Fame Station

1337 Words
Hari itu Heru sangat bersemangat sekali kuliah. Bibirnya selalu tersenyum lebar. Kadang malah tertawa sendiri. Beberapa hari ini, ia sengaja tidak membawa motor. Dengan begitu, ia dapat pulang berjalan kaki menemani Amanda. Paling tidak, sampai jalan Dago. Ia juga mulai rajin ke tempat kosnya, mengerjakan tugas. Makan di kantin dan sebagainya, selalu bersama. Dan di suatu waktu pada jeda pergantian mata kuliah terakhir, keduanya berjalan santai di lorong kampus. ”Her, lu mau ikut ke Fame nggak nanti malem? tanya Amanda. Pada masa itu di Bandung, Fame Station adalah salah satu Pub yang cukup populer bagi anak-anak dugem. ”Sama siapa aja?” Heru menjawab sambil sesekali menyapa sok kenal sok akrab pada tiap mahasiwa yang berpapasan. Berlagak ngetop. ”Temen kos gua, si Beti, punya free pass buat lima orang. Terus dia ngajakin gua. Kalau dia sih, perginya sama cowoknya dan temen cowoknya. Kalau lu mau, kita jadi pergi berlima, pake mobil cowoknya Beti.” ”Boleh juga. Jam berapa kita pergi?” ”Belum tau. Pokoknya, mendingan lu dateng ke tempat kos gua sebelum jam sembilan malam.” **** Malam itu Heru berpakaian serapi mungkin. Sangat jarang ia begitu. Kelakuannya mirip ABG yang baru pertama kali di ijinkan keluar malam oleh orang tuanya. Semua di check sound ulang. Kerah baju, rambut cepaknya, gigi dan tak lupa jerawat. Sudah keren, cermin pun sampai retak. Angkutan umum di tempatnya hanya lewat sampai jam delapan malam. Sebentar-sebentar ia melihat jam tangannya. Jarum-jarum waktu terlihat malas sekali untuk bergerak. Seperti kucing besar dalam sangkar sempit, ia mondar-mandir tidak karuan. Fame Station tidak terlalu ramai malam itu, mungkin karena bukan malam minggu atau mungkin juga karena band yang akan tampil tidak terkenal. Ia megenal Beti, sebagai kakak kelas di kampus, tapi ia baru kenal cowok Beti, Erik dan juga temannya, Nando, malam itu. Amanda berpakaian sangat modis, malah cenderung terlihat sexy dan berani. Sebetulnya, ia tidak terlalu suka pergi ke tempat seperti itu. Tempat itu mengingatkannya pada masa kuliah di Akademi Perhotelan. Mendatangi tempat-tempat semacam Fame Station, seolah-olah menjadi suatu keharusan. Mengingat ilmu yang dipelajari, berhubungan dengan usaha pengolahan serta penjualan makanan dan minuman. Tapi ia tidak merasa canggung. Bagaimanapun ia pernah kerja magang pada sebuah Bar Hotel di Lembang. Heru memesan sebotol soft drink. Beti, Erik dan Nando bersulang dengan satu pitcher beer. Sementara Amanda asyik meneguk orange juice. Band yang tampil malam itu tidak begitu mengecewakan, mereka bermain cukup rapi pada lagu-lagu Top Fourty. Mereka mampu memainkan lagu-lagu yang diminta oleh pengunjung dengan baik. ”Her, turun yuk! Amanda bergerak dari kursinya. ”Turun kemana? Apa lu pikir kita sedang di atas.” ”Lu ini, ayuk atuh!” Amanda menarik lengan Heru. Heru tak bisa menolak. Di atas dance floor Amanda sangat enerjik. Ia cukup memahami gerakan-gerakan tari, bahkan ia mampu memadukan hip-hop dan eksotisme dengan sempurna. Heru merasa darahnya mendidih melihat Amanda, fantasinya bersliweran. Amanda menari dengan total seperti sedang mengikuti audisi cheerleader, dan Heru jurinya. Heru sendiri terlihat semakin konyol mengimbangi gerakan Amanda. Ia memang tidak bisa menari, hanya percaya diri yang ia punya. Ia menggoyangkan badan sekenanya, tapi lebih terlihat seperti senam kesegaran jasmani. Akhirnya, ia pun putus asa, ia benar-benar lelah dan malu. Amanda tidak terlihat lelah sedikit pun, ia justru semakin bersemangat pada lagu dan beat-beat tertentu. ”Ayo, Her. Jangan berhenti sekarang!Amanda memberi semangat. Ia memegang tangan Heru sekali lagi. Untuk sementara ia luluh dan mencoba lagi. ”Gua nggak bisa nge-dance.” ”Cuek aja, yang penting kita happy. Amanda memulai kembali tariannya. Heru benar-benar lelah, ia kembali ke kursi dan membiarkan Amanda terus menari sendiri. Ia menenggak soft drink-nya sekali habis, ia ingin segera pergi dari tempat itu. Ia pandangi Amanda yang nampak menikmati suasana. Tidak begitu lama Amanda sudah menari bersama seorang cowok, ternyata Nando. Nando juga pandai menari, mereka terlihat serasi, tertawa bersama. Heru terus memandangi mereka, terus dan terus. Untuk sementara Nando dan Amanda masih terus menari, sesekali mereka berhenti pada pergantian lagu. Batinnya bergolak; kenapa jadi gelisah, perasaan jadi nggak menentu begini. Baju basah kuyup. Rasanya lebih lelah duduk di sini daripada saat menari tadi.” Heru sungguh sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Pengunjung semakin ramai, dance floor semakin sesak. Ia berjalan menerobos kerumunan orang. ”Amanda! Ada yang mau gua omongin sebentar.” ”Ngomongin apa? Amanda terus bergoyang. ”Kita duduk dulu. Sebentar ya, Nan! Heru berkata pada Nando sambil menarik lengan Amanda ke luar dari kerumunan. Amanda meneguk orange juice-nya. Ia nampak lelah, tapi cukup tenang dan tidak begitu terlihat penasaran. ”Mau ngomongin apa sih? Kayaknya serius amat.” Untuk sementara justru Heru yang terdiam. Ia gugup, tapi tatapan mata Amanda semakin memaksanya untuk jujur tanpa pilihan. ”Amanda, gua...gua suka lu. Suaranya terdengar gemetar. ”Apa? Maaf, lu ngomong apa barusan?” Suara musik memang terdengar keras, tapi ia yakin kalau Amanda mendengar ucapannya. ”Gua suka lu! Gua ingin jadi cowok lu,” Ujar Heru lebih mantap. Amanda terdiam, Ia menunduk sebentar. ”Lu serius?” ”Iya, gua serius. Udah gua pikirin mateng-mateng. Gua nggak bisa menunggu lebih lama lagi buat ngomongin ini.” ”Tapi gua nggak bisa jawab sekarang. Gua perlu berfikir.” ”Terus kapan lu mau ngejawab?” ”Mungkin besok, tapi gua nggak janji.” Gemerlap malam berlalu dengan tanya, menyelipkan kekakuan dan kegalauan dalam diri pria penuh harap. Kerlap-kerlip lampu hiburan berganti temaram yang menggantung lunglai pada sepetak kamar sederhana. Menatap eternit putih kekuningan dengan sekujur noda-noda pulau bekas tampungan air dari genteng yang pernah bocor. Heru tidak bisa tidur, ia benar-benar gelisah. Terbayang masa kebersamaannya bersama Amanda. ”Apakah kebersamaan ini akan terus terjaga ataukah akan berakhir. Tapi mengapa harus berakhir. Aku harus lapang d**a. Tapi apa bisa? Ngebayanginnya aja ngeri, gimana kalau ia menjawab tidak. Tuhan! Aku ingin malam ini segera berakhir.” **** Amanda duduk di deretan paling depan, ia datang terlambat hari itu. Hanya sekejap saja ia melihat Heru ketika hendak duduk. Pelajaran pun usai. Heru tak sadar Amanda sudah tak ada di kelas. Ia pergi begitu cepat. Heru segera mengejarnya ke luar. Amanda berjalan sendiri. ”Amanda! Buru-buru amat, Heru mengagetkan Amanda yang baru menyadari Heru sudah berjalan di sampingnya. ”Gua mau ke warnet,” jawab Amanda acuh. ”Gimana? Apa jawaban lu?” Heru berusaha menatap wajah Amanda, wajah yang tertunduk memandangi kaki yang tetap melangkah. ”Gua belum bisa jawab sekarang. Amanda terus berjalan. ”Amanda, plis, jangan siksa gua. Gua terima apapun jawabannya. Lu cuma perlu jawab: ya atau tidak. Itu aja.” Amanda menghentikan langkah. Ia menatap Heru dalam. ”Kayaknya kita lebih baik berteman aja. Lu nggak apa-apa kan? Heru terdiam, apa yang ia takutkan benar-benar terjadi. ”Gua tau lu pasti kecewa, tapi kita masih bisa berteman seperti biasa.” Pernyataan Amanda memang tak banyak, jawaban standar dalam menolak cinta. Ia menatap Heru, menunggu respon. Heru hanya diam, ia merasa tak perlu berkomentar. Dan memang tak ada kata-kata yang terbesit. Baginya ditolak ya ditolak, titik, tak perlu didramatisir. Tapi justru Amanda yang nampak ingin situasinya menjadi dramatis. Ia mencoba merangkai kata berikutnya. Namun Heru cepat terjaga, ia menangkap gelagat Amanda yang akan mengurai kata-kata bijak yang seakan menenangkan dan membuat ia berbesar hati. Dan itu jelas akan membuatnya makin merana. Apalagi kalau ditanggapi dengan lebai, mending kalau hanya dianggap teman, tapi ada yang lebih geli, bisa terjadi istilah adik-adikan atau kakak-kakak-an. Kamu udah saya anggap seperti kakak saya sendiri. Najis, jangan sampai. Heru segera berbalik dan berlalu, tepatnya lebih mirip berlari karena langkahnya begitu cepat. Ia tak peduli kalau itu hanya membuatnya nampak kekanakan. Kalau hendak dibilang cool, seharusnya ia tak perlu berlari, cukup berjalan tenang tanpa perlu menoleh lagi walau Amanda memanggil. Sedangkan di tempatnya, Amanda hanya terdiam bingung dan tak berusaha memanggil. Hanya beberapa kata yang terlintas dipikirannya; orang yang aneh. Sesaat kemudian, Heru memperlambat langkah. Nafasnya menderu dan langkahnya menjadi terseok. Terevaluasi sudah, setiap detil action plan yang menjadi berantakan, dan optimisme yang menggelora menciut seketika. Heru tidak tahu bagaimana ia akan menjalani hari-hari selanjutnya di kampus. Segalanya akan terasa lain, keceriaan hanya akan dipaksakan
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD