13 - Tawaran Sesuai Impian

1034 Words
Semua paper bag dengan nama brand ternama disingkirkan oleh Faira. Secara terpaksa, ia harus melakukan ini, dan memindahkan semua barang-barang mahalnya ke sebuah kresek hitam demi menghindari pertanyaan Rizal nanti. Setelah selesai, Faira meninggalkan warung tempatnya membeli kresek, sementara paper bag dibuang ke tempat sampah. Faira berdiri di samping jalan, menunggu taksi untuk mengantarnya pulang. Selama itu, ia menatap dalam pada dua kantongan di tangannya dengan sudut bibir kanan tertarik—mencoba berpikir. Sudah berapa banyak halangan yang menghadang Faira untuk mencapai impian? Pertama, sang ayah yang tidak merestui Faira bersama pria seperti Steve. Kedua ... Adin yang menuduhnya dengan begitu buruk. Serta Steve yang sama sekali belum menunjukkan ketertarikan pada Faira. Gadis itu merasa ... sesak di kepala. Rambutnya disisir ke belakang menggunakan sebelah tangan. Lalu dengan tangan yang sama, mulai memijit pelipis karena pening. Terkhususnya Adin ... hanya dia yang membantu Faira dan mendukungnya selama ini, tetapi ... Adin ternyata tidak bisa diharapkan. Sekarang, Faira hanya bisa berjuang sendiri. Namun, tidak masalah. Ia menyemangati diri sendiri, bahwa dirinya bisa mencapai cita-citanya tanpa bantuan siapapun. Toh ini jauh lebih baik, karena Faira tidak akan diracuni oleh ucapan buruk Adin yang memintanya berhenti mendekati Steve. Plus lainnya, Faira tidak akan merasa berutang pada Adin. Yeah ... Faira sedikit tenang memikirkan hal itu. Taksi berhenti tepat di hadapannya. Faira masuk, menyebutkan alamat, dan membiarkan si supir bekerja. Ia menghabiskan waktunya selama di perjalanan dengan mengecek sosial media. Beberapa foto yang ia ambil di mall, dipamerkan di sana. Secara jelas menunjukkan paper bag bermerek, serta sedikit bagian mobil Anton. Gadis itu tersenyum tipis, karena di kepalanya, ia hanya menebak bahwa semua orang akan iri padanya, dan Faira memang menginginkan hal itu. Sembari menunggu komentar datang, ia terus menggulir layar, sampai satu-persatu notifikasi muncul. Fotonya mulai diisi beberapa komentar emoji api atau love dari para pria. Beberapa akun luar memuji foto tersebut, tetapi ... ada masalah ketika beberapa akun perempuan sekampusnya mulai memberikan komentar. emira.putrii Kamu hari ini nggak datang ke kampus. Jalan sama pacar kamu? Devilaa_ Eh bentar. Itu di sudut gambar deket pintu mobil, ada tangan keriput. Kamu simpanan sugar Daddy, Faira? Komentar yang kedua itu mendapat banyak balasan dari perempuan lainnya. Mata Faira memanas membaca setiap hinaan dari mereka, tetapi ia tetap menelusuri setiap komentar. emira.putrii Astaga? Faira beneran jadi simpanan om-om? Uh, nggak nyangka banget. Devilaa_ Ya ... gimana? Dia nggak pinter-pinter banget, cuman ngandelin muka sama ... ngangkang ... biar dapat duit. Ups. Bunga.rahayu Ish, kalian semua kok kejam-kejam mulutnya. Tapi ya, emang bener sih, ya? Wkwk. Kasihan banget sama si bidadari kampus. Saking begonya, sampe jual diri. Faira sudah merasa muak. Kepalanya terasa panas karena komentar mengejek dari mereka, sehingga foto tadi terpaksa dihapus walau kurang 10 menit perilisannya. Ponselnya kemudian dimatikan untuk diletakkan atas paha. Mood bagus yang berusaha Faira bangun terpaksa anjlok hingga dasar. Kenapa semua orang berpikir bahwa dirinya simpanan Anton? Faira ini calon menantunya, hei! Namun, berkaca pada kasus Adin, Faira merasa percuma untuk mengatakan mereka mengenai kebenaran untuk sekarang ini. Setidaknya sampai Faira mendapatkan foto bersama Steve, agar ia bisa mengatakan pada semua orang bahwa si pemuda itulah calon suami Faira. Sekali lagi ... Faira merasa kesal, tetapi ia mendapatkan secuil semangat untuk melanjutkan perjuangannya. * "Nggak tau kenapa, Om, mereka emang pada nyebelin banget. Sumpah. Aku cuman nunjukkin barang-barang yang Om beliin, biar kesimpen sebagai kenang-kenangan, eh mereka malah mikirnya aneh; aku dituduh jadi simpanan." Berhubung karena Anton yang lebih dahulu menelepon, dan Faira diberikan sesi curhat, maka gadis itu memberikan kesempatan yang ada untuk menceritakan kejadian menyebalkan hari ini. "Mereka memang aneh," timpal Anton. "Percaya atau enggak, Sheila juga sempat mikir begitu kemarin, makanya dia natap kita aneh begitu." "Eh, serius, Om? Aku sadar sih, tatapnya aneh gitu, cuman ... nggak sampe kepikiran ke situ." "Padahal, saya cuma ingin membuat kamu tampil sempurna agar Steve mudah kamu rebut hatinya, tapi apa daya, semua orang malah berpikiran buruk." Anton terdengar menghela napas di seberang sambungan. "Gitu deh, Om. Bingung juga." Faira mendudukkan dirinya di pinggir tempat tidur setelah ia lelah berdiri mencoba beberapa barang yang dibelinya tadi siang. "Ayah aku gimana, Om? Masih ngotot?" "Ya ... kamu seharusnya tahu sendiri kalau ayah kamu itu spesies paling keras kepala yang pernah saya kenal." "Eh, sama Om juga, Ayah keras kepala?" "Jangan salah, Faira. Ayah kamu lebih keras ke saya daripada kamu atau ibu kamu. Heran juga, kenapa setelah puluhan tahun, dia nggak berubah sedikitpun. Tapi ya ... saya akui, Faira, ayah kamu sangat bertanggung jawab. Saya nggak pernah tersinggung sedikitpun dengan penolakan ayah kamu karena saya tahu, dia seperti ini karena berniat melindungi kamu. Nggak kebayang kalau Rizal tahu apa yang kamu alami hari ini ... pasti dia juga bakal larang kita ketemu." "Orang-orang pada berlebihan deh, Om. Nyebelin banget!" Faira menjatuhkan punggungnya untuk berbaring sempurna di kasurnya. Mata gadis itu menatap kosong ke langit-langit ruangan, dan membiarkan semua komentar buruk siang tadi merasuki pikirannya lagi. "Omong-omong, Faira, saya lagi cek ** kamu sekarang." Faira langsung duduk mendengar ucapan Anton. Matanya melotot, ketika ia membawa jemari kanannya ke depan bibir. Antara kaget, cemas, dan bangga. "Foto-foto kamu bagus. Kamu juga cantik. Proporsi kamu pas buat jadi seorang model. Kenapa nggak jadi model aja?" "Itu, Om ... belum ada yang ngelirik." Kekehan kering Faira menyusul setelah Ir menyelesaikan ucapan. Tangannya mengepal gemas, karena mendapatkan pujian lagi dari Anton. Rasanya nano-nano, karena biasanya orang-orang biasa yang memberikan pujian pada Faira. Sekarang ... pria kaya dengan segudang pengalaman, yang tentunya selalu tepat dan jujur dalam memberikan penilaian terhadap sesuatu. "Serius?" Anton terdengar terkejut. "Jadi, bagaimana kalau saya yang ajak kamu jadi brand ambassador produk saya? Karena kita keluarga ... saya bisa bantu sesuaikan jadwal kuliah kamu, dan jadwal promosinya." "Seriusan, Om?" "Kamu nggak percaya saya?" "B—bukan gitu, cuman ... aku ... makasih banget Om ... makasih." "Nggak masalah. Lagian dengan begini, kamu punya alasan kalau saya belikan barang-barang lagi. Mereka pasti bakalan berpikir, semua pemberian saya hasil kerja keras kamu." Faira mengangguki saran Anton dengan antusias, meski si lawan bicara tidak akan melihat. Ia tersenyum penuh haru, dan berterimakasih sesering mungkin. "Saya tutup teleponnya, ya. Lusa, sekitar jam 3 sore, saya akan kenalkan kamu dengan teman saya. Jadi, siap-siap, oke?" "Siap, Om!" balas Faira dengan bersemangat. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD