4. ANISA

1485 Words
Tiga hari berlalu, kondisi Anisa sudah berangsur-angsur membaik. Bu Narti dan Pak Wanto sepakat memberi gadis itu dengan nama Anisa yang artinya perempuan. Pagi ini pun Anisa sudah tampak melakukan pekerjaan rumah tangga untuk membantu Bu Narti. Azka sempat terkejut saat ia mengantarkan kayu bakar dan melihat Anisa yang begitu cekatan membantu Bu Narti memasak di dapur. Bukan menggunakan kompor yang biasa digunakan oleh orang-orang kota melainkan menggunakan pawonan. Pawonan atau tungku yang terbuat dari tanah liat dengan kayu sebagai penghasil panas dan api. Tak sedikit pula para warga membuat tungku secara mandiri dari batu bata yang disusun dan menggunakan semen sebagai perekatnya. Seperti Bu Narti sendiri tungku yang digunakan ada dua jenis. Tungku dari tanah liat Bu Narti manfaatkan untuk menggoreng lauk pauk atau sekadar merebus air saat hendak membuat kopi ketika ada tamu datang sedangkan tungku besar biasa Bu Narti nyalakan hanya di pagi hari untuk menanak nasi dan merebus air untuk air minum sehari-hari. Azka tengah berbincang bersama Joko dan Pak Wanto di teras rumah saat Anisa datang dengan tiga cangkir kopi yang terlihat masih mengepul di atas nampan. Seperti biasa Azka akan sekadar berbincang sebentar bersama Joko dan Pak Wanto di sore hari sembari menunggu waktu maghrib datang. Mushala sederhana yang terletak tak jauh dari rumah Pak Wanto itu selalu penuh dengan jamaah. Tak jarang juga Azka ditunjuk sebagai imam salat. Ditunjang suara merdu Azka membuat dokter muda itu semakin diidolakan para remaja putri di dusun tersebut. Tak terkecuali Anisa, gadis berusia 19 tahun itu pun mulai mengagumi dokter tampan berambut gondrong tersebut. "Anisa, duduk sini sebentar. Saya ingin membicarakan sesuatu," ujar Azka saat melihat penampilan kedodoran Anisa yang mengenakan rok berwarna biru bermotif bunga selutut dipadu dengan atasan berwarna pink yang terlihat telah memudar karena tergilas oleh waktu milik Bu Narti. Tubuh kurus itu semakin terlihat tak terurus dengan pakaian yang dikenakan gadis itu. Dengan atasan longgar itu pula tulang selangka Anisa tercetak nyata di sana. Membuat Azka merasa simpati, ia membayangkan jika Kia adiknya lah yang berada dalam situasi dan posisi Anisa pastilah ia sangat khawatir dan sedih. Dalam hati Azka berjanji akan mengembalikan Anisa pada keluarganya bahkan nanti bila masa pengabdian Azka di dusun ini telah usai dan Anisa belum menemukan ingatannya kembali maka Azka akan membawa Anisa pulang. Menjaganya hingga gadis itu benar-benar menemukan keluarganya. Tampak ragu-ragu, Anisa bergabung dalam perbincangan ketiga pria di hadapannya. "Sini Nak, nggak papa. Tadi Mas Dokter sudah pamit sama Bapak juga kok!" sambung Pak Wanto saat melihat keraguan di wajah cantik Anisa. "Jadi gini, besok Nak Anisa akan diantar Mas Dokter dan Joko berbelanja ke pasar yang terletak di desa sebelah untuk kebutuhan Nak Anisa selama tinggal di sini. Masak Nak Anisa mau pakai baju Ibu terus!" terang Pak Wanto yang diakhiri dengan kekehan pelan. Pak Wanto sendiri melihat penampilan Anisa sedikit risih. Remaja dengan pakaian wanita berusia setengah abad membalut tubuh kurusnya. Membuat gadis itu terlihat sangat memprihatinkan. Memang pakaian yang melekat di tubuh Anisa adalah pakaian istrinya sewaktu masih belum memiliki momongan, saat masih langsing dan muda. Tapi melihat Anisa yang memakainya Pak Wanto merasa sungkan. "Terimakasih," balas Anisa singkat seraya menganggukkan kepala dengan sopan. Kalau boleh jujur Anisa sendiri merasa sangat tidak nyaman. Apalagi pakaian dalam Bu Narti yang sedikit kebesaran terpaksa ia jahit agar tidak melorot saat ia kenakan. Memang semua pakaian yang ia kenakan beberapa hari ini sudah jelas terlihat jadul tapi semuanya masih layak pakai. Jelas sekali jika Bu Narti bisa merawat barang-barangnya dengan baik. "Oya, kamu sudah benar-benar sehat kan? Karena nanti kita akan berjalan sedikit jauh," sambung Azka setelah menyesap beberapa kali kopi yang masih mengepul di tangannya. Perlahan Azka meletakkannya kembali tanpa mengalihkan perhatiannya pada gadis itu. "Insyallah sudah Mas," balas Anisa singkat seraya mengedarkan pandangan pada ketiga pria di hadapannya secara bergantian. Lalu gadis itu segera kembali masuk ke dalam rumah untuk membantu Bu Narti menyiapkan makan malam mereka. *** Anisa tampak sendirian merenung di belakang rumah yang sudah tiga hari lalu ia tinggali. Ia duduk di atas batu besar dengan pandangan lurus mengarah pada segala keindahan bukit yang tergelar luas bak permadani di hadapannya. Terdengar helaan napas putus asa lolos dari bibirnya. Sekuat apa pun ia mencoba mengingat sesuatu. Tetap saja tak berarti. Ia tetap tidak mengingat apa pun. Jangankan alamat rumah, orang, atau saudara. Mengingat nama dirinya sendiri saja ia gagal. "Emak, Ibu, Bunda, Mama, Mami, Mommy," sebut Anisa satu persatu dengan frustasi seraya mengacak rambutnya dengan kasar. Bagaimana ia tahu siapa kedua orang tuanya. Lalu harus dengan cara apalagi ia bisa mengembalikan ingatannya yang entah kabur atau hilang ke mana. Tanpa Anisa sadari Azka yang sejak beberapa menit lalu berdiri tak jauh dari gadis itu tersenyum geli melihat tingkah lucu Anisa yang tengah berbicara sendiri. Entah apa yang tengah di monolog kan gadis itu. Azka yang tadinya hendak masuk ke dalam rumah setelah dari kamar mandi segera mengurungkan niatnya saat melihat Anisa merenung sendiri. Azka paham bagaimana perasaan Anisa saat ini, tentu saja tidak mudah bagi siapapun itu jika tiba-tiba tersadar dari kecelakaan dan mendapati dirinya bersama dengan orang-orang asing dan tempat yang asing pula. Apalagi Anisa mengalami amnesia seperti sekarang. Ingin pulang untuk kembali kepada keluarganya pun mustahil karena ia sendiri tidak tahu identitas dan alamatnya. "Jangan banyak melamun. Seharusnya kamu lebih banyak bersyukur karena kamu masih memiliki kesempatan untuk hidup lebih lama." Azka memberi jeda pada kalimatnya lalu mendekati Anisa. "Saya yakin suatu hari nanti kamu akan merindukan semua ini. Yah seperti saya, datang dari kota metropolitan lalu memilih tempat eksotik ini sebagai bentuk pencarian jati diri," sambung Azka yang sukses membuat tubuh Anisa membeku di tempat. Azka duduk si samping Anisa sembari mengikuti arah pandang gadis itu. "Eh Mas Azka, sejak kapan di sini?" Dengan gugup Anisa menanggapi ucapan Azka yang kini sudah duduk di sisinya. Memberanikan diri Anisa menatap sekilas dokter tampan itu. Tak bisa dipungkiri berdekatan dengan dokter tampan itu membuat kerja jantungnya menjadi tak beraturan. Anisa sendiri tak tahu alasannya. Apa dirinya terperangkap dalam pesona dokter muda itu seperti kebanyakan remaja perempuan di dusun itu?. Entahlah. Setiap kali ia menerima tatapan lembut sepasang iris hazel itu hatinya menghangat dan merasa terlindungi. "Sejak tadi. Sejak kamu menggerutu tak jelas," kekeh Azka lalu mengacak puncak kepala Anisa seperti yang sering ia lakukan pada adiknya, Kia. "Ayo kita berangkat ke pasar. Mumpung masih pagi. Di desa sebelah cuaca lumayan terik jadi aku tidak ingin kita terpanggang mentari nantinya," sambung Azka tak mengindahkan wajah Anisa yang memerah karena malu. Azka beranjak dari batu besar itu lalu berjalan menuju samping rumah. Tanpa berniat membalas ucapan Azka yang sudah melangkahkan kaki menjauh, Anisa turun dari batu besar itu lalu segera menyusul langkah lebar Azka. Namun sesampainya di rumah, kondisi tidak memungkinkan bagi Joko untuk ikut ke pasar karena pria itu tiba-tiba mengalami diare. "Maaf ya Anisa dan Mas Dokter, saya nggak bisa ikut!" ucap Joko dengan perasaan bersalah seraya memegang perutnya yang sakit. Kini mereka semua tengah duduk di ruang tamu hanya Pak Wanto yang tidak ada karena beliau tengah memberi pakan sapi miliknya. "Ya udah nggak papa. Lain kali saja!" balas Anisa dengan perasaan kecewa. Gadis itu tersenyum lembut untuk menutupi rasa kecewanya lalu hendak memasuki rumah tapi sebuah sebuah suara menginterupsi langkahnya. "Kalian pergi berdua saja. Lagian Mas Dokter juga sudah pernah beberapa kali pergi ke pasar," ucap Bu Narti yang datang dengan segelas teh hangat di tangannya. "Iya bener apa kata Ibu, kalian pergi saja!" sambung Joko seraya menerima gelas berisi teh hangat dari tangan Bu Narti untuk meminum obat yang baru saja diberikan oleh Azka. "Baiklah," singkat Azka lalu segera pamit pada ketiga orang tersebut. *** "Bismillah," ucap Azka menatap jalan di hadapan mereka yang berupa anak tangga mengular yang harus mereka lalui. Bagi Azka tak jadi masalah karena ia sudah berulang kali melewatinya tapi bagi Anisa ini pasti akan menjadi pengalaman pertamanya. Apalagi Anisa baru saja pulih, sebenarnya Azka bisa saja berbelanja kebutuhan gadis itu sendiri tapi Azka tidak yakin dengan ukuran dan pilihan gadis itu. Terutama kebutuhan barang-barang pribadi seperti pakaian dalam, bedak atau make-up, dan kebutuhan lain yang mungkin Azka tak mengerti. Seingatnya pernak-pernik perempuan itu sangat banyak dan ribet. Azka paham itu karena tak jarang juga ketika ia di rumah, ayahnya selalu mengajak dirinya menemani bunda dan adiknya berbelanja. "Mas di sini benar-benar indah ya!" ucap Anisa dengan berdecak kagum. Gadis itu berjalan di depan Azka sembari tak lepas mengedarkan pandangannya pada keindahan yang terbentang luas. Pria itu hanya tersenyum puas karena kekhawatirannya terbayarkan dengan keceriaan Anisa setelah tiga hari terlihat murung. Sebenarnya tanpa Anisa sadari Azka selalu memperhatikan gadis itu saat sendiri. Azka sangat yakin di balik sikap ramah dan senyum yang selalu terkembang di bibir mungil itu menyimpan kesedihan. "Semoga ingatannya segera putih dan bisa kembali berkumpul dengan keluarganya. Aamiin." Doa Azka dalam hati seraya mengikuti langkah kecil di hadapannya. Tampak anak rambut Anisa mencuat dari ikatannya, menari-nari dengan riang bersama semilir angin yang menyapa perjalanan mereka. __________________&&&_________________ Judul Buku : My Sexy Doctor Author : Farasha
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD