Lima Puluh Dua

1072 Words
Aku duduk di dałam mobil kecilku yang panas di tengah kepadatan lalu lintas jam sibuk, dan memikirkan semua hal gila selama 24 jam terakhir ini. Aku baru saja menandatangani kontrak kerja yang kurang bisa diandalkan. Seribu dolar dalamsebulan adalah jumlah yang begitu remeh, tapi membuatku takut. Uang itu bukan gaji, tapi utang, dan aku tidak tahu bagaimana rencana Henry agar aku langsung bisa menghasilkan uang jasa dari klien. Seandainya aku mendapat uang dari kasus Jack, iłu masih berbulan-bulan lagi. Aku akan terus bekerja di Yugo’s beberapa lama. Prince masih membayarku tunai—lima dolar per jam, ditambah makan malam dan beberapa gelas bir. Ada beberapa biro hukum di kota ini yang mengharapkan associate baru mereka memakai jas bagus tiap hari, mengemudikan mobil indah, tinggal di rumah yang layak, bahkan menjadi anggota country club bergaya. Tentu saja mereka membayar jauh lebih banyak daripada yang dibayarkan Henry padaku, tapi mereka juga membebani para associate itu dengan banyak beban sosial yang tak perlu. Aku tidak. Biro hukumku tidak. Aku boleh memakai apa saja, mengendarai apa saja, bergelandangan di mana saja, dan tak seorang pun akan berkomentar. Dalam hati, aku bahkan bertanya-tanya, apa yang bakal kukatakan jika salah satu orang kantor ingin pergi ke seberang jalan untuk melihat tari telanjang. Mendadak aku jadi diriku sendiri. Perasaan merdeka membanjiriku ketika lalu lintas beringsut maju. Aku bertahan hidup! Aku akan bekerja keras dengan Henry, dan mungkin belajar lebih banyak tentang hukum daripada seandainya aku bekerja di gedung gedung di pusat kota. Aku akan menelan hinaan, ejekan, dan sindiran dari orang lain karena bekerja di kantor yang begitu lusuh. Aku bisa menahankannya. Itu akan membuatku tangguh. Tidak berapa lama yang lalu aku agak congkak ketika merasa aman bersama Wills and Trust, kemudian bersama Stone, jadi aku mengaku salah. Hari sudah gelap ketika , aku parkir di Plasa Hijau. Sebagian besar mobil di sana sudah pergi. Di seberang jalan, lampu-lampu terang Klub Arem menarik kerumunan truk pikap dan mobil sewaan, seperti biasa. Lampu neon berkedip-kedip di atap seluruh gedung, menerangi daerah itu. Bisnis p***o belakangan ini meledak di Southaven dan hal itu sulit dijelaskan. Tempat ini adalah kota yang konservatif dengan banyak gereja, jantung Pengabaran Injil. Orang-orang yang mencari jabatan di sini tentu cepat-cepat menganut standar moral yang ketat, dan biasanya mereka mendapat ganjaran setimpal dari para pemilih. Aku tak bisa membayangkan seorang kandidat yang bersikap lunak terhadap bisnis p********i bisa terpilih di sini. Aku mengawasi serombongan usahawan turun dari mobil dan terhuyung-huyung masuk ke Klub Arem. Rombongan itu terdiri atas seorang Amerika dan empat rekan Jepang-nya, tak diragukan lagi akan menutup satu hari transaksi yang melelahkan dengan minum-minum dan mengulas perkembangan terakhir dalam silikon buatan Amerika. Musik sudah terdengar keras. Halaman parkir terisi dengan cepat. Aku berjalan cepat ke pintu depan kantor dan membukanya. Kantor-kantor itu kosong. Peduli amat, mereka mungkin ada di seberang jalan. Siang tadi aku mendapat kesan jelas bahwa biro hukum Jones Craig bukanlah tempat bagi para pecandu kerja. Semua pintu dalam keadaan tertutup dan kukira terkunci. Tak seorang pun percaya orang lain di sini. Aku sudah tentu akan mengunci pintuku. Aku akan berada di sini beberapa jam. Aku harus menelepon Bolie dan memberitahukan petualanganku terakhir. Kami sudah mengabaikan persiapan menghadapi ujian pengacara. Selama tiga tahun ini kami bisa saling mendorong dan memotivasi. Ujian pengacara sudah makin dekat, bagaikan perjanjian dengan regu tembak. *** MALAM itu kulewatkan dengan selamat, tanpa penangkapan, tapi aku hanya bisa tidur sedikit. Antara pukul lima dan enam, aku menyerah pada pikiran kacau-balau yang melonjak-lonjak dalam benak, dan beranjak dari ranjang. Empat puluh delapan jam terakhir ini aku cuma tidur tak lebih dari empat jam. Nomor telepon itu tercantum pada buku, dan aku menghubunginya pada pukul 05.55. Aku sedang menikmati cangkir kopi kedua. Telepon berdering sepuluh kali sebelum sebuah suara ngantuk berkata, "Halo." "Tolong dengan Robin Gibson," kataku. "Saya sendiri." "Gibson, ini Edward Cicero." la berdeham dan aku bisa membayangkannya melonjak dari ranjang. "Ada apa?" ia bertanya, suaranya jauh lebih tajam. "Maaf aku menelepon sepagi ini, tapi aku cuma mau mengatakan beberapa hal." "Hal apa?" "Keluarga Jack sudah mengajukan gugatan resmi pada State Farm kemarin, akan kukirimkan satu salinan untukmu begitu kalian sudah mendapatkan kantor baru. Mereka juga menandatangani surat pemberhentian, jadi kau sudah dipecat. Tak perlu khawatir dengan mereka lagi." "Bagaimana kau mengajukan surat gugatan?" "Itu sama sekali bukan urusanmu." "Memang bukan." "Akan kukirimkan salinan gugatan itu, dan kau akan tahu. Kau orang pintar. Apa kau sudah punya alamat baru? Atau alamat lama masih bisa dipakai?" "Kotak pos kami di kantor pos tidak rusak." "Betul. Omong-omong, aku akan berterima kasih kalau kau tidak mengusikku dengan perkara pembakaran ini. Aku tidak punya sangkut paut dengan kebakaran itu, dan kalau kau bersikeras melibatkanku, aku akan terpaksa memerkarakan pencuri macam dirimu ini.” "Aku ngeri." "Aku tahu. Berhentilah mengobral namaku ke mana-mana." Sambungan kuputus sebelum ia sempat menjawab. Lima menit kuawasi telepon itu, tapi ia tidak menelepon. Sungguh pengecut. Aku ingin tahu, apa kata koran tentang kebakaran tersebut, jadi aku mandi, berpakaian, dan pergi cepat cepat diselimuti kegelapan. Jalanan sepi ketika aku menuju ke arah bandara di selatan, ke Plasa Hijau, tempat yang mulai terasa seperti rumah. Aku parkir di tempat yang kutinggalkan tujuh jam lalu. Klub Arem sudah gelap dan sepi, tempat itu ditebari sampah dan kaleng bir. Petak sempit di samping petak kantorku disewa oleh seorang perempuan Jerman gemuk bernama Simon yang mengelola kedai kopi murah. Kemarin malam aku bertemu dengannya ketika aku ke sana untuk makan sandwich. la memberitahuku bahwa ia buka pukul enam pagi, menghidangkan kopi dan donat. la sedang menuang kopi ketika aku masuk. Kami bercakap-cakap sebentar, sementara ia memanggang roti bagel dan menuangkan kopiku. Sudah ada selusin laki-laki berdesakan di sekeliling meja-meja kecil, dan Simon sedang kesal. Pengantar donat terlambat datang untuk tamu-tamu pertama ini. Aku membeli surat kabar dan duduk di sebuah meja di samping jendela. Matahari mulai terbit. Pada halaman depan, di bagian Metro, ada foto besar gedung Mr. Stone sedang berkobar-kobar. Sebuah artikel pendek menguraikan sejarah gedung itu, mengatakan bahwa gedung itu hancur musnah, dan Mr. Stone sendiri memperkirakan kerugiannya sebesar tiga juta dolar. ”Renovasi tempat itu dulu makan waktu lima tahun," demikian ia dikutip ketika mengatakan. ”Hati saya hancur.” Menangislag lagi, sobat. Aku membacanya dengan cepat dan tidak melihat ada kata "pembakaran”. Kemudian aku membacanya dengan cermat. Polisi tutup mulut rapat-rapat. Masalah ini masih diselidiki, terlalu pagi untuk berspekulasi, no comment. Omongan polisi, seperti biasa. Aku tidak berharap namaku disebut-sebut sebagai tersangka, tapi bagaimanapun aku merasa lega.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD