Chapter 1 (A)

906 Words
Thomas, ingatlah untuk selalu menghormati setiap perempuan. Karena peradaban selalu dimulai dari seorang perempuan. Duke of Gordon ke-X. ***   Thomas menyipit menatap kincir angin kecil yang berputar dengan kencang di atas sebuah kapel gereja. Ia lalu mendongak dan melihat langit yang berwarna biru yang bersih dari awan. Mulutnya lalu mencebik muram dan merasakan atmosfer yang kering di sekelilingnya. Badai akan datang nanti malam, dan ia tidak menyukainya. Ia lalu melirik Matthew yang sedang berbicara dengan seseorang dari toko roti dengan tulisan Periwinkle di atasnya. Ia lalu mengernyit, melihat bahwa pemilik toko tersebut adalah seorang pria kekar dan tinggi besar yang sama sekali tidak cocok dengan nama Periwinkle. Mungkin itu adalah lelucon untuknya, pikir Thomas. Matthew masih berbincang dengan pemilik toko roti tersebut untuk beberapa waktu kemudian. Mencari tahu kapan rombongan Puppets Theater akan sampai ke kota Bath. Mereka –atau lebih tepatnya Thomas– perlu bertemu dengan rombongan teater itu. Menyelesaikan yang harus diselesaikan sebelum kembali ke kota London. Ketika dia sedang berkonsentrasi untuk merancang apa yang akan dirinya lakukan, suara pekikkan mengejutkannya. Tatapannya langsung terfokus kepada seorang wanita yang sepertinya berusia akhir dua puluhan yang sedang menatap cemas ke atas sebuah Pohon Oak yang menjulang tinggi. "Kumohon turunlah, Miss. Biarkan Hugo yang membawa Mrs. Hudson turun," pinta sosok itu dengan nada memelas. Wajahnya yang terlihat pias membuat penampilannya seperti sudah kehilangan setengah umurnya. Bahkan semakin Thomas memperhatikannya, wanita itu seolah sudah menghabiskan setengah abad di dunia ini dengan kekhawatiran yang tergambar jelas di wajahnya. Thomas lalu mengikuti arah pandangan wanita malang itu. Mendongak ke atas dan menemukan gaun berwarna kuning kenari yang berkibar di sela-sela hijaunya daun-daun Oak. "Oh, hentikan Wilda! Kau bisa menakut-nakuti Mrs. Hudson- Oh Mrs. Hudson! Berhenti di sana dan jangan berani-berani melangkah lebih jauh!" hardik gadis itu dengan keras. Yang nyatanya lebih menakutkan daripada cicitan dari seseorang yang gadis yang dipanggil sebagai Wilda. Seolah seekor kucing berbulu hitam dan putih itu mengerti apa yang gadis itu katakan, Mrs. Hudson –nama kucing tersebut–malah berangsur menjauh. Membuat gadis bergaun kuning kenari itu mendengkus jengkel dan semakin memanjat naik ke pohon. Kaki-kakinya dengan leluasa memijak tonjolan-tonjolan di batang pohon. Membuatnya semakin menjauhi tanah dan makin membuat sang wanita malang yang berada di bawah pohon –yang Thomas yakini adalah pelayan gadis itu— semakin memekik karena khawatir. Thomas mengamati keduanya dengan rasa tertarik. Berjalan semakin mendekat ke arah mereka yang sebelumnya tertutupi oleh tembok tinggi di sekelilingnya. Mungkin karena keberadaan tembok inilah sehingga sang gadis dengan percaya diri memanjat pohon tanpa rasa khawatir akan pandangan masyarakat kepadanya. Seorang gadis yang terlihat memanjat pohon tentunya akan mendapatkan celaan dari orang-orang dan Thomas benar-benar merasa tertarik karena apa yang gadis itu perbuat saat ini. Thomas lalu menyipit. Menyadari surai pirang keemasan yang dikepang di bagian belakang. Kulit gadis itu berwarna seperti gading, dan lekuk tubuhnya terlihat ramping. Kaki-kakinya terlihat yakin menjejak batang Pohon Oak seolah dirinya memang terlahir untuk memanjat pohon tersebut. Dan ketika ia hampir terpeleset karena salah menapak di satu tonjolan batang pohon tersebut, Thomas bisa mendengar pekikkan dari sang pelayan yang membuatnya mengernyit. "Milady!" "Sttss. Diam Wilda! Harus kukatakan berapa kali bahwa kau tidak boleh memanggilku seperti itu!" bisik sang gadis kesal. Matanya terlihat jengkel dan ia menengok ke kanan dan kiri sementara Thomas langsung bersembunyi ke belakang semak-semak yang lebat. Cukup lebat sehingga gadis itu tidak akan menyadari keberadaan dirinya namun tetap bisa mengamati sang gadis yang kini menghela napas lega. "Kau tidak boleh mengulanginya lagi. Mengerti?" Wilda mengangguk tanpa suara. Namun wajahnya masih terlihat pias dan terlihat merana. Satu sudut bibir Thomas terangkat. Membayangkan wajah sang pelayan yang akan selalu pias jika sang majikan bertingkah seperti apa yang dilakukan oleh nona mudanya itu. Dan, oh! Keberuntungan apa yang Thomas dengar tadi? Milady? Senyum Thomas semakin merekah. Menyadari bahwa di sini ia bisa bertemu dengan bangsawan lainnya yang sedang menyembunyikan identitasnya. Betapa beruntungnya ia! Di kota ini, Thomas sedang ingin membongkar penyamaran dua orang kenalannya. Jadi, apa salahnya jika ia menambah satu daftar dan membongkar identitas asli gadis itu? Informasi mengenai gadis itu mungkin saja berguna untuknya di kemudian hari dan Thomas tidak pernah menyia-nyiakan peluang yang ada. Di tengah-tengah pikirannya, ia mendengar lagi suara pekikkan yang lebih keras. Kemudian, seperti gerakan yang diputar dengan perlahan, Thomas melihat tubuh sang gadis yang tampak limbung dan suara geraman dari kucing berwarna hitam putih itu. Ditambah pula suara pekikkan keras dari sang pelayan dan Thomas tahu bahwa bisa saja, gadis itu terjatuh dan membuat lehernya patah. Tanpa persiapan, Thomas bergerak maju dengan cepat. Mencoba menangkap tubuh gadis itu alih-alih sebelum ia siap, tubuhnya telah tertimpa dengan beban dari gadis itu. Membuat mereka terjatuh dengan Thomas yang terkapar dan ditindih oleh tubuh lembut beraroma jeruk dan madu. Yang Thomas sadari kemudian, ia merasakan luka di punggungnya kembali terbuka dan membuat satu erangan keluar dari mulutnya. Tubuh gadis itu lalu bergerak di atasnya seolah menyadari keberadaan Thomas di bawahnya. Berusaha menyingkir alih-alih lutut sang gadis tanpa sengaja menekan sesuatu di antara kedua pahanya dan membuat Thomas semakin mengerang. "Ya Tuhan! Oh Ya Tuhan! Apa yang terjadi?" kata gadis itu dengan panik. Untungnya ia segera bangkit dan berdiri. Menatap Wilda yang sudah berdiri dengan lemas dan berpegang dengan batang Pohon Oak yang kokoh. Wajah Wilda sang pelayan sudah sangat pucat dan ia pasti akan pingsan jika tubuhnya tidak ditopang oleh pohon tersebut. "Sir. Kau tidak apa-apa, Sir?" tanya gadis itu memburu. Ia lalu berjongkok di sebelah Thomas. Memeriksa dengan mata dan tangannya keadaan Thomas yang segera ditampik Thomas sedemikian rupa. Saat ini bukan waktu yang tepat bagi jari-jari lentik itu untuk menyentuhnya. Apalagi keadaan tubuhnya di bawah sana sedang berdenyut dan membuat Thomas kesal bukan main.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD