Aira terbangun lebih pagi dari biasanya. Bukan karena segar… tapi karena semalaman ia bahkan tidak benar-benar tidur.
Matanya bengkak, perih, seperti habis bertarung dengan seluruh dunia.
Aksa sudah duduk di ruang tamu, masih memakai seragam sekolahnya yang kusut.
Ia tidak banyak bicara.
Biasanya, Aksa selalu duduk dekat Aira… tapi pagi ini, jaraknya terasa jauh sekali.
“Masih sakit?” Aira berusaha memecah kesunyian. Suaranya hampir tak keluar.
Aksa menggeleng. Tapi wajahnya… begitu murung.
Ada hal lain yang disimpannya, dan Aira bisa merasakannya.
“Maafin Ibu… kemarin Ibu—”
Aksa tiba-tiba memotong, matanya berkaca-kaca.
“Bu… Aksa takut…”
Aira tertegun. “Takut apa, Nak?”
“Takut Ibu pergi. Takut Ibu capek sama Aksa…”
Kata-kata itu menghantam d**a Aira lebih keras daripada semua lelah yang pernah ia rasakan.
Bagaimana mungkin seorang anak sekecil itu merasa takut kehilangan dirinya?
Aira memeluk Aksa erat, seerat yang ia bisa.
Tapi entah kenapa, ia justru merasa semakin kecil—semakin rapuh—di dalam pelukan itu.
“Nggak, Sayang… Ibu di sini. Ibu nggak akan ninggalin kamu. Apa pun yang terjadi.”
Aksa menggigit bibirnya, menahan tangis yang nyaris pecah.
“Tapi kemarin Bapak bilang… katanya Ibu bisa lepasin Aksa kalau sudah nggak kuat…”
Jantung Aira berhenti berdetak sesaat.
Jadi… itu sumber ketakutannya.
Aira merasakan amarah, sedih, dan sesak bercampur jadi satu.
Meski lelaki itu sudah lama pergi, rupanya lukanya masih tinggal… dan menyisa pada anak yang tak pernah salah.
“Aksa… jangan percaya omongan itu.”
Aira mengusap pipi anaknya yang basah.
“Kamu itu napasnya Ibu… kamu alasan Ibu terus hidup sampai hari ini.”
Aksa mengangguk kecil, lalu memeluk Aira lebih erat.
Namun di balik pelukan itu… Aira tahu dirinya sedang rapuh.
Semalam, ia hampir menyerah—hampir benar-benar runtuh.
Dan hari ini, ketika anaknya memohon agar ia bertahan… barulah ia sadar:
Tidak ada yang akan menyelamatkannya… kecuali dirinya sendiri.
---
Siang itu, Aira pergi bekerja seperti biasa.
Tapi pikirannya kacau.
Setiap langkah rasanya berat seperti membawa beban yang tak terlihat.
Ia tersenyum kepada pelanggan… tapi di balik senyum itu, ada hati yang retak.
Saat ia sedang merapikan rak, ponselnya bergetar.
Pesan dari Arga.
“Kamu kerja di mana? Aku mau mampir.”
Aira terdiam.
Ia tidak siap bertemu siapa pun.
Tidak dengan keadaan hatinya seperti ini.
Tidak ketika matanya masih sembab.
Tidak ketika dirinya nyaris runtuh pagi tadi.
Tapi Arga… lelaki itu tidak pernah menyerah untuk hadir.
Aira mengetik… lalu menghapus.
Mengetik lagi… lalu menghapus lagi.
Akhirnya:
“Jangan. Aku lagi nggak enak badan.”
Balasan Arga datang cepat.
“Kalau kamu nggak enak badan, harusnya justru ada yang jaga kamu.”
Aira memejamkan mata.
Tidak ada yang pernah mengatakan kalimat itu… sejak bertahun-tahun lalu.
Tapi ia tidak boleh goyah.
Kehidupannya bukan ruang untuk cinta baru—bukan saat ia bahkan masih sibuk menyembuhkan dirinya sendiri.
Ia hanya membalas:
“Aku baik-baik aja. Benar.”
Meskipun itu… kebohongan paling besar hari ini.
---
Saat pulang, Aira menemukan Aksa tertidur di depan TV dengan tas sekolah masih dipunggung.
Rasanya seperti melihat bagian hatinya sendiri yang kelelahan.
Aira menggendong Aksa pelan-pelan.
Di pundak kecil itu, seakan ada seluruh alasan untuk bertahan.
Saat meletakkan anak itu di kasur, Aira memandangi wajah polosnya yang damai.
“Maafkan Ibu…” bisiknya.
“Untuk semua air mata yang nggak sengaja kamu lihat… dan semua luka yang nggak pantas kamu dengar.”
Namun kalimat yang tidak pernah ia ucapkan itu terus berputar di kepalanya:
“Benarkah aku kuat? Atau aku hanya terus memaksa tubuh yang sudah hampir hancur?”
Aira menutup mata.
Untuk pertama kalinya… ia mengizinkan dirinya menangis tanpa suara.
Di rumah yang sunyi itu, di antara pekerjaan yang menumpuk dan tekanan hidup yang tak berhenti, Aira sadar satu hal:
Kadang, yang paling kuat pun butuh tempat untuk bersandar.
Sayangnya, ia tak punya siapa-siapa… kecuali dirinya sendiri.