BAB 7 — Tubuh Kuat, Hati Rapuh

738 Words
Hari itu dimulai dengan baik—atau setidaknya Aira mencoba meyakinkan dirinya begitu. Ia bangun lebih pagi, menyiapkan sarapan untuk Aksa, menyiapkan bekal kecil, dan memastikan seragamnya rapi. Aksa tersenyum cerah, pelukan kecilnya membuat hati Aira hangat sejenak. Tapi kehangatan itu tidak bertahan lama. --- Di kantor, suasana tiba-tiba berubah menjadi medan perang. Bu Mira sibuk mondar-mandir sambil membawa tumpukan berkas. Beberapa pegawai saling bicara terburu-buru. Ada nada panik di udara. Aira belum sempat duduk ketika Bu Mira menatapnya tajam. “Ra! Ini berkas untuk divisi utama. Kamu input sekarang. Deadline jam 11.” Aira mengambil berkas itu cepat. “Siap, Bu.” Baru ia membuka halaman pertama… Raka muncul dari ruangannya. Semua pegawai langsung duduk lebih tegak. “Aira,” panggil Raka. Aira menelan ludah. “Iya, Pak?” “Laporan keuangan yang saya minta kemarin, sudah sampai mana?” Bu Mira melirik, wajahnya seperti menahan senyum sinis. Aira memegang map yang baru diserahkan padanya barusan. “Saya… sedang mengerjakan berkas ini dulu, Pak. Ada deadline jam 11.” Raka melihat tumpukan berkas itu dengan dahi sedikit berkerut. Lalu tatapannya beralih ke Bu Mira. “Bu Mira, bukankah laporan ini harusnya dikerjakan staf lain? Kenapa diberikan ke Aira?” Bu Mira langsung berubah mimik. “Oh… itu… karena yang lain ada tugas lain, Pak.” Tapi Aira tahu betul: itu bukan tugasnya. Bu Mira sengaja mengalihkan pekerjaan yang bukan bagiannya. Raka menatap Aira kembali. “Kamu selesaikan laporan saya dulu. Berkas itu nanti saya atur ulang penugasannya.” Aira mengangguk cepat. “Baik, Pak.” Untuk pertama kalinya… ada seseorang yang membela dirinya. Dan itu membuat Aira merasa aneh. Hangat. Tapi juga takut berharap. --- Ia bekerja secepat yang ia mampu. Tangannya bergerak, jari-jari mengetik cepat. Ia mencoba tidak salah, tidak lambat, tidak terlihat lemah. Tapi ketika jam hampir menunjukkan pukul 10… Ponselnya tiba-tiba bergetar. “Mama… Aksa demam.” Pesan itu dari ibunya. Aira langsung berhenti mengetik. Jantungnya seperti jatuh ke perut. Ia membuka pesan berikutnya. “Tiba-tiba panas. Badannya lunglai.” Napas Aira tercekat. Tangan yang tadi sibuk bekerja, sekarang gemetar hebat. Ada dua dunia yang menariknya dari dua arah: anaknya… dan pekerjaannya. Ia berdiri pelan dan mendekati Raka yang sedang memeriksa laporan di mejanya. “Pak…” suara Aira hampir tidak keluar. “Saya… anak saya demam. Saya harus pulang sebentar.” Raka menatapnya lama. Bukan tatapan marah. Bukan tatapan kecewa. Lebih seperti: berusaha memahami situasi yang tidak terucap. “Kamu sudah selesai sebagian besar,” katanya pelan. “Kirimkan sisanya ke email saya begitu kamu bisa.” Aira mengangguk cepat. “Terima kasih, Pak… terima kasih banyak.” Tapi sebelum ia sempat berbalik, Raka bicara lagi. “Aira.” Aira menatapnya. “Kalau kamu butuh sesuatu… bilang saja.” Itu kalimat sederhana. Tapi buat Aira… itu seperti seseorang akhirnya menggenggam bahu rapuhnya. --- Aira pulang dengan langkah terburu-buru, nyaris berlari. Begitu sampai rumah, ia langsung mendapati Aksa terbaring lemah, pipinya merah, napasnya panas. “Mama…” suara Aksa lirih. Aira langsung memeluk tubuh kecil itu, hatinya hancur. “Sayang… kenapa panas gini…” Suara Aira bergetar. Ibunya menghela napas. “Baru tadi naik, Ra. Tiba-tiba.” Aira mengusap keringat di dahi Aksa. “Bu, saya bawa Aksa ke klinik sekarang.” Ia menggendong Aksa dengan kedua tangan yang gemetar. Anak kecil itu menyandarkan kepala di bahunya. “Mama jangan tinggalin Aksa, ya…” bisik Aksa. Aira menahan isak. “Enggak, Sayang… Mama di sini. Mama selalu di sini…” Di taksi menuju klinik, Aira memandangi wajah pucat anaknya. Kerja boleh menuntut banyak hal. Orang boleh menyalahkan banyak hal. Tapi Aksa… Aksa adalah satu-satunya alasan ia tetap hidup. Dan di momen itu… ia sadar: Tidak ada pekerjaan apa pun yang lebih penting dari menjaga napas kecil yang bersandar di lehernya. Ia mengecup rambut Aksa yang panas. “Maafin Mama, Sayang…” “Maafin Mama kalau selama ini terlalu sibuk sampai nggak lihat kamu sakit…” Air mata jatuh. Diam-diam. Tanpa suara. Aksa menggenggam bajunya lemah. “Mama jangan nangis…” Dan Aira menutup mata. Terlalu banyak hari seperti ini… di mana dunia menuntutnya untuk kuat, sementara hatinya sudah robek berkali-kali. --- Saat mereka tiba di klinik, Aira tidak menyadari ada satu pesan belum terbaca di ponselnya. Dari Raka. “Kamu baik-baik saja?” Pesan itu terkirim lima menit setelah Aira pergi dari kantor. Dan tanpa Aira tahu… sejak ia keluar tadi, Raka tidak berhenti memikirkan tatapan mata perempuan yang pergi sambil menahan tangis itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD