja otaknya melambat untuk kali ini. Namun gadis itu kembali merongrongnya dan membuat otaknya tidak secepat biasanya dalam memproses ingatannya. Annalise terus memaksanya memberikan namanya dan tidak membiarkan dia memiliki waktu untuk berpikir. "Sir? Namamu, adalah?" tanya Annalise lagi-lagi dengan tidak sabar. “Sir? Kau tidak tiba-tiba bisu, kan?” ulangnya lagi. “Sir? Kau yakin benar-benar tidak bisu?” "Kau bisa berhenti bertanya siapa namaku, Miss," kata Thomas dengan jengkel. Ia lalu menarik napas panjang. Lagi-lagi sedikit meringis ketika kereta kuda yang bergoyang membuat punggungnya menyentuh sandaran kursi kereta. Tetapi rasa sakit itu sepertinya tidak mengurangi sifat cerdik Thomas karena dalam kondisi seperti itu pun, Thomas tahu bagaimana seharusnya ia bersikap. "Namaku Thomas William," Hardy. Duke of Wellington. Tambahnya di dalam hati. Setidaknya ia akan menyembunyikan statusnya sampai saat yang tepat datang. Atau sampai dia mengetahui siapa sebenarnya gadis itu. Yang mana pun, Thomas bisa bersabar untuk melihat reaksi dari gadis bangsawan yang tidak ingin diketahui statusnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD