4 - Menonton Balapan Calon Husbu

1713 Words
Sudah terhitung lebih dari setengah jam setelah Adin mengatakan bahwa ia sudah tiba di rumah, tetapi Faira baru sekarang keluar dari kamarnya. Sedikit berlari-lari kecil saat menghampiri ayahnya. Meraih tangan Rizal dengan sedikit buru-buru, sembari memperbaiki posisi tas selempangnya. “Kamu mau ke mana?” tanya Rizal. Saat Faira hendak menarik tangan, ia menggenggam jemari lentik itu, sehingga Faira tidak bisa langsung kabur usai menyalimi sang ayah. “Biasa, Yah ... hangout. Sama Adin. Aku harus buru-buru, Yah. Kasihan Adin nungguin di luar jadi santapan nyamuk, ntar lebih langsing dia daripada aku,” ucap Faira dengan niat melucu, tetapi tidak ada senyum atau kekehan yang sang ayah keluarkan. Sebaliknya, Rizal malah menyipitkan mata ketika melirik putri tunggalnya itu. “Tumben banget Adin nggak masuk. Kenapa?” Rizal sekali lagi mengajukan pertanyaan, dengan nada menuduh. Tatapnya hampir tidak pernah terputus dari Faira, sehingga gadis itu langsung salah tingkah di tempat. Faira bahkan tidak bisa mengambil jarak yang lebih jauh dari sang ayah, karena Rizal benar-benar mencekal tangannya. “Ya ... lihat sendiri. Ayah segalak ini, gimana Adin berani masuk?” Faira memberikan alasannya, dengan raut meyakinkan, meski gugupnya sama sekali belum berkurang. Sekali lagi, Rizal meragukan jawaban itu. “Adin bahkan udah anggap rumah ini kayak rumahnya sendiri, lebih malah. Kamu bilang dia takut? Jujur sama Ayah, kalian mau ke mana? Nggak biasanya nggak jelasin tempat perginya kamu, sama siapa aja, dan kenapa buru-buru banget?” “Aku udah dandan lama banget, Ayah. Pastinya buru-buru. Adin lagi aneh emang hari ini, Yah, abis ketemu calon mertuanya. Jadi ya ... gitu. Udah ya, Yah, aku mesti berangkat sekarang. Biar nggak terlalu telat. Aku pulang sebelum jam sembilan kok, Yah. Serius, deh!” ucap Faira. Gadis itu sudah sangat tidak nyaman dengan interogasi sang ayah. Segera setelah itu, Faira melepaskan tangannya dengan paksa dari genggaman Rizal. “Assalamu‘alaikum, Yah!” ucap Faira sebelum keluar dari rumahnya. Langsung menyusul Adin untuk memasuki mobilnya. Duduk di bagian samping kemudi, tepat di sebelah Adin. Faira sedang sibuk mengenakan sabuk pengaman yang tidak akan merusak tatanan rambut natural straight-nya. Hingga, ketika ia sudah duduk tenang menghadap Adin, Faira baru menyadari bahwa tatapan sahabatnya kali ini tidak bersahabat. “We?” tanya Faira kebingungan yang ia buat-buat tidak bersalah khas seperti drama Korea-nya. “Wa-we-wa-we!” hardik Adik kesal sembari mengambil bukunya dari atas dashboard untuk dipukulkan pada sahabatnya. Tidak terlalu keras niatnya, tetapi malah punggung buku yang keras mendarat di kening Faira. Adin sempat khawatir, tetapi segera ia sembunyikan dengan raut garang. Buku tadi ia lemparkan lagi di atas dashboard. “Anjir! KDP kamu! Kekerasan Dalam Persahabatan!” ucap Faira setelah mengendalikan perasaan kesalnya. “Bodo amat! Kamu kira-kira dong kalau dandan! Udah lama, nggak ada perubahan lagi! Aku di sini yang disiksa nyamuk! Kamu juga ngapain ngelarang aku masuk ke rumah kamu?” ucap Adin menjelaskan penyebab kemarahannya. “Ya ... sori. Kamu itu ember bocor banget. Apalagi kalau udah diliatin Ayah, langsung semua aib dan rahasia aku kamu bongkar! Ayah pasti bakalan langsung nggak setuju kalau beliau tahu semuanya!” “Hayoloh ... bohong! Ntar kena sial karena nipu ortu!” “Aish, jangan bilang kek gitu! Ini aku lagi berusaha untuk menjemput keberuntungan seumur hidup tau!” ucapku kesal. “Berangkat sana! Ntar kita makin terlambat!” Diawali dengan embusan napas kasar, Adin menuruti ucapanku. * Setelah melewati jalan yang sepi, kini Faira dan Adin mulai memasuki area ramai dengan sorakan. Faira berdecak, sehingga Adin langsung memberikan tanggapannya. “Udah dimulai kayaknya, Fai.” Adin memberitahu. “Ya, makanya. Ayo buruan parkirin mobil!” pinta Faira dengan nada panik kentara. Ia takut ... tidak kebagian untuk melihat calon pemulus masa depannya. Terlalu matre jika Faira menyebutnya sebagai pemulus masa depan. Panggil saja pria yang entah bagaimana wajahnya itu sebagai calon husbunya. Itu terdengar manis. “Sumpah, kamu manusia paling nggak sadar diri yang pernah aku bantu,” keluh Adin, membuyarkan lamunan Faira tadi. “Heleh, masa gitu doang marah. Kita 'kan temen. Sesama temen itu nggak boleh marah!” ucap Faira menenangkan. “Temen ndasmu!” balas Adin. “Uluh-uluh ... ucul ....” Faira terus menghibur, kali ini sembari mencubiti pipi Adin. Sampai, sahabatnya itu berdecak malas dan melepaskan secara paksa tangan Faira dari wajahnya. Senyum geli di wajah Adin sudah bisa menormalkan suasana. Faira langsung lega. Sekarang, ia kembali bisa memanfaatkan Adin. Bukannya terdengar jahat. Manusia memang diciptakan untuk memberikan manfaat pada manusia lainnya. Meski Faira belum tahu manfaatnya bagi Adin, tetapi setidaknya sekarang ia tidak boleh menyia-nyiakan kegunaan Adin di sisinya. Baru saja mobil terparkir sempurna, Faira sudah turun dari sana. Disusul Adin beberapa saat kemudian. Beruntungnya, Adin masih bisa mencapai Faira setelah berada di antara kumpulan penonton yang sudah tidak bersorak lagi. Benar saja, balapan sudah dimulai. Faira telat untuk melihat calon husbunya itu. Ia sedikit lesu ketika melirik Adin. “Sabar .... Ke sana, yuk. Nanti finish-nya juga di sini, Fai, jadi nggak usah khawatir. Kamu tetep bisa lihat calonmu itu.” Faira mengikuti saran Adin. Mereka menepi ke pinggir jalan untuk berjongkok, seperti beberapa orang lainnya. Entah seberapa jarak yang ditempuh oleh keempat pembalap itu, Adin tidak mendapatkan informasi sama sekali. Mencuri-curi berita dari orang-orang sini pun, juga tidak banyak membantu. Mereka lebih banyak membahas mengenai siapa calon pemenangnya. Faira tertarik ketika ia sangat sering mendengar nama Steve disebut. “Steve itu namanya si Tyler di sini.” Adin sepertinya terhubung secara batin dengan Faira, sehingga sebelum diminta, ia sudah menjelaskan. “Mungkin dia nggak suka pake nama ‘Tyler’ karena nganu banget kalau dipenggal namanya,” lanjut Adin. “Hah? Penggal?” Faira langsung bergidik ngeri mendengar kalimat dark itu. “Ho'oh. Coba, kalau nama ‘Tyler’ dipotong, jadinya apa?” Faira diam sebentar untuk berpikir. “Ty-ler?” “Nah,” celetuk Adin, kemudian melanjutkan, “kalau dipanggil ‘Ty’ menyerempet ke kata t*i. Kalau ‘Ler’ lebih parah lagi, menyerempet ke kata peler.” “Anjir!” Langsung, tawa Faira meledak yang memicu beberapa perhatian mengarah padanya. Belum cukup, Faira turut memukul bahu Adin beberapa kali. Ketika merasa ia telah dianggap aneh oleh beberapa orang, Faira berdeham beberapa kali untuk menetralkan sikap dan suaranya. Dia ini calon istri dari keluarga konglomerat, loh. Harus tetap anggun-ly dan slay sepanjang waktu. “Padahal, namanya keren, loh, kok menyerempet ke situ? Otak kamu kok bisa-bisanya paham begituan, Din!” ucap Faira usai berhasil mengendalikan dirinya. “Kamu kek kunti ketawa kayak gitu, Fai. Orang-orang pada ketakutan,” hardik Adin dengan ekspresi menatap ngeri pada sahabatnya itu. “Kamu, sih,” balas Faira. “Ah, kamu kelewatan kalau bercandanya. Aku itu harus tetap pertahankan mode anggun-ly sebagai calon menantu keluarga Pramono.” Faira menarik napasnya panjang-panjang, sembari mengedarkan pandangan ke sekitar. Selain untuk menetralkan tawa gelinya, ia juga menikmati udara dingin malam ini. Terasa menyenangkan, hingga Faira memilih mendongak menatap langit malam yang sedikit berkabut, penyebab sedikitnya jumlah bintang yang tampak malam ini. “Halah, langsung berubah jadi sok bidadari polos pas disorot cowok. Najis!” hardik Adin, mengetahui dengan jelas mengapa Faira mendadak diam dengan sikapnya yang lebih tenang. “Diem, Adin!” balas Faira, lalu terkekeh pelan. Adin selalu tahu seluk-beluk dirinya. Sehingga tidak ada rahasia yang bisa Faira sembunyikan tanpa memberitahu Adin terlebih dahulu. Keduanya mengobrol basa-basi beberapa menit, hingga dengung motor mulai terdengar. Faira langsung berdiri meninggalkan Adin yang bermalas-malasan di tempatnya. Dengan mudah, tubuh langsing Faira menyelinap di antara penonton lain, untuk berdiri paling depan. Ikut bersorak paling meriah, untuk menyambut kedatangan empat pemotor yang menjadi bintang utama acara ini. Faira semakin bersemangat, bahkan melompat dengan girang ketika ia melihat bahwa motor gede warna hitam dengan beberapa corak merahnya itu menjadi yang terdepan. Faira ingat betul, itu milik Tyler—Steve. Gadis itu bahkan mengangkat tangannya untuk memberikan sorakan paling meriah. Lalu, kor sorakan dengan volume dua kali lebih keras terdengar ketika motor Steve sudah melewati garis. Faira langsung melompat-lompat seperti yang lainnya karena ikut merasakan kemenangan yang diterima oleh Steve. Faira belum sempat berpikir untuk langkah selanjutnya, ketika tubuhnya terdorong ke depan dari manusia-manusia di belakangnya yang didominasi oleh perempuan berebut menghampiri Steve yang sudah berhenti di bagian pinggir jalan. Tengah membuka helm, lalu menggelengkan kepalanya beberapa kali hingga rambutnya yang sedikit lembab menempel di dahinya. Sementara perempuan lain sibuk mengerumuni sang idola, Faira yang tertinggal di posisinya berdiri tadi, hanya bisa melongo dengan tubuh terpaku. Sekali, dua kali meneguk ludah secara kasar. Mulutnya sedikit terbuka, ketika mendapati bahwa pria itu tampak sangat memukau. Rambut setengah ikal milik Steve begitu menawan. Matanya yang tajam setengah tertutupi oleh rambut, tetapi masih tidak bisa menyembunyikan aura tersendiri yang begitu menghipnotis. Hidung mancungnya, bibirnya yang berisi tetapi tidak terlalu tebal, rahang tegasnya ... seolah segala kesempurnaan fisik dari seorang pria memang diberikan terlalu banyak untuk pria itu. Faira memegangi dadanya, entah untuk merasai detak jantungnya yang menggila, atau sekadar menormalkan napasnya yang mulai terbata. “Kamu kenapa, Fai?” tanya Adin yang kini sudah berdiri di sisinya. Faira, masih dengan pandangan setengah terhipnotis oleh fisik Steve; sedikit menoleh pada Adin. “Aku ... sesak napas, Din. Gila ... dia keren banget, gila ... anjir ... parah ... kelewatan,” ucap Faira, yang kebingungan merangkai kalimat untuk mengungkapkan perasaannya saat ini, sehingga hanya kata terbata itu yang berhasil ia keluarkan. “Kamu seriusan sesak napas? Kena asma karena asap knalpot?” tanya Adin, yang tampaknya sedikit lebih peduli sekarang. Faira menggeleng lemas, lalu sekali lagi melirik pada Steve yang duduk penuh kemenangan atas motornya dengan kepala lunglai ke samping. Gadis itu bahkan tidak peduli dengan suara memekakkan dari motor lain yang baru saja mencapai finish. “Aku sesak napas, karena kayaknya ... separuh napasku udah diambil sama dia,” kata Faira. Dan, kepala gadis itu langsung terdorong ke depan. Seolah terlepas dari hipnotis, Faira menatap kesal pada Adin sebagai pelaku pemukulan di kepalanya, walau tidak terlalu kasar. “Najis banget kamu bilang kek gituan, Fai. Sadar, kamu nggak boleh kelihatan murahan di depan cowok, gebetan sekalipun!” hardik Adin. “Bodo amat. Aku bahkan siap nyerahin diri sekarang—” “Stres!” Adin memaki, sembari menarik lengan Faira dengan sekuat tenaga untuk menyeretnya kembali ke mobil. Sedikit menyesal membawa Faira ke sini, karena efek sampingnya terlalu parah. Faira langsung menderita 70% stres, dan 30% tidak waras. Dalam kata lain, Faira sudah positif gila. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD