Angin sore pelan-pelan mulai turun ketika Aira menapakkan kaki keluar dari gerbang sekolah. Di tangannya, map berwarna krem yang sudah sedikit kusut karena terlalu sering digenggam sejak pagi. Zidan melambai dari kejauhan, wajahnya cerah seperti biasa.
“Waaah, calon novelis,” godanya sambil ikut berjalan di samping Aira.
Aira mendengus pelan. “Belum tentu aha. Bisa aja karya aku cuma jadi folder ‘Draft Tak Pernah Jadi’. Kaya biasanya.”
“Tapi kali ini beda,” balas Zidan. “Kamu pulang dari ruangan gurumu tadi dengan wajah yang nggak pernah aku lihat. Kaya orang baru dapet kabar bahagia.”
Aira hanya tersenyum kecil. Dalam pikirannya, suara Bu Maya terulang lagi.
“Kamu punya sesuatu yang spesial. Tulisanmu punya rasa.”
Rasa. Kata itu sejak tadi menggema di kepala Aira.
Mereka berjalan menghindari kerumunan anak-anak pulang sekolah. Baru beberapa langkah, suara seseorang memanggil lirih.
“Aira?”
Aira dan Zidan menoleh bersamaan. Dari dekat tiang informasi sekolah, berdirilah seorang perempuan bergaun merah muda pastel, rambut dikuncir sederhana, dan tatapan ramah yang langsung menenangkan.
Aira butuh beberapa detik untuk memastikan—karena wajah itu…
Wajah itu hanya pernah ia lihat di belakang buku, di kolom ucapan terima kasih.
“Rani Kusuma…?” kata Aira sangat pelan.
Perempuan itu tersenyum. “Iya. Maaf ya tiba-tiba datang. Aku tadi diundang buat ngisi materi untuk klub menulis sekolahmu. Tapi baru selesai.”
Aira terpaku. Jantungnya berdetak tidak seperti biasanya—lebih kencang, lebih berisik, lebih… tidak percaya.
“Nama kamu tadi disebut Bu Maya. Katanya kamu yang nulis cerpen Rumah dengan Lampu yang Selalu Hidup?” tanya Rani ringan.
Aira mengangguk, masih antara mimpi dan kenyataan.
Rani mendekat dan berbicara lembut, “Kamu punya cara bercerita yang bikin pembaca ngerasa pulang, Aira. Itu langka. Teruskan, ya?”
Aira berkedip pelan. Dunia di sekitarnya seolah mengecil menjadi hanya dirinya dan kata-kata itu.
Pulang.
Tidak ada seorang pun yang pernah menggambarkan tulisannya seperti itu.
“Boleh aku baca karya lainmu?” tanya Rani.
Aira memeluk map kremnya erat-erat. “Boleh… tapi tulisanku belum bagus.”
“Belum bagus itu bukan alasan,” jawab Rani sambil tersenyum. “Justru itu alasan kenapa kamu harus terus menulis.”
Zidan berdiri di samping Aira, tersenyum bangga seperti ingin bilang 'Kan aku sudah bilang.'
Aira akhirnya menyerahkan map itu dengan kedua tangan gemetar.
Rani menerimanya hati-hati. “Aku baca ya. Dan… kalau kamu mau, minggu depan ikut sesi kecil mentoringku. Gratis khusus kamu.”
Aira terdiam. Suara langkah, suara kendaraan, suara anak-anak tertawa… semuanya terasa menjauh.
“Kenapa saya?” tanya Aira lirih.
Karena pertanyaan itu sebenarnya lebih besar:
Kenapa seseorang yang sudah berhasil ingin melihatku tumbuh?
Rani menepuk bahunya. “Karena aku pernah jadi kamu.”
Kalimat itu meresap ke dalam d**a Aira, hangat, pelan, tapi kuat.
Untuk pertama kalinya sejak lama… masa depan tidak lagi terasa seperti ruang gelap yang menakutkan.
Seakan-akan, sebuah pintu kecil baru saja terbuka.
Dan Aira berdiri tepat di ambangnya.