5 - Otak-Fisik Tidak Seimbang

1573 Words
Faira begitu bersemangat pagi ini untuk berangkat kuliah. Setelah menyemprotkan parfum dua kali di leher, Faira sudah siap sepenuhnya. Tas selempang ia pakai, lalu mengambil beberapa buku dari atas meja untuk ia peluk. Baru saja melewati pintu kamar, Faira sedikit dikejutkan oleh keberadaan Rizal yang kebetulan lewat. Namun, Rizal tidak melanjutkan perjalanannya lagi. Memilih berhenti untuk menilik pakaian putrinya. Sebuah dress selutut berwarna hijau pastel sangat sesuai untuk Faira, bahkan semua jenis gaun memang selalu cocok untuk gadis itu. Dress itu juga tidak terlalu terbuka, tetapi mata Rizal mendadak saja menyipit seolah menelisik isi kepala Faira. Gadis itu tentu saja setengah panik. Ia memundurkan kepalanya dari sang ayah. Melirik ke samping, Faira tidak menyadari bahwa tangannya kini meremas secara asal buku di tangannya. “Kamu nggak mau jujur sama Ayah? Ayah sudah tahu semuanya, Faira.” Hah? Sontak, Faira langsung meluruskan pandangan pada Rizal. Matanya membulat sempurna, tetapi di sisi lain kebingungan juga. Apa yang ayahnya sudah tahu? Kejadian semalam? Tetapi, tidak ada yang tahu Faira ke sana kecuali Adin ... ah, Faira bahkan lupa bahwa Adin bisa menjadi mata-mata gratisan untuk Rizal. Bisa-bisanya Faira bertindak bodoh dengan membawa Adin. Tapi, masalahnya lagi, Adin yang tahu banyak informasi mengenai Steve. Argh! Serba salah jika mempekerjakan sahabat yang rasa anak kandung untuk orang tua. Alhasil, Adin hampir selalu gagal untuk abai dari perintah orang tuanya. “Faira Sarry ....” Rizal tampaknya jenuh menunggu, sehingga ia memanggil nama lengkap anaknya itu dengan memanjang di akhir kalimat. “Ayah ... Ayah ‘kan anu ... itu ... aku tuh sama ... Om Anton itu ... lagi nyari anaknya Om Anton, si Steve—” “Namanya Tyler.” Rizal mengoreksi. “Jangan panggil dia pake nama itu. Dia nggak suka,” ucap Faira, lalu terkikik geli dengan menutup mulutnya menggunakan empat jari kanannya. Rizal semakin memicingkan mata. “Jadi, Faira ... kamu nggak mau bilang sesuatu sama Ayah? Atau ....” “Eh, Ayah .... Iya, iya!” Faira memasang wajah masam, kemudian menunduk dalam ketika ia mengetahui kedatangan Maya yang sepertinya penasaran dengan interaksi Faira dan sang ayah. “Aku kemarin nonton acara balapnya Steve.” Faira mengatakan itu dengan nada lemah. Sedetik berikutnya, ia kembali menengadah dengan raut begitu antusias. “Tapi itu, si Adin yang ngajakin, Yah. Katanya, aku harus memperjuangkan cinta sejati aku, Yah. Aku datang ke sana juga karena aku mau memuluskan perjodohan yang Ayah sama Om Anton susun. Ayah emangnya nggak mau punya menantu kaya?” “Ayah pengen punya menantu kaya, tapi ... Ayah nggak bakalan biarin temen Ayah kecewa karena punya menantu yang suka keluar diem-diem tanpa izin. Sama aja nggak menghargai orang lain. Perjodohan kalian dibatalin aja!” balas Rizal, sembari berlalu dari depan kamar Faira. “Yah ... Ayah! Lah kok gitu, Yah? Aku udah berjuang loh. Ayah ....” Faira terus memanggil, tetapi punggung ayahnya sama sekali tidak pernah berbalik. Kali ini, Faira melirik dengan wajah ibanya pada sang ibu. Berharap belas kasih, sehingga Maya bisa membujuk Rizal. Namun, yang ibunya tunjukkan hanyalah putaran bola mata yang mengisyaratkan kejenuhan. “Kamu kayak nggak kenal ayah kamu aja, Fai. Kalau dari awal Ayah kamu nggak setuju sama perjodohan, pastinya dia nggak bakalan cerita sama kamu dari awal,” ucap Maya memberikan penjelasan. “Lah iya, ya?” Faira sekarang kembali bersemangat. Memicu senyum geli Maya untuk muncul. “Menurut kamu? Kamu dapat bakat jago akting kamu itu dari siapa?” Maya membalas. Faira tertawa geli karena sindiran ibunya. Ia mendekat, mengecup pipi Maya sekilas, lalu menyusul sang ayah ke ruang makan. “Makasih, Bu, udah jadi penerjemah bahasa aktingnya Ayah selama 20 tahun!” seru Faira. Maya tidak bisa mencegah tawanya keluar. Takjub sendiri, bagaimana bisa mendapatkan suami sejenis itu, dan putri yang tidak jauh berbeda. * Faira turun hati-hati dari motor. Membuka helm, hal pertama yang ia lakukan adalah merapikan rambut terlebih dahulu sebelum menyerahkan helm pada pria yang mengantarnya; Akmal. “Makasih ya, Mal.” Faira melambaikan tangan, lalu meninggalkan pria itu, sembari menunduk ketika mengecek ponselnya dengan sebelah tangan. Sementara tangan kirinya sibuk memeluk buku. Setelah menemukan petunjuk keberadaan Adin pagi ini, ia segera menyusul. Di taman samping fakultas ekonomi, ia menemukan Adin tengah mengemil camilan sembari mengecek ponselnya. Faira tersenyum sinis terlebih dahulu, kemudian memantapkan langkah mendekat pada Adin. Lalu, setelah tiba di samping sahabatnya itu, Faira melayangkan bukunya di bahu Adin. Tidak terlalu keras, karena tujuannya hanya ingin memberikan efek kejut pada sahabatnya, dan berhasil. Adin langsung tersedak makanan dengan mata melotot. Panik, Adin mengambil airnya, meminum hingga sisa air tersisa setengah botol. Lalu, setelah ia menutup botol, Adin memanfaatkannya untuk memukul lengan Faira sekuat tenaganya menggunakan bagian tengah botol mineral tersebut. “Sakit, Adin!” pekik Faira, sembari mengusap lengannya. “Nah, impas!” “Belum impas!” Faira membalas malas. Ia mendudukkan diri secara malas di samping Adin. Secara iseng menggeser Adin hingga sahabatnya itu terpojok, sementara samping Faira masih tersedia ruang kosong. “Kamu ngapain cerita ke ayah aku masalah kemarin, k*****t! Aku hampir gagal dijodohin gara-gara kamu!” “Lah, kapan aku cerita sama ayah kamu? Ketemu aja nggak pernah sejak kemarin malam!” “Loh, kalau bukan kamu siapa lagi?” Faira langsung bertanya-tanya kebingungan. Walaupun persahabatan mereka didasari oleh kekonyolan, Faira tidak pernah meragukan kejujuran sahabatnya ini. “Emang Pak Rizal bilang apa? Ayah kamu 'kan suka iseng. Mana tau beliau cuman uji kamu.” “Eh, gimana-gimana?” “Coba cerita awalnya,” ucap Adin. Faira mulai menjelaskan mengenai kejadian pagi tadi, lalu diakhiri dengan kalimat, “Nggak ada yang tahu aku ke sana selain kamu.” “Situ o'on juga sih. Ayah kamu itu cuman mancing. Beliau nggak tau yang sebenarnya. Cuman manfaatin kecemasan dan ketakutan kamu. Orang kalau sembunyiin sesuatu, terus ditanya ‘Kamu nggak mau jujur sama Ayah? Ayah sudah tahu semuanya, Faira,’ pasti bakalan panik, susah berpikir jernih, dan akhirnya bakalan ungkapin semua rahasianya.” “Lah, kok gitu, sih?” ucap Faira tidak percaya. Ia merengek sembari menempelkan punggungnya pada sandaran kursi dengan kakinya terjulur ke depan. “Ayah curang banget ... aih ... harusnya aku nggak jujur, biar nggak dibatasi Ayah buat ketemu Steve lain kali. Aih ... aih ....” Faira selesai dengan uring-uringannya, ketika ia menegakkan punggung, fokus pada Adin lagi. “Kok kamu bisa mikir gitu?” Adin mengangkat kedua bahunya tak acuh, dengan senyum melengkung ke bawah sebelum ia menjawab. “Ya ... gimana? Aku lancarnya di otak, tetapi 0 di fisik. Sementara lo, fisik aja yang dirawat terus, tapi otak kosong.” “Bodo amat! Yang bikin takluk cowo-cowo itu fisik. Lagian, kalau udah nikah, aku cuman perlu layanin suami. Nggak perlu kerja, nggak perlu peras otak,” jawab Faira tak peduli. Sementara Faira mengarahkan pandangan ke depan, Adin malah menatapnya geli. “Kamu beneran o‘on akut.” Adin tanpa ragu langsung menghardik sahabatnya. Belum cukup dengan kalimat, ia juga mendorong kening Faira ke samping, sehingga Faira kini menatapnya dengan kesal. “Aku kasih tahu, ya, Faira. Catatan ini baik-baik di memori otak kamu itu. Tutup telinga sebelah kiri biar nggak keluar percuma yang aku bilangin ini!” Faira awalnya enggan, tetapi Adin memaksa, mengangkat tangan Faira hingga menutup telinga kirinya. Adin menghela napas panjang, sebuah usaha untuk menambah stok sabarnya selama menghadapi sahabatnya ini. “Denger ya, Fai! Anak itu kemungkinan besar bakalan diturunin kecerdasan dari emaknya. Masih mending kalau emaknya bodoh doang, masih bisa diajarin. Lah situ? Udah bloon, nggak sadar diri, nggak mau belajar lagi! Anjir lah. Aku malah kasihan ke Tyler kalau kamu kayak gini jadinya.” “Wuish, pedes amat nasehat kamu.” Faira menjawab tidak acuh. Jika ia dikatakan oleh orang lain, Faira bisa dengan mudah darah tinggi. Tetapi karena yang mengatakan kalimat pedas penuh penghinaan itu adalah Adin, Faira bahkan hanya menganggapnya sebagai angin lalu. Setelah Faira menurunkan tangan, wush ... nasehat Adin sudah tembus di telinga Adin, terbawa oleh udara, dan lenyap seketika. Faira sudah bodoh amat. “Eh, kamu ada informasi tambahan dari Steve, nggak?” tanya Faira, kali ini melunakkan suara sembari menyenggol-nyenggol bahu Adin dengan pelan. “Lah, si Steve siapanya aku sampe harus nyari tahu banyak tentang dia? Usaha sendiri dong, dia calon kamu. Waktu aku kebuang sia-sia pas aku berusaha bantu kamu nyariin informasi mengenai si Steve. Jangankan makasih, kamu malah dengan kurang ajarnya nge-geprek kepala aku kayak tadi. Males, tch!” Faira malah terbahak anggun mendengar kekesalan Adin. Ia merangkul gadis di sebelahnya itu, dan mencoba menghibur Adin dengan menusuk-nusuk pipi tembam Adin dengan jemari telunjuknya. “Nggak usah ngambek gitu deh, Din .... Ah, kamu makin imut tau ....” “Nggak ngefek!” balas Adin. Ia berdiri, meninggalkan Faira seorang diri di kursi taman tadi. Sementara Adin dalam mode marah, Faira malah tampak tenang. Merentangkan tangannya sembari menggeliat pelan. Faira tersenyum ketika membuka ponselnya lagi, mengecek foto Steve yang berhasil didapatkan tadi malam. Beberapa kali, men-zoom in, atau zoom out, tetapi Faira sama sekali tidak bisa mengurangi rasa kagumnya pada Steve. Jadi, ia menjadikan salah satu foto candid Steve sebagai wallpaper ponselnya. Dengan begini, Faira semakin bersemangat. Gadis itu mengembuskan napas panjangnya. Memejam, sembari tersenyum, kepala menengadah; membuat pose selayaknya seorang dewi dengan bantuan beberapa sorot cahaya matahari di balik dedaunan untuk menerpa wajahnya. Menambah kesan bersinar untuk sosoknya pagi ini. Bahkan, meski Faira tahu bahwa ada beberapa orang yang mulai memotretnya dari kalangan kaum Adam, ia sama sekali tidak peduli. Karena ia suka dengan semua pemujaan yang diberikan untuknya. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD