Kantin

756 Words
Gadis cantik itu berjalan dengan sangat hati-hati menuruni tangga. Sepatu hak tinggi cukup mempersulitnya. Penampilannya memang paling berbeda dibandingkan mahasiswi lain. Setelan blazer dengan rok sampai lutut. ”Her, gua cariin lu ke perpusakaan, ternyata lu di sini.” ”Mumpung bang Tigor mau bayarin gua makan, makanya gua di sini.” ”Halo, Maya! Rapi amat, mau kemana? tanya Tigor. Kerlingan matanya nampak menjijikan. Sebelas-duabelas dengan Pak Erwin. ”Gua mau langsung kerja, makanya pake pakaian begini.” Maya menjawab dengan intonasi yang agak tergesa. ”Her, kata anak-anak, ada selebaran dari Pak Erwin ya? Gua minta sekarang deh. Terus, nanti gua juga tolong diabsenin ya.” Emang lu mau kemana? Buru-buru amat. ”Gua sih masuk kerja jam tiga, cuma gua ada urusan dulu. Cepat dong! Foto copy-nya mana? Cowok gua udah nunggu di parkiran.” Maya mulai tidak sabar. Setelah menerima lembar foto copy-an, Maya pun bergegas ke luar kantin dan pergi meninggalkan dua lelaki jomblo itu. Heru hampir tak berkedip, matanya terus mengikuti Maya, sampai bayangannya hilang. Tigor menangkap gejala tak waras pada temannya itu, ia segera bertindak sebelum keduluan syetan. ”Woy, ngeliatnya biasa aja, itu iler ditampung dulu, sampe segitunya. Kesambet baru tau rasa.” Heru tersadar seketika, wajahnya kembali menatap seraut wajah yang membuatnya ill feel menyadari bayangan indah itu berganti tampang Tigor di hadapannya. Lu itu sebenarnya lagi pendekatan sama yang mana? Sok ganteng amat. Tigor geleng-geleng. ”Kalau Maya, kelihatannya sulit. Dia itu orangnya mandiri, kerja sambil kuliah. Sudah jelas dia bakalan nyari cowok yang mandiri, juga mapan. Seperti cowoknya yang sekarang ini. Terus kalau si trio kwek-kwek, lu bisa-bisa cuma punya kolor doang kalo ngotot ngikutin gaya hidup mereka.” ”Iya-iya... Gua juga tahu,” singkat Heru, dan ia kembali terdiam menyerap analisa Tigor sang motivator spiritual. Selanjutnya ia justru tergoda untuk melanjutkan diskusi yang sekiranya akan lebih berkelas dari sekedar debat kusir ini. ”Kalau Sekar, gimana menurut lu? Tiba-tiba Heru menyebut sebuah nama yang begitu sakral di telinga cowok-cowok kampus. Tigor spontan melotot. Yah, gila lu, apalagi Sekar. Kalau yang ini, elu bener-bener harus ngaca. Sory Man, elu itu dari lahir udah dikutuk dewa. Harus mandi tujuh sumur. Kata adik gua, pramuka pramudi, elu itu nggak pernah mandi. Bodo, yang ngejek banyak daki. balas Heru tak mau kalah. Bokaplu tukang judi. Tigor asal balas. Apaan tuh, balesan lu nggak kreatif, nggak nyambung. Lho, yang penting di belakang kalimatnya ada huruf -I-.” Mereka berdua geleng-geleng sendiri mensikapi berbalas pantun mereka yang tidak bermutu. Kemudian Tigor menyambung kembali ke diskusi mereka. ”Kita kembali ke Sekar,....Elu jangan egois, kalau dia, gua juga mau. Cuma yang naksir dia banyak. Yang udah ditolak juga banyak. Penjahat kelamin macam si Arif aja nggak bisa ngedeketin, apalagi penjahat Unyil macam kita. Coba elu bayangin, Sekar itu kan asli dateng dari Jogja, medok Jawanya aja belum ilang. Cantiknya itu lho, kayak putri kraton. Jadi... kita juga mesti rapi, intelek, sopan, lemah lembut dan tidak sombong. Pokoknya kayak Priayi.” ”Maksudlu, pake blangkon? Lu aja sana. Gua sih ogah. Yah, dibilangin. Gua serius. Gua walau Batak, tapi kalo Sekar mau sama gua, dia nyuruh gua ngomong Jawa, sampai Jawa Kromo atau apalah, gua jabanin, gua pelajarin bahasa itu mati-matian sampai ke negeri Cina. Apalagi cuma disuruh make blangkon, bawa keris, jam gandul, gua jabanin. ”Bawa keris? Keris yang mana, ha ha. Udah ah, gimana lu aja. Gua sih cuma ngayal, nggak serius. Otak gua masih waras, masih punya malu buat ditolak. Emang elu. ” Heru tersenyum geli, lalu menyulut rokoknya. ”Woy, dirty mind, otak lu ngeres. Samalah, gua juga cuma berandai-andai. Terus, planing lu gimana? Udah deh, lupain Sekar, itu jelas buang waktu. Kita ini, dalam segala hal harus realistis. Lalu fokus, biar lebih terarah. Kalau gua lihat, dalam banyak hal elu itu gayanya samber sana, samber sini. Sok sibuk dan sok eksis nggak puguh lagu. Seringnya semua setengah-setengah, sehingga keteteran nggak ada yang jadi. Mending yang terukur, gimana kalau Amanda? Dia kemarin nanyain lu, katanya lu udah jarang datang lagi ke tempat kos-nya. Terus waktu gua singgung kalau lu pernah maen ke rumahnya di Sukabumi, dia senyum-senyum gitu.” ”Yang bener, Gor? Heru mulai ge-er. Udah, nggak usah pikir panjang. Elu hanya tinggal fokus nggak ke yang lain lagi, lalu intensif, evaluasi setiap perkembangan. Jangan buru-buru, kalau momennya udah tepat, baru,...langsung tembak! Tigor memprovokasi dengan gaya bak motivator ternama yang tidak mampu memotivasi dirinya sendiri. Kali ini Heru nampak benar-benar serius, ia mulai terjerat provokasi. Dihisapnya bara api dalam-dalam. Harapannya melambung tinggi bersama asap tembakau.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD