Rumah itu selalu tampak sama setiap hari.
Pagi penuh tergesa, siang penuh diam, malam penuh pertengkaran kecil yang tidak pernah selesai.
Aira berdiri cukup lama di depan pintu sebelum akhirnya mendorongnya pelan.
Begitu masuk, aroma masakan yang sudah mengering di kompor tercium samar-samar.
Sunyi.
Hanya suara jam dinding yang terdengar memecah ruang.
“Mas?” panggil Aira pelan.
Tidak ada jawaban.
Ia meletakkan tasnya, melepaskan kerudungnya yang sudah sedikit kusut, lalu berjalan ke kamar. Dan benar—suaminya sedang duduk di tepi ranjang, memegang ponsel, wajahnya tanpa ekspresi seperti tembok.
“Udah pulang,” katanya singkat, tanpa menoleh.
Aira mengangguk, padahal tidak ada yang melihat.
“Mas mau makan? Aku tadi sempat beli lauk di jalan—”
“Enggak lapar.”
Aira menggigit bibir. “Aira bawa kabar hari ini… Bu Maya—”
“Aira, aku capek.”
Satu kalimat itu selalu berhasil memotong apa pun.
Percakapan.
Harapan.
Kegembiraan kecil yang tadi pagi ia pegang erat-erat.
“Mas capek kerja,” lanjutnya datar. “Pulang mau istirahat. Jangan cerita yang nggak penting dulu.”
Kata-kata itu berhenti tepat di d**a Aira, seperti batu kecil yang dijatuhkan ke dalam sumur dalam.
Tidak penting.
Sesuatu yang sejak pagi membuat hatinya hangat…
Tidak penting.
Aira menunduk. “Iya, maaf.”
Suaminya bangkit, melewatinya begitu saja. Tidak ada sentuhan. Tidak ada tatapan. Bahkan tidak ada usaha sekadar bertanya bagaimana harinya di sekolah tadi.
Aira berdiri kaku.
Seperti benda yang bisa ditembus siapa pun.
Setelah kamar kembali sunyi, ia duduk perlahan di lantai. Baru sekarang napasnya terasa berat.
Matanya panas tapi ia menahannya.
Jangan nangis. Jangan nangis, Ra.
Kalau ia menangis, nanti kepalanya sakit. Nanti matanya sembab. Nanti ia dimarahi lagi.
Perlahan suara kecil dari kamar sebelah terdengar—anaknya terbangun.
Aira buru-buru menghapus air mata yang hampir jatuh, lalu berdiri.
“Sayang, bangun?” bisiknya sambil mengusap rambut lembut anaknya.
Si kecil memeluk lehernya. “Mama pulang…”
Aira menguat seketika.
Pelukan itu selalu jadi alasan ia bertahan.
“Maaf ya, Mama telat,” bisiknya.
Anaknya menatapnya dengan mata bulat. “Mama sedih?”
Aira tersenyum, meski bibirnya bergetar. “Enggak… Mama cuma capek.”
Tangan kecil itu menyentuh pipinya. “Mama tidur sama aku…”
Aira mengangguk. “Iya, malam ini Mama temenin.”
Saat ia membaringkan anaknya, pikirannya kembali pada percakapan di sekolah, kata-kata Bu Maya, senyum Ibu Rani, semangat Zidan yang menular.
Untuk sesaat, ia merasa punya dunia kecil tempat ia bisa bernapas.
Tapi begitu matanya menatap langit-langit kamar, kenyataan kembali menggantung seperti beban:
Ia sedang berjuang di dua dunia—
Dunia tempat mimpinya mulai dipanggil,
dan dunia rumah yang setiap hari mengikisnya perlahan.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak lama…
Aira bertanya pada dirinya sendiri:
Apakah aku boleh bahagia?