3. AMNESIA

1581 Words
Selagi Azka mengambil peralatan medis di kamarnya Bu Narti dibantu oleh salah satu warna perempuan melepaskan seluruh pakaian gadis tersebut dan menutupi tubuhnya dengan selimut sedangkan para warga yang lain tengah menunggu dengan panik di luar rumah. Azka yang kembali masuk seraya memasang stetoskop di kedua telinganya segera membuat Bu Narti dan Bu Dewi bergeser, memberi tempat Azka untuk memeriksa. Kedua perempuan itu tetap berada di sisi gadis itu dengan raut panik. Sedangkan Azka tampak serius saat memulai melakukan pemeriksaan pada gadis tersebut. "Bu tolong siapkan air hangat dan handuk kecil." Azka berucap yang seketika membuat Bu Narti beranjak menuju dapur sedangan Bu Dewi membalur minyak kayu putih pada tubuh gadis tersebut sesuai instruksi Azka. Tak lama Bu Narti datang dengan air hangat dan handuk kecil dalam sebuah wadah. Lalu Azka dengan cekatan membersihkan dan menjahit luka di kening sebelah kiri gadis itu. Melihat luka yang lumayan dalam dan memar di beberapa bagian kepala gadis itu membuat Azka menghela napas panjang. Luka-luka itu pasti berasal dari benturan keras bebatuan saat gadis itu terbawa arus deras sungai. Setelah memberikan Betadine, Azka menutupnya dengan perban kecil. "Dia akan segera pulih. Dan semoga dia segera siuman!" Ucap Azka setelah memastikan kondisi gadis itu baik-baik saja. "Apa ibu mengenal gadis ini?" ujar Azka pada kedua perempuan paruh baya di sisi gadis itu. Kompak, mereka menggelengkan kepala sebagai jawaban. Azka menghela napas panjang sembari menatap wajah gadis itu. Wajah putih pucat itu mulai berangsur berubah memerah. Tak perlu bertanya pun sebenarnya Azka yakin jika gadis itu bukan dari warga sekitar. Secara fisik dan pakaian branded yang dikenakan gadis itu sudah pasti menunjukkan jika gadis itu bukanlah berasal dari keluarga biasa. "Semoga semuanya baik-baik saja," gaung hati Azka saat praduganya mengatakan jika gadis itu bisa berada di dusun terpencil itu tanpa disengaja. Entah karena kecelakaan atau percobaan pembunuhan karena mustahil bagi orang luar memasuki dusun terpencil dan terisolasi tersebut jika tak memiliki tujuan tertentu. Satu jam berlalu. Para warga pun telah bubar dan kembali ke rumah mereka masing-masing setelah Pak Wanto Kepala Dusun setempat mengumumkan jika gadis korban tenggelam itu dalam keadaan baik-baik saja. Azka masih terdiam bersama Bu Narti sembari menatap gadis malang itu. "Kita tunggu hingga gadis ini siuman Bu, nanti kita baru bisa menanyakan identitasnya," terang Azka pada Bu Narti yang tengah memeras handuk kecil itu dari wadah berisi air hangat untuk mengelap tubuh gadis itu. "Iya Mas Dokter, Ibu khawatir sekali. Ibu nggak bisa membayangkan bagaimana cemasnya keluarga gadis malang ini," jujur Bu Narti dengan netra berkaca-kaca. Bu Narti tak bisa membayangkan jika kecelakaan yang menimpa gadis itu adalah putranya Joko. Azka menghela napas lalu mengulas senyuman lembut, "Tenanglah Bu insyaallah gadis ini akan baik-baik saja. Saya permisi dulu, saya harus membersihkan diri dan salat dulu Bu." Azka bangkit dari tempat duduknya. Namun sebuah suara lirih dan lemas menghentikan gerakannya. "Abang, tolongin aku!" gumam gadis itu yang seketika sukses membuat jantung Azka berpacu dengan cepat. Azka kembali duduk lalu memeriksa kembali gadis itu yang masih dalam keadaan mata terpejam. "Alhamdulillah, dia sudah siuman!" Bu Narti segera meraih jemari gadis itu dan menggenggamnya erat. Azka menatap lekat wajah lebam gadis itu dengan perasaan tak terindentifikasi. Ia sudah terbiasa menolong orang sakit tapi mengapa saat melihat gadis lemah di hadapannya ia merasakan sesuatu yang berbeda. Disaksikan oleh Pak Wanto, Bu Narti, dan Joko yang baru saja masuk saat gadis itu mulai membuka matanya. Gadis itu terdiam seraya menatap langit-langit rumah yang terdiri dari batu genting. Ia mengerjapkan mata berulang kali seperti tengah mencoba mengenali tempat ia berada saat ini. "Alhamdulillah, Cah Ayu kamu sudah sadar," ucap Bu Narti sontak membuat gadis itu mengalihkan perhatiannya. Ia menatap Bu Narti lalu ke arah tiga pria yang mengelilinginya. "Saya di mana? Kalian siapa?" ujar gadis itu seraya hendak bangkit dari tidurnya. Namun rasa sakit di kepalanya membuat gadis itu kembali merebahkan tubuhnya dengan bantuan Bu Narti. "Kami menemukan kamu di pinggir sungai Cah Ayu, nama Cah Ayu ini siapa?" jawab Bu Narti lalu mengelus puncak kepala gadis itu. Gadis itu tak menjawab. Tangannya terulur memegang perban di kening bagian kirinya yang terasa berdenyut nyeri. Azka masih membisu dengan tatapan tak beralih sedikitpun dari gadis tersebut. Ia sedang menunggu bagaimana reaksi gadis itu setelah tersadar dari pingsannya. Menunggu jawaban dari prediksi medisnya. Tak lama wajah gadis itu tampak memerah lalu memegang perutnya yang tiba-tiba bergejolak. "Tolong ambilkan ember," titah Azka yang seketika membuat Joko bergegas mengambil ember di dapur. Azka segera meriah ember tersebut lalu sedikit mengangkat kepala gadis itu, memiringkan sedikit agar gadis itu bisa memuntahkan seluruh isi perutnya yang hanya berupa cairan bening. Gadis itu terlihat lemas lalu memejamkan mata kembali. "Biarkan dia beristirahat dulu. Sepertinya dia mulai demam," terang Azka saat memegang tangan gadis itu yang mulai terasa panas lalu meraih botol minyak kayu putih dan mengoleskan pada telapak tangan dan kaki gadis itu. Azka mengeluarkan sebuah injeksi dari dalam tas medisnya. Lalu memasang jarum dan segera mengisinya dengan cairan obat. Terlihat dokter muda itu memeriksa cairan obat lalu menjentikkan injeksi sebelum menyuntikkan ke tubuh gadis tak berdaya tersebut. Setelah itu Azka segera membereskan peralatan medisnya. "Abang aku di mana?" gumam gadis itu seraya menggenggam jemari Azka yang hendak bangkit dari sisi gadis itu. Tubuh Azka membeku seketika, ia kembali menatap wajah pucat gadis itu. Lantas Azka kembali duduk. Melontarkan pertanyaan yang menjadi jawaban diagnosanya. "Nama kamu siapa?" Gadis itu mengerjapkan mata berulang kali. Gadis itu terdiam dengan ekspresi penuh tanya. Pak Wanto sekeluarga tampak bingung dengan ekspresi wajah gadis itu. "Saya...," lirih gadis itu sembari menggelengkan kepala secara perlahan. Deg... Semua orang membeku di tempat. "Sebaiknya kamu beristirahat dulu. Nanti kita bicara lagi!" balas Azka lalu melepaskan genggaman tangan gadis itu meskipun dalam hati Azka seperti tak rela meninggalkan gadis tak berdaya tersebut. Azka ke luar diikuti oleh Pak Wanto dan Joko. Mereka berbincang sebentar sebelum Azka masuk ke dalam rumah yang berada tepat di samping rumah Kepala Dusun tersebut. "Pak masak sih gadis itu ames.. amesta?" ujar Joko sembari mengucapkan kata yang tadi di dengarnya dari penjelasan Azka. "Amnesia Joko bukan amesta!" koreksi Pak Wanto dengan kesal. "Oh iya Am-nes-sia. Kayak di sinetron aja!" eja Joko dengan terkekeh. "Lucu!" sahutnya lagi karena masih tak mengerti dengan penjelasan singkat Azka jika gadis itu tengah mengalami gegar otak yang artinya kehilangan ingatan seperti sinetron yang biasa ditonton ibunya setiap malam. Setelah melaksanakan salat isya Azka berniat mengistirahatkan tubuhnya di atas dipan yang terbuat dari bambu. Dipan berukuran 200x120 cm itu tampak kecil dengan tubuh besar Azka yang menempatinya. Dengan hanya beralaskan tikar dari daun pandan pria itu juga terlihat nyaman. Ia pukul beberapa kali bantal kapas sebelum ia benar-benar merebahkan tubuhnya. Kedua tangannya beralih ke belakang. Saling bertaut menahan beban kepalanya. Lalu netra hazel itu menatap langit-langit kamar. Entah mengapa untuk pertama kalinya ia merasa sangat lelah. Hari yang ia lalui seolah berjalan dengan sangat lambat. Karena tak bisa memejamkan mata Azka kembali bangkit dari tidurnya. Kakinya turun menjuntai di atas lantai tanah mencari sepasang sandal jepit miliknya. Kriek... Suara decitan dipan kala Azka beranjak dari atas dipan terdengar memenuhi rumah sempit tersebut. Tepatnya bukan rumah. Hanya ruangan berukuran 4x3 m yang berisi dipan, dua kursi beserta meja, dan lemari itu telah Azka tempati selama sebulan penuh. Untuk kamar mandi Azka menggunakan kamar mandi di belakang rumah kepala dusun. Makan sehari-hari pun Azka menumpang di rumah keluarga tersebut. Sebenarnya diawal kedatangan dirinya di Dusun Gir Pasang Azka berniat memasak sendiri tapi kepala dusun setempat melarangnya. Azka membuka lemari dan mengambil benda pipih miliknya yang hampir 2 minggu ia abaikan. Menyentuh pun percuma karena di dusun terpencil itu tidak ada sinyal apalagi jaringan internet. Dan Azka mulai terbiasa melalui hari tanpa bermain gadget seperti yang dulu selalu ia lakukan. Bahkan dulu hidupnya seolah hampa tanpa menyentuh gadget. Kini ia akui waktunya terasa lebih berharga dan bermanfaat untuk orang-orang di sekitarnya. "Yah lowbat," kesal Azka karena ternyata ponsel miliknya kehabisan daya. Padahal tadi ia berencana ingin membuka kembali chatting_nya bersama Kia, adiknya. Chatting terakhir sebelum dirinya pergi. Apalagi jika bukan membicarakan tentang Letta, calon istrinya. Mengingat Letta membuat Azka tersenyum lebar. Ia bawa benda pipih itu untuk di isi daya lalu mengambil dompet miliknya. Bukan untuk mengambil uang atau kartu ATM berwarna gold yang selalu tersedia di dalamnya tapi ia berniat mengambil sebuah foto gadis berpipi chubby yang selalu dibawa ke mana pun ia pergi. Ia pandangi foto itu seraya kembali duduk di tepi dipan. Dear Sweet Heart, Selamat ulang tahun yang ke 17 Sayang, maaf Abang tidak bisa hadir di acara ulang tahun kamu lagi dan lagi hehe. Insyaallah nanti dihari ulang tahun kamu yang ke 20 tahun Abang janji akan datang beserta segenap keluarga Abang untuk melamar kamu menjadi istri Abang. Ini hadiah teristimewa dari Abang. Tolong jaga hati Abang dengan baik di sana. Abang minta maaf karena selama ini tidak pernah mengakui perasaan Abang. I love you Arletta Zamira Lasmana. Your Heart M. Azka Alfarizi Azka menghela napas panjang lalu menghembuskan perlahan setelah membaca deretan kalimat panjang yang ia tulis di balik foto Letta dua tahun lalu. Sayangnya foto dengan kalimat manis pengakuan cintanya pada gadis berpipi chubby itu tidak pernah sampai di tangan Letta. Bukan karena lupa memberikan pada Letta tapi karena gengsinya yang setinggi langit itu membuat Azka mengurungkan niatnya. Baginya cinta tidak harus diucapkan. Cukup dibuktikan dengan keseriusan yang nyata. "Abang jadi pengen cepat-cepat pulang Sayang. Rasanya Abang sudah tidak sabar ingin bertemu denganmu gadis chubby kesayangan Abang," gumam Azka lalu meletakkan foto Letta di bawah bantalnya. "Have a nice dream." __________________&&&_________________ Judul Buku : My Sexy Doctor Author : Farasha
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD