BAB 4 — Yang Tak Pernah Selesai dari Hidupku

488 Words
Langit sore mulai menggelap ketika Aira baru keluar dari tempat kerjanya. Tangannya masih bergetar sedikit—bukan karena dingin, tapi karena ucapan Bu Mira yang terus bergema. “Kalau kamu telat lagi, kamu tahu konsekuensinya, Ra.” Aira menghela napas panjang. Ia sudah terlalu sering mendengar ancaman itu. Sudah terlalu sering merasa seperti orang yang selalu salah… bahkan ketika ia sudah berusaha mati–matian. Tas kecilnya ia genggam erat. Bukan karena takut hilang, tapi karena di dalamnya ada satu hal yang tak ternilai: foto Aksa yang tadi sempat ia lihat sebentar sebelum bekerja. Anak itu… Satu–satunya alasan Aira masih kuat berdiri. --- Ketika sampai di halte, Aira mendapati bus sudah lewat. “Sial…” desisnya pelan. Ia menunduk, menahan air mata yang tiba–tiba ingin keluar. Hari ini terasa panjang. Terlalu panjang. Aira akhirnya duduk di bangku halte yang dingin. Di sekelilingnya, orang–orang sibuk dengan hidup masing–masing. Semua terlihat terburu–buru. Semua terlihat punya tujuan. Sementara dirinya… Ia bahkan masih berusaha meyakinkan diri bahwa besok akan baik–baik saja. “Bu… Aksa pengen es krim.” Suara anaknya pagi tadi terngiang lagi. Aira tersenyum miris. Dia bahkan tidak sempat membelikan es krim kecil itu karena uangnya pas–pasan. Dengan hati yang tiba–tiba terasa berat, Aira membuka ponsel. Ada pesan dari ibunya. Ibu: Aksa tidur. Tadi nanya kamu terus. Kerjaannya baik-baik aja, Ra? Aira menggigit bibirnya. Kalau ia jujur bahwa hari ini ia dimarahi lagi… Ibunya pasti makin kepikiran. Jadi ia mengetik: Aira: Baik, Bu. Nanti aku pulang, ya. Ia menyandarkan kepala ke dinding halte. Matanya menerawang kosong. Terkadang ia bertanya-tanya… Apa hidupnya memang ditakdirkan selalu begini? Berjuang sendiri. Tak ada tempat mengadu. Tak ada pundak untuk bersandar. Meski ia tersenyum di depan anaknya, tersenyum di depan ibunya, tapi di sini—di halte kecil yang sepi ini—senyumnya runtuh tanpa tertahan. Aira mengusap air mata yang mulai jatuh. Ia lelah. Teramat lelah. Tapi siapa yang tahu? Siapa yang benar-benar peduli? Ponselnya berbunyi tiba-tiba. Nomor tak dikenal. Aira ragu, tapi akhirnya mengangkat. “Halo… dengan Aira?” Suara laki-laki. Tenang. Dalam. Aira mengerutkan dahi. “Iya, siapa ya?” Ada jeda sejenak sebelum suara itu berkata: “Saya Raka. Bos barunya Bu Mira.” Jantung Aira langsung berdegup. “Besok saya ingin bicara dengan Anda,” lanjut suara itu. “Tentang pekerjaan Anda… dan tentang beberapa hal yang perlu saya klarifikasi.” Aira terdiam. Klarifikasi? Pekerjaan? Ada apa lagi? Belum sempat ia bertanya, telepon itu sudah terputus. Aira menatap layar ponselnya lama. Masalah baru? Atau kesempatan baru? Entahlah. Yang ia tahu hanyalah satu: Hidupnya tidak pernah memberi jeda… bahkan ketika ia hampir runtuh. Ia menatap jalanan yang basah oleh hujan tipis. Lalu berdiri perlahan, menyiapkan dirinya untuk pulang. Besok mungkin akan lebih berat. Tapi untuk hari ini… Ia hanya ingin pulang. Ke rumah kecil. Ke Aksa. Dan semoga… itu cukup untuk bertahan satu hari lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD