Satu bulan tertinggal di belakang, waktu terasa cepat berlalu dan ia sudah benar-benar bisa melupakannya. Ternyata tidak terlalu sulit. Rutinitas kampus membuatnya lupa akan semua itu. Ujian Akhir Semester hanya tinggal empat hari lagi. Saat itu ia dan Rena baru saja selesai mengurus kartu ujian di ruang tata usaha.
”Liburan semester, lu mau kemana? Rena bertanya.
Rambutnya terlihat lucu diponi. Rena memang punya bakat melawak. Kepolosan tingkah lakunya sering membuat orang lain gregetan. Ketawanya pun sering ke luar pada waktu yang kurang tepat. Rena memang teman yang menyenangkan, easy going dan tak pernah mutung.
”Gua nggak kemana-mana, di rumah aja.”
”Her, minggu depan kan gua ulang tahun, terus gua mau ngadain pesta kecil-kecilan, kurang lebih buat sepuluh orang. Tapi gua maunya bukan di rumah, tapi di rumah makan yang murah. Elu tahu nggak tempat makan yang murah dimana, soalnya bajet gua taun ini minim.”
”Memang bajet lu berapa?”
”Dua Ratus -Tiga Ratus Ribu, cukup nggak ya?”
”Aduh kasihan amat lu! Tiga ratus ribu mau makan di restoran, udah gitu yang diundang sepuluh orang. Yang benar aja. Mepet banget, segitu mah.”
”Maksud gua restorannya yang biasa-biasa aja.”
”Ya udah, kalau gitu ngebaso aja, mungkin uangnya malah sisa.”
”Yah, elu gimana sih. Nggak elit banget.”
”Emang kenapa, elu kebanyakan gaya, yang penting ngumpulnya. Elu kan bisa bikin mewah di kuenya. Makanan utamanya biasa, tapi kue ulang taunnya beli yang mewah.”
”Kue ulang taun nggak termasuk, gua udah bajetin terpisah. Tapi kalo ngebaso doang, enggak ah. Ayo dong, elu kan biasanya banyak ide buat yang gini-gini.”
Heru berpikir sejenak. Kalau masalah ide itu gampang. Cuma Ia heran saja, mengapa sebagian orang menganggap begitu penting merayakan ulang tahunnya bersama banyak orang. Apalagi sampai ngebayarin makan. Ia sendiri sudah beberapa kali melewatkan hari ulang tahunnya dengan biasa saja. Bahkan berlagak lupa, dan tidak ingin orang lain tahu. Tapi kalau ulang tahun orang lain, seringnya ingat, paling heboh nyorakin, karena itu berarti makan gratis. Sungguh tipikal umumnya orang Indonesia, mental susah, mental gratisan. Di banyak negara mengucapkan selamat ulang tahun, mendoakan bahkan memberi kado kepada yang berulang tahun menjadi tradisi. Kalo di kita ya sama, tapi kelanjutannya minta traktir. Itu yang paling terlintas di otak. Dan herannya yang ulang tahun mau juga neraktir, kadang justru yang berniat seolah itu kewajiban. Heru sendiri memang tidak pernah memaknai kehidupan dengan berlebihan. Mungkin ia salah satu orang yang jarang menghargai suatu pencapaian. Bersyukur pun mungkin tidak, seolah segalanya lumrah. Tapi sudahlah, terserah, kalau dianggap penting, ya rayakan saja. Bukan dia ini yang bayar.
”Ren, waktu gua kuliah di Perhotelan, gua punya temen yang punya rumah makan dan pemancingan di didaerah Cijapati, Majalaya. Tempatnya asyik, di gunung, lewatnya jalan alternatif Majalaya-Garut. Pemandangannya juga bagus, lagipula belum terlalu ramai seperti Lembang. Gimana kalau di sana aja?” Seperti biasanya kalau untuk urusan seru-seruan, Heru memang mudah dapat ide. Bila di dalam organ otaknya ditelusuri lewat kamera visual animasi tiga dimensi. Otaknya itu memang selalu dipenuhi denyut-denyut ide yang melompat-lompat spontan seperti grafik statistik pada layar mesin detak jantung. Lompatan ide yang terus memantul di dinding pembuluh syaraf dengan penuh kejutan yang mengakibatkan sikap hiperaktif. Tak heran kalau ia juga sering merasa pusing dan pegal, urat-urat syarafnya membengkak di sekujur pundak, leher sampai kepala akibat kapasitas otak yang tak mampu menampung beban ide yang semrawut bagaikan kabel detenator bom waktu yang tidak diseting dengan baik, bisa meledak di waktu dan kondisi yang tidak tepat atau terlambat.
Di tengah anak tangga yang berdebu, Rena meringis mendengar usulan Heru.
”Gila lu, jauh amat, kenapa nggak sekalian aja di Puncak.” Rena menjadi tak yakin dengan Heru.
”Eh, denger dulu! Kita ke sananya nggak pulang pergi. Kita di sana nginep. Di atas restorannya ada ruangan buat disewain, cukup buat sepuluh orang bahkan lebih.”
”Gua sih mau aja, tapi elu kan tahu bajet gua cuma segitu.”
”Tenang aja, ruangannya gua jamin nggak perlu bayar, nanti gua ngomong sama temen gua. Elu cuma bayar makannya doang. Kita berangkat dari sini sore, sampai sana langsung makan malem, habis itu nginep, besok paginya makan pagi terus pulang. Jadi elu cuma bayar makan malemnya sama makan paginya doang. Nggak akan mahal deh, soalnya makanannya prasmanan, udah gitu menunya makanan Sunda, nggak yang aneh-aneh. Buat makan paginya nasi goreng aja gua rasa cukup. Gimana menurutlu? Paling yang agak repot, kita ke sana harus dua mobil.”
Rena menundukan kepala, membiarkan rambut poninya menyentuh hidung dan bibir, lalu dengan bibir mungilnya ia tiupkan ke atas, helaian poninya nampak terangkat mirip badut sirkus. Selalu begitu bila sedang berpikir. ”Oke deh gua setuju, kalau masalah mobil gampang, ada mobil gua, ada mobil Zaky atau yang lainnya. Tapi yang ngurus semuanya elu ya Her, please. Kalau bisa elu juga jangan bilang sama anak-anak kelas yang lain, gua nggak enak, soalnya anak kelas yang gua ajak cuma elu, Zaky, Indri sama Sekar, selebihnya tiga orang sepupu gua, terus dua orang lagi temen SMA gua.”
Heru tertegun, berpikir. ”Sekar? Apa aku tidak salah dengar? Sejak kapan Rena dekat dengan Sekar? Apa benar dia mau ikut?
****
Kuliah berlalu, waktunya pulang. Parkiran mulai dipenuhi mahasiswa. Beberapa mobil mulai keluar satu-persatu, namun banyak juga yang tidak langsung pulang. Mereka nongkrong-nongkrong di dekat tukang batagor dan gorengan. Beberapa mahasiswa yang tidak terlihat di kelas, tapi pada saat pulang mereka ada di sana, ngobrol bersaut-sautan. Tidak jelas mana si mamang yang jualan. Mahasiswa dan tukang gorengan, tampangnya sama. Mahasiswa dengan bakat mafia, hobinya ngegenk. Paling ribut, selalu bergerombol, tidak pernah sendiri. Minimal berdua/bertiga, dan temannya itu-itu juga. Tapi coba sekali-kali kita ikut nimbrung, dan jangan heran, yang diobrolin sering tidak jelas, tidak berbobot untuk ukuran mahasiswa. Tau-tau ketawa, bersiul, nyuitin orang, bahasa daerah yang melengking dan meraung. Berantem dan bercanda tidak ada bedanya. Kita hiraukan saja para mafia gorengan itu, kembali pada Heru dan Rena.
”Her, temenin gua ke Gramed sebentar yuk!” Rena menarik tas punggung Heru. ”Elu nggak buru-buru pulang kan?”
”Nggak, Emang mau ngapain ke Gramed?”
”Nyari buku lah, masak mau nyalon.” Rena memberikan kunci mobil. ”Elu aja yang nyetir, mobil gua di parkir di ujung.”
”Tumben lu mau beli buku, sejak kapan lu hobi baca. Ya udah, elu tunggu aja di sini! Cuma,duit parkirnya mana?” Rena merogoh saku, memakluminya.
Heru berjalan mencari Suzuki Katana putih. Mobil Rena diparkir di ujung, di sebelah mobil Kijang. Ia terpaku sejenak. Itu mobil Kijangnya Tigor, terlihat jelas dari jauh stiker oranye bermotif petir melintang pada sisi mobilnya yang dicat merah. Ia tidak tahu kalau Tigor datang ke kampus. Semenjak tadi Tigor tidak ada di kelas. Ia pun mendekat. Mobil Rena persis di sebelah Kijang itu. Ia berdiri tepat di depan moncong mobil Kijang. Tidak terlalu jelas. Cahaya matahari membuat refleksi pada kaca depan. Tapi ia yakin ada orang di kursi depan. Ia lebih mendekat untuk memastikanOh Tuhan, ia benar-benar tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Di kursi depan, Tigor berciuman dengan Amanda. Ia ternganga. Kakinya tak bisa digerakan, terasa tertancap di tanah. Mereka sadar ada orang berdiri di depan kap mobil. Amanda tertunduk, Tigor diam memandangnya. Tigor pun ke luar dari mobil. Berdiri di samping pintu.
”Her, elu mau kemana? Tigor nampak gugup.
Heru masih terdiam. ”Nggak kemana-mana, cuma mau ngambil mobilnya Rena.” Jawabnya sambil mengacungkan kunci mobil. Dengan pikiran yang kalut, ia segera beranjak. Diinjaknya pedal gas dalam-dalam, menggemuruhkan mesin yang tersentak. ”Tuhan! Mengapa harus Tigor?…”