12 - Tuduhan yang Merusak

1292 Words
Setelah mendapat 4 paper bag dari mall—dan ini sebenarnya sudah sangat membahagiakan untuk Faira, tetapi ia kemudian menyadari bahwa mobil Angka sekarang memasuki kawasan butik eksklusif. Awalnya, Faira masih berpikir bahwa pria baik ini masih mau membelikannya pakaian lain, tetapi ... gadis itu berusaha agar tidak terlihat matre. Sikap duduknya ia perbaiki, setelah mobil terparkir sempurna. "Ayo turun, Faira!" ajak Anton, sembari melepas sabuk pengaman. Gadis itu susah payah menahan senyum, bahkan Faira harus melipat bibir ke dalam agar tidak kelepasan terlihat senang dibelikan banyak barang mahal oleh si calon mertua. Setelah turun, Faira berlari-lari kecil menghampiri Anton sekadar menyejajarkan langkah, tetapi tindakan kecil dari pria tua itu membuat Faira tersentak kaget. Tangannya digenggam lembut, sembari memasuki butik. Meski was-was, gadis itu menanamkan satu hal dalam pikirannya bahwa pria ini pasti tidak ingin Faira merasa gugup memasuki butik, karena ini pengalaman pertamanya. Pasti ... pasti alasannya seperti itu. Ketika memasuki butik, Anton disambut hangat oleh seorang wanita berusia senja yang tampak masih sangat anggun dalam pakaian biru satinnya. Faira seperti dihipnotis ketika senyum wanita itu mengarah padanya, lalu ketika sadar, gadis itu mencoba senyum seelegan itu, walau tampak kesulitan. Anton menarik lembut tangan Faira agar selangkah lebih maju darinya. Genggaman pria itu terlepas, ketika menjelaskan sosok Faira pada wanita itu. "Ah, calon menantu?" Wanita anggun itu berdecak setelah mengatakan itu. "Saya kira pengganti mendiang Bu Aline." "Mustahil, Sheila," balas Anton disusul gelak tawa, tetapi kemudian ia melirik sendu pada gadis di depannya ini. "Well, jaman sekarang, sudah tidak ada masalah mengenai perbedaan umur yang terlampau jauh, Anton. Muda-dewasa, bisa saja bersama asal saling mencintai," lanjut wanita bernama Sheila itu. Faira hanya bisa tersenyum canggung karena topik obrolan dua manusia senja di depan-belakang ini adalah dirinya. Ia menunduk, sembari menyelipkan anak-anak rambut ke belakang telinga. "Silakan duduk." Sheila mempersilakan. Ia membiarkan kedua tamunya duduk terlebih dahulu di salah satu sofa panjang, sementara Sheila berada di sofa single. "Jadi, mau pakaian untuk acara apa?" tanya Sheila. Faira tidak tahu menjawab, jadi mengarahkan pandangannya pada Anton yang mengajak ke sini tanpa mengatakan apa pun sebelumnya. Pria itu ternyata melirik Faira juga, walau hanya beberapa saat. "Untuk acara dinner. Saya serahkan semuanya ke kamu, karena kamu paling berpengalaman mengenai desainnya," jawab Anton. "Dinner?" Sheila sedikit menyipitkan mata mendengar itu. "Dinner dalam rangka apa? Perkenalan keluarga, atau ... kencan?" Ia menjeda sesaat, tetapi sebelum Anton menjawab, wanita itu melanjutkan. "Omong-omong, Tyler ... saya belum pernah liat dia setelah beberapa tahun. Apa kabar dia? Kenapa bukan dia langsung yang datang sama ... calonnya?" "Nah!" Anton berseru. Ia mendengkus geli, tetapi terlihat menyedihkan. "Bagaimana harus mengatakannya ya, Sheila? Bahwa saya gagal jadi ayah yang baik untuk Tyler, makanya dia kabur dari rumah, dan tidak mau bertemu saya sedikitpun," jawab Anton. Raut Sheila berubah iba mendengar hal itu, tetapi Anton tidak ingin membuat semua orang kasihan padanya—segera memasang senyum agar ia terlihat baik-baik saja. "Nah, Faira ini harapan saya buat dapatkan hati Tyler lagi. Karena kemungkinan besar Tyler tidak akan mah diajak makan malam keluarga, jadi ... gaun yang sekarang ini dibuat untuk dinner Faira dan Tyler saja. Tapi pasti, lain kali saya akan datang ke sini lagi untuk memesan gaun baru untuk pertemuan keluarga." "Ah ... I see." Sheila tampak lega entah untuk hal apa. Senyumnya semakin anggun saat ia melirik sekilas pada Faira. "Rencana kalian bagus juga. Karena sekarang-sekarang, memang lagi masanya gampang jatuh cinta buta. Semoga saja, ya, Faira bisa bantu dekatkan Tyler ke keluarganya lagi." Anton dan Faira tersenyum tipis atas doa itu. Selanjutnya, Sheila mulai menjalankan tugasnya untuk mengukur tubuh Faira. *** Makan siang menjadi penutup kebersamaan Faira dan Anton hari ini. Gadis itu awalnya ingin diantarkan sampai rumah, karena Rizal juga menelepon beberapa kali untuk mengajak Anton bertemu. Namun, karena takut ayahnya curiga jika Faira menghasut Anton, maka gadis itu memilih diantarkan ke rumah sahabatnya, Adin. Awal diberitahu bahwa Faira akan ke sana, sang sahabat heboh sendiri karena gadis itu sudah bolos tanpa memberitahunya. Adin sempat menuduh-nuduh Tyler yang menyebabkan Faira meninggalkan mata kuliah, tetapi Faira memilih menunda untuk memberitahu sahabatnya itu. Namun, kehebohan Adin tiba-tiba hilang ketika ia berdiri di dekat pagar rumah dan menemukan Anton membantu membukakan temannya pintu, bahkan pria tua itu mengeluarkan empat paper bag untuk diserahkan pada Faira. "Kamu yakin tidak mau saya antar pulang ke rumah?" tanya Anton, dan Faira menggeleng pelan. "Nggak usah, Om. Makasih udah anterin aku ke sini," kata Faira dengan senyum lembutnya. Ia melambaikan tangan pada Anton sampai pria itu menghilang dengan mobilnya di belokan. Faira merotasi tubuh untuk menghadap langsung dengan sahabatnya. Namun, meski Faira sudah tersenyum cemerlang saat mengangkat paper bag-nya, Adin tidak bereaksi senang atas hal itu. Sebaliknya, Adin menatap Faira dan paper bag tersebut secara bergantian. "Apa sih, Adin?" tanya Faira jengkel, karena ia tidak disambut dengan bahagia oleh sahabatnya. "Iya ... iya. Aku juga bakalan kasih bagian kamu. Tenang aja?" Namun, Adin tetap bergeming. Faira berdecak kesal, dan Adin juga tidak peduli dengan kedongkolan sang sahabat. Adin mendahului Faira berjalan memasuki rumah. Faira menyusul meski ia tidak tidak diajak oleh pemilik rumah. "Apa sih, Din? Kamu aneh banget! Tadi katanya nggak sabar aku sampe sini buat nanya-nanya, kenapa malah diem-dieman sekarang?" tanya Faira, menuntut jawaban. "Aku sekarang udah tahu alasan kenapa kamu nggak masuk kuliah," jawab Adin pelan. Ia membuka pintu, dan membiarkannya begitu saja sehingga Faira bisa ikut masuk dengan mudah, lalu mendudukkan diri di sofa. Tatapnya menyelidik diarahkan pada Faira yang tampak susah payah mengatur belanjaannya di atas meja. "Kamu ... nggak ngapa-ngapain sama calon mertua kamu, 'kan?" "Ngapa-ngapain apa?" tanya Faira, ikut penasaran dengan maksud ucapan Adin. "Sumpah, Adin ... ah, aku doain kamu punya mertua sejenis Anton Pramono, karena ... enak banget anjir! Sumpah, serius! Tiap kali ketemuan, selalu diajakin belanja. Tadi, diajakin ke butik juga buat dibikinin gaun khusus ... astaga ... parah. Kamu jangan iri, ya, Din .... Soalnya ... uh, ini akun belum jadi anggota keluarga Pramono aja, aku udah dikasih fasilitas sebanyak ini. Gimana kalau udah nik—" "Kamu nggak godain calon mertua kamu, 'kan?" potong Adin, dengan raut bergidik. "Godain? Godain apa?" Faira melotot, sedikit tersinggung dengan ucapan sahabatnya itu. Adin tanpa merasa segan, mengangkat kedua bahunya seolah ragu. "Pak Anton itu duda ya, inget! Sementara sekarang, udah banyak kasus kisah asmara antara om-om kepala lima sama remaja dua puluhan. Aku nggak judge kamu sebagai perempuan murahan, cuman takut kalau kamu jadi simpanan—" "Adin ...." Faira menaikkan intonasi suaranya sekadar untuk membungkam Adin. Ia menjatuhkan punggungnya ke sandaran sofa demi menunjukkan betapa lelah ia sekarang karena sang sahabat. "Sumpah, kamu ngerusak mood banget! Aku di sini buat bagi kebahagiaan sama kamu, tapi kamu ... malah nuduh aku ... simpanan?" Jemari Faira menyisiri rambut ke belakang ketika Adin hendak memotong. "Aku b**o-b**o gini, tetep bisa jaga diri, jaga batas. Aku jelas ogah lah jadi pacar om-om yang seusia ayah aku, walaupun kaya. Lagian, ada banyak alasan kenapa Om Anton royal ke aku: aku calon menantunya, aku yang bawa Steve kembali ke keluarga Pramono, plus ... aku juga anak dari sahabatnya Om Anton, jadi ... dia emang udah seharusnya gini ke aku." "Fai ... aku cuman khawatir. Sorry kalau nyinggung." "Tapi cara kamu bicara kayak bukan khawatir ke aku, Din," balas Faira. Ia berdiri dari sofa, sembari mengangkat ulang semua barang belanjaannya. "Kamu mau ngerusak kepercayaan aku ke Om Anton, karena ... kamu iri aku bentar lagi nikah sama orang kaya, 'kan?" Embusan napas Faira terdengar kasar. "Emang udah seharusnya aku curiga sama sikap kamu yang selalu bikin aku ragu deket sama Steve. Kamu ... mau ngerusak semua impian aku!" "Faira ...." Gadis yang dipanggil tidak lagi menyahut. Faira meninggalkan rumah dengan ketukan sepatunya yang terdengar kasar ketika bertemu ubin. Langkahnya cepat, dan tanpa berbalik, Faira meninggalkan rumah dari orang yang selalu menemaninya bertahun-tahun. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD