14 - Dukungan Berlebihan Anton

1113 Words
Sore hari yang sudah dijanjikan sebelumnya, sebuah mobil hitam sudah terparkir di depan rumah. Faira mengintipnya dari jendela. Semangatnya segera melambung tinggi, yang membawa gadis itu mendekat ke cermin untuk melihat tampilan dirinya. Dress coksu selutut dengan rok mengembang dan bagian pinggang sempit, sudah membalut sempurna tubuh Faira. Gadis itu memperbaiki rambut lurusnya, sembari melatih senyum terbaiknya agar tidak mengecewakan calon mertua. Setelah yakin dengan tampilan diri, gadis itu membawa tas selempang putihnya keluar dari kamar, membukakan pintu untuk Anton. "Om mau masuk sebentar?" tanya Faira sekadar basa-basi. Ia tidak sepenuhnya memberikan tawaran, karena gadis itu secara perlahan bergerak keluar melewati ambang pintu. "Nggak usah. Biar waktu nggak terbuang banyak, ayo berangkat sekarang!" Faira begitu bersemangat menerima ajakan Anton. Ia menutup pintu rumahnya, dan meletakkan kunci di tempat biasa agar orang tua Faira bisa menemukannya. Gadis itu berjalan dengan riang mengekori Anton. Bahkan, tersipu ketika pria matang itu membukakan pintu mobil untuknya. "Om ... nggak usah repot-repot ...." Faira berujar bersalah, tetapi senyum malu-malunya tidak bisa disembunyikan. "Nggak masalah." Anton tersenyum tipis. Ia menunggu Faira duduk dengan sempurna, baru menutup pintu. Pria itu memutari mobil hingga sampai di pintu seberang. Ia masuk ke bagian kemudi, dan tak lama setelahnya mobil bergerak. "Om." Faira memanggil dengan nada lirih, sembari melirik pada Anton yang sibuk menatap jalanan. "Aku nggak ada pengalaman sama sekali. Cuman foto-foto di **, itupun rada kacau." "Nggak masalah. Foto-foto kamu sudah bagus kok, saya lihat. Lagian, teman saya ini nanti bisa ajarin dan latih kamu, jadi tenang aja." "Aku takut salah, Om." "Semakin kamu sering salah, semakin kamu banyak belajar, Faira." Anton menoleh sebentar pada Faira untuk mempertemukan tatap mereka, sebelum melanjutkan petuahnya. "Dalam hidup, nggak perlu takut ambil keputusan. Kalau gagal, ya dapat pelajaran. Kalau berhasil, ya sukses. Cuman ya ... kalau sukses, bukan berarti selesai gitu aja. Ada lagi tangga lain yang harus kamu lewati, dan itu juga berpotensi gagal." "Takut ngecewain, Om." Faira menambahkan sedikit penjelasan mengenai perasaannya saat ini. Ia menundukkan pandangan ke arah pahanya, di mana kedua tangan gadis itu saking meremas gugup. "Manusia sudah kodratnya bertemu kesalahan, jadi nggak perlu khawatir, Faira. Asal nggak mengulangi kesalahan yang sama, berarti kamu berkembang menjadi lebih baik." Faira mengangguk-angguk mendengarkan nasehat Anton yang sungguhan bagus untuk dirinya yang insecure ini. Ia menghela napas panjang, seolah ingin membuang semua rasa insecure yang menghampiri tadi, kemudian tersenyum tipis saat merasa bahwa ia mulai menerima masukan dari Anton. "Makasih, Om." "Sama-sama." Anton tersenyum tipis tanpa menoleh. Diam-diam, melirik ke spion depan, untuk memperhatikan apa yang dilakukan oleh gadis di sampingnya ini. Kemudian ... tersenyum sekali lagi. Sedikit lebih lebar dari sebelumnya. * Setelah fotografer mengatakan bahwa sesi pemotretan sudah selesai, Faira tidak bisa menunggu untuk mengganti pakaiannya lebih dulu. Gadis itu menenteng gaun kuning yang tampak senada dengan kulit putih susunya itu ke arah Anton. Rautnya tampak bersalah, tetapi memicu senyum geli dari pria senja yang duduk di kursi itu. "Om nggak kerja seharian ini?" tanya Faira basa-basi untuk membuka obrolan mereka. "Tadi pagi sudah." Anton menjawab, sembari mengambil kursi di sampingnya untuk diberikan pada Faira. Gadis itu duduk, lalu semakin menunjukkan raut menyesal. "Om nontonin aku dari tadi. Kelihatan deh ... aku nggak berbakat sama sekali." "Kamu bicara apa, sih?" Anton mendengkus geli. "Saya di sini buat mastikan kamu nyaman sama orang-orang baru ini, bukan buat nontonin kesalahan kamu. Lagian, ini masih ... tahap pemanasan. Masih proses belajar. Saya yakin banget, kamu punya potensi buat sukses di bidang ini. Pandangan saya jarang salah, jadi percaya pada kemampuan kamu, oke?" Faira mengangguk lemah, lalu menunduk dalam memperhatikan tangannya yang sudah memerah karena terlalu sering ia remas kuat. "Kamu cuman belum nyaman sama mereka-mereka ini, makanya gugup. Di foto kamu yang di **, kamu kelihatan cantik alami karena bahagia kamu natural, karena kamu nyaman. Coba nanti, kamu jangan fokus ke hasil fotonya, tapi fokus jalin kedekatan sama orang-orang sini. Saya yakin, keberhasilan kamu bakalan lebih cepat terlihat." "Beneran, Om?" "Percaya sama saya, Faira." Anton berujar penuh keyakinan, yang membuat gadis itu menipiskan bibir sembari mengangguk. "Kamu ganti baju, terus makan malam sama saya." Faira mengikuti arahan calon mertuanya. Ia bergerak ke ruangan ganti, lalu kembali tidak lama kemudian dengan setelah awalnya. Gadis itu mendekat ke arah Anton yang telah berdiri menunggu, untuk menyejajarkan langkah saat keluar dari ruangan. Selama perjalanan, Fairan tampak sering melihat jam tangannya. Anton mau tidak mau ikut memperhatikan tingkah gugup dari gadis di sampingnya ini. "Kenapa?" tanya pria itu. "Kayaknya ... saya nggak bisa ikutan makan malam deh, Om. Soalnya ... ini saya udah telat pulang. Ayah bisa marah, apalagi kalau tahu saya nggak sama temen baik saya, berabe." "Nggak usah khawatir masalah itu." Anton mengibaskan tangan sekilas, seolah membuang masalah yang Faira khawatirkan. Ia merogoh sakunya demi mengeluarkan ponsel dari sana, dan memamerkan perpesanan antara dirinya dan Rizal. Pria itu men-scroll semua chat 'hari ini' untuk ditunjukkan pada Faira. "Saya sudah kirim beberapa foto kamu ke ayah kamu, dan dia malah bangga kamu bisa mulai mewujudkan mimpi. Jadi, nggak usah khawatir, oke? Lagian ... kamu keluar sama saya. Rizal nggak punya alasan buat khawatir." Sekali lagi, Faira diyakinkan dengan sangat baik oleh pria ini. Jadi, ia memaksakan senyum untuk Anton. Ia tidak memprotes ke mana pun dirinya dibawa. Mereka berakhir di sebuah restoran bintang lima, dalam ruangan VIP yang hanya ada mereka berdua. Faira mengisi perutnya yang sudah kosong sejak siang tadi. Tampak sangat lahap menghabiskan makanan, tetapi di tengah-tengah kegiatannya, gadis itu menyadari bahwa Anton tidak menyentuh makanan sama sekali. Faira langsung menegakkan punggung. Rambut-rambut di sisi wajah disisihkan ke belakang telinga. "Aku kelihatan rakus banget, ya, Om?" tanya Faira, merasa segan. "Kamu lapar, itu sudah wajar," jawab Anton. "Lagian, saya malah terkejut tubuh kaku masih sangat bagus, padahal kamu sangat lahap makan." "Kalau naik berat badan, ketimbang diet yang nyiksa, saya lebih suka olahraga, Om," jawab Faira dengan senyum malu-malu. "Nggak muluk-muluk, lari sekitaran rumah udah cukup buat nurunin berat badan, karena nggak bisa ke gym." "Kalau kamu mau, saya bisa bayar biaya langganan kamu ke gym." "Nggak usah, Om. Nggak usah." Faira dengan cepat menolak tawaran menggiurkan itu meski berat hati. "Aku juga mesti deketin Tyler lagi, Om. Dunia modeling aja sebenarnya udah nyita waktu, cuman aku suka. Kalau tambah kesibukan lain, Tyler nanti kelupaan." "Nggak perlu tiap hari juga kamu ketemu Tyler, sepertinya saja. Masalah modeling, nggak setiap hari juga. Kalau ada panggilan pemotretan atau promosi, baru kamu datang." "Iya, Om." Faira menunduk malu-malu, dengan senyum senang di bibirnya. Merasa bahwa impiannya semakin dekat untuk diraih. "Apa pun, Faira .... Apa pun yang kamu mau, kamu butuhkan, dan kamu impikan ... katakan ke saya. Saya bisa mempermudah jalan kamu mencapai apa pun yang kamu inginkan." Faira menengadah dengan binar bahagia di matanya. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD